Semakin hari kami semakin akrab dan dekat. Saling terbuka, mengenal satu sama lain, juga menerima kekurangan masing-masing, pun orang tua kami. Sabtu ini kami berkumpul di rumah Iwan, lagi. Dalam rangka perayaan peringkatnya yang naik. Dia memang selalu membanggakan. Karena usaha kerasnya dalam belajar akhirnya dia berhasil meraih peringkat satu di kelas.
“Tuh Rel, kayak kakak kamu dong. Dia tahun ini peringkat satu loh,” ejek Rina kepada Aurel, adik Iwan.
“Aku bisa juga ko. Liat aja ya ka tahun depan,” sahut Aurel.
Percakapan mereka dengan mata yang sama-sama masih fokus ke televisi dan memegang setoples kue di tangan. Mereka memiliki selera yang sama kalau sudah menonton, sama-sama suka kartun. Di tengah-tengah keseruan keduanya, datanglah tukang rusuh.
“Makanya belajar dek, jangan nonton kartun mulu,” kata Iwan yang langsung meraup muka Aurel dan merebut toples dari tangannya. Tanpa rasa bersalah ia duduk di sebelah adiknya. Menikmati serial kartun di televisi. “Parah lu, wahh Rel parah banget si itu. Hajar Rel hajar.!” kali ini kesempatan Rina untuk memanas-manasi Aurel.
Karena kesal kepada kakaknya, Aurel pun memukuli Iwan dengan bantal. Iwan yang tidak terima perlakuan tersebut segera menggelitik adiknya sampai ia lari dari ruangan. Kami yang berada di sana hanya tertawa terbahak-bahak melihat sepasang kakak-beradik itu. Ada-ada saja tingkah mereka.
“Heh, udah Rin. Udah selesai, masih ketawa aja lu,” kata Iwan kepada Rina yang sejak tadi tidak bisa berhenti tertawa. “Ahahaha, abis kocak banget si kalian,” jawabnya sambil menyeka air mata di ujung matanya. Sangking lucunya, Rina tertawa sampai keluar air mata. Tidak lama kemudian Mama Iwan memanggil kami untuk segera beranjak ke dapur, “Iwan, Ica, Rina, Aji, Adit.! Sini Nak! Makanannya udah siap nih.”
Mendengar teriakan Tante, kami berlari menuju ruang makan. Tidak sabar mencicipi makanan yang dibuatnya. Belum sampai ke meja makan Aji sudah berkomentar.
“Hhm wanginya harum banget Tante,” katanya sambil memejamkan mata. Menikmati harum masakan. Karena ekspresinya yang berlebihan, Adit pun mendorong pelan Aji dan berkata, “Melek lu, gak usah banyak gaya.”
“Bodo amat,” protes Aji.
Melihat yang dilakukan mereka berdua Tante berkata, “Aji mah emang suka gitu. Sini kalian yang lain udah duduk kalian masih disana.” Lalu mereka pun duduk.
“Wahh banyak banget Tante,” kata Adit.
Raut wajahnya menggambarkan bahwa ia bingung memilih makanan yang ada di atas meja. Tentu saja, kami juga begitu. Bagaimana tidak, sekarang ini di depan kami sudah ada nasi tumpeng sebagai menu utama, pempek lenggang khas Lampung (karena Mama Iwan memang asli orang sana), rendang, semur tahu. Ah, banyak sekali. Kira-kira 5-6 menu yang akan kami cicipi.
“Pasti enak ni,” Aji menambahkan. Tangannya kini bersiap akan mengambil makanan.
“Jangan lupa do’a Ji,” tegur Iwan.
“Iya Wan inget lah. Emang gua bocah,” jawabnya. Selanjutnya semua memilih berkonsentrasi pada makanan masing-masing.
Memang hanya kegiatan makanlah yang membuat kami diam. Setelah selesai makan Mama Iwan membuka pertanyaan.
“Ica gimana? Kamu peringkat berapa tahun ini?”
“Masih bertahan Tante peringkat dua,” jawabku.
“Wah, Bagus dong,” pujian dari Mama Iwan, aku tersenyum.
“Ekhem calon mantu,” Aji mulai mengejekku dan Iwan.
“Aji gak usah mulai deh,” sahut Iwan dengan cepat.
“Siapa tau kan ya Ji?” sambung Mama Iwan yang melirikku, tersenyum menggodaku.
Kemudian aku dan Iwan hanya diam, menyembunyikan senyum. Kami malu. Demi mencairkan suasana Mama Iwan kembali bertanya.
“Kalo kamu Ji, gimana?”
Bukan Aji, tapi malah Rina yang menjawab, “Masih sama Tante, empat lagi.”
“Iya Tante empat lagi. Iwan giat banget belajarnya sih,” protes Aji.
“Kamu yang giat juga dong, biar bisa ngalahin Iwan, atau bisa juga ngalahin Ica dulu.” Kata Mama Iwan. “Kalo Rina sama Adit?” lanjutnya.
“Yahh kan gara-gara Iwan, Rina jadi yang ketiga nih Tante,” Rina mengeluh. Adit pun menjawab, “Kalo Adit deketan ko Tante sama Rina.”
“Semuanya bagus ko, yang nilainya turun ayo segera lebih giat lagi belajarnya, yang nilainya sudah lebih baik masih harus tetap belajar juga yah, jangan sombong!” pesan Mama Iwan. “Oke Iwan?” lanjutnya.
“Iya Mah,” jawab Iwan.
Selesai sudah acara hari ini. Setelah percakapan yang agak panjang, aku dan Rina ikut membantu Tante merapihkan meja makan dan mencuci piring di dapur. Kegiatan itu sudah reflek terjadi.
***
Kami sudah berada di halaman, “Kita pulang dulu ya Tante,” pamitku mewakili empat temanku. Kami semua pun bersalaman. “Dah Aurel,” pamit Rina yang saat ini sudah berboncengan dengan Aji kepada Aurel yang ikut mengantar sampai teras rumah. Ia pun membalas Rina dengan senyuman.