Dialog Pertama

kaarha
Chapter #7

Dialog Pertama : Bagian 07

Dulu hidup Gista baik-baik saja. Saat Gista masih SMP ia menjadi murid pintar yang selalu mendapat peringkat satu berturut-turut didalam kelasnya. Hidupnya terasa sempurna dengan keluarga dan teman yang menjadikannya pusat dunia.

Hingga sampai suatu hari. Hari dimana ketika Ayahnya pergi dari rumah setelah pertengkaran yang tak Gista ketahui karena apa. Gista tak tahu apa-apa selain hidupnya yang tidak akan baik-baik saja setelahnya.

Setelah itu, setelah Ayahnya pergi keadaan rumah begitu kacau. Kakak perempuannya yang masih kuliah memilih untuk tinggal dikost dari pada dirumah, begitu pun dengan Kakak laki-lakinya yang jarang pulang dan lebih sering menginap dirumah temannya. Gista sendiri, benar-benar sendiri. Rumah begitu sepi, siang dan malam menjadi tidak ada bedanya karena Ibunya pun lebih memilih menyibukan diri dengan pekerjaannya.

Malam-malam berlalu dihabiskan dengan menangis. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Gista terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi. Sampai ketika Gista masuk SMA, Gista memutuskan untuk sendiri. Tak lagi meratapi hidup, keluarga, rumah dan ikatan saudara yang sudah hancur. Gista memilih untuk bersikap apa adanya, tidak lagi menangisi malam-malamnya, tidak lagi meminta kedua Kakaknya untuk pulang kerumah dan tidak lagi meminta Ibunya untuk melihat bagian dari dalam dirinya yang sudah menghilang.

Jika dulu Gista mempunyai banyak alasan untuk tetap bahagia justru kini tidak lagi. Tidak setelah semuanya berubah. Sekarang, bahkan Gista harus mencari ribuan alasan untuk sekadar mengatakan bahwa hari-hari yang dilaluinya baik-baik saja.

Suasana didalam bus sepi, kursi-kursi yang berjajar hanya terisi beberapa orang saja. Gista menatap luar dengan mata membengkak, ia menutupi kepalanya dengan upluk jaketnya dan menangis dalam diam didalam bus.

Hujan.

Cewek yang masih memakai seragam putih abu-abunya serta tas dan jaket itu turun dari Bus saat berhenti dihalte. Setelah kejadian dirumah tadi Gista memilih kembali keluar dari pada harus terjebak sunyi dirumah itu.

***

Pandangan Gista tidak lepas dari lalu lalang kendaraan dijalanan yang selalu ramai. Ada bagian dalam dirinya yang selalu terasa kosong. Hatinya, sebuah ruang kosong yang begitu mendamba pelukan hangat ditengah badai salju yang membuat tubuhnya membeku.

Dikursi halte Gista duduk.

Gista menundukan kepalanya dan kembali menangis dalam diam disana. Ia memejamkan matanya sampai menggigit bibirnya menahan isakan. Gista rindu semuanya. Ibunya, Ayahnya dan kedua Kakaknya. Mungkin Aksara benar, Gista tak bisa menerima keadaan.

Sebuah mobil melaju didepan Gista dengan kecepatan tinggi. Gista mengangkat kepalanya saat merasa seseorang memperhatikannya. Disebrang jalan sana, Jefri berdiri. Cowok itu juga masih memakai seragam putih abu-abunya. Gista menatapnya dalam diam. Jefri berjalan menuju kearahnya, cowok itu menatap lurus pada satu objek, Gista.

Langkah kakinya semakin dekat. Hanya tinggal beberapa langkah lagi. Kembali ada mobil yang melaju dan saat mobil itu melesat pergi Jefri sudah duduk disamping Gista. Keduanya terdiam dengan suara angin menjadi satu-satunya bising yang tercipta. Tiba-tiba Jefri mengeluarkan ponsel Gista dan menyimpannya tepat disamping Gista.

Gista tersenyum miris dan memejamkan matanya."Gue tahu," ucapnya menggantung membuat Jefri menatapnya.

"Tentang?" tanya Jefri kembali menatap kedepan.

Kini, Gista terkekah pelan."Alasan lo deketin gue."

Tiga kata itu membuat Jefri kembali menatap Gista. Terkejut. Cowok itu ingin berbicara namun diurunkan niatnya saat Gista kembali membuka mulut.

"Aksara?" Gista menoleh sekilas dan melihat raut keterkejutan diwajah Jefri. Gista menggeleng tak menyangka."Apa yang Aksara kasih ke lo sampai lo mau lakuin itu?" tanya Gista namun tak dijawab oleh Jefri.

Gista tertawa pedih dengan mata memejam."Gue bukan anak kecil yang harus dijagain." Gista mengambil ponselnya yang diberikan Jefri tadi."Disini, lo pasang GPS?" tanya Gista."Makanya lo selalu tahu keberadaan gue?"

Gista menggigit bibirnya, ia menatap Jefri dan tersenyum miris."Sekarang lo tahu alasan gue gak bawa hp gue tadi?"

Jefri terdiam, cowok itu tak ingin membela diri karena yang dikatakan Gista benar semuanya. Jefri ingin Gista mengatakan semuanya karena Jefri tahu bahwa hidup cewek itu tidak baik-baik saja.

Gista kembali mengingat kejadian lalu. Saat Jefri mengantarnya pulang setelah menginap dari kost Ruby kala itu, Gista menyadari kontak mata antara Aksara dan Jefri waktu itu tapi Gista memilih diam. Gista pikir itu hanya kontak mata spontan.

Lalu saat makan malam dirumah Jefri. Waktu itu Gista izin ketoilet namun sebenarnya ia masuk kekamar Jefri. Gista sudah mulai curiga, kenapa Jefri selalu menolongnya? Kenapa juga Jefri bisa mengetahui bahwa dirinya masih berada disekolah sore itu?

"Tante aku izin ketoilet dulu," ujar Gista pada Ibu Jefri.

Wanita paruh baya itu mengangguk dan menawarkan apa Gista ingin diantar namun Gista menolak, ia hanya meminta ditunjukan jalannya saja.

"Ya sudah, kamu ketoilet diatas ya. Toilet bawah lagi rusak, dari sini kamu naik tangga terus toiletnya ada dipaling ujung," jelas Ibu Jefri lalu Gista segera pamit.

Gista memeriksa ponsel Jefri. Untungnya ponsel Jefri tidak dikunci sehingga lebih mudah untuknya. Gista melihat Whatsapp cowok itu dan menemukan kontak Aksara disana. Gista membaca sebagian isi pesannya dan bisa menyimpulkan beberapa hal. Lalu Gista membuka galeri foto Jefri, disana Gista terkejut saat melihat beberapa fotonya yang diambil secara diam-diam. Saat disekolah, saat Gista dikafe bahkan saat Gista ditrotoar. Lebih mengejutkan lagi, Gista menemukan foto bersama antara Aksara dan Jefri disana.

Lihat selengkapnya