Akan ada satu moment dimana kamu merasa itu adalah hal terindah dalam hidupmu. Dan Ghea, akan selalu mengingat saat dimana pertama kali ia bertemu dengan Jefri. Cowok dengan senyum manis pengikat semua pasang mata. Malam itu Ghea menunggu jemputan didepan gedung tempat dimana ia mengikuti les. Teman-temannya yang lain perlahan mulai meninggalkan tempat karena sudah mendapat jemputan dan Ghea setia membalas lambain tangan itu satu per satu.
Dari arah belakang, terdengar suara dari segerombolan anak cowok yang sempat Ghea lirik dengan ujung ekor matanya berjumlah enam orang. Empat diantaranya berjalan terus setelah mengucapkan salam perpisahan, sedangkan dua lainnya menunggu disana, sama seperti yang dilakukan Ghea.
"Belum dijemput?" tiba-tiba salah satu antara dua cowok tadi menghampiri Ghea dan bertanya. Ghea hanya mengangguk dan tersenyum sekenanya."Rumahnya dimana? Kali aja deket, mau bareng?" tawar cowok itu dengan senyum tertahankan sedangkan satu lainnya tertawa tertahan dibelakang cowok itu.
"Nggak. Makasi," jawab Ghea sembari menggeleng lagi. Tatapannya sekilas teralihkan pada sosok cowok berjaket hitam dibelakang cowok yang menawarinya tumpangan. Sekali tatap, Ghea bisa menyimpulkan bahwa cowok itu tampan. Cowok itu tinggi, lebih tinggi dari cowok didepannya yang masih tersenyum yang hanya Ghea balas dengan senyum canggung.
Tak lama dari itu sebuah mobil berhenti didepan mereka. Cowok didepan Ghea mengeluh sedangkan cowok berjaket hitam justru tertawa."Sana lo pulang, udah dijemput tuh," ujar sicowok berjaket hitam.
Cowok didepan Ghea berbalik sekilas dan memberikan kepalan tangannya pada sijaket hitam yang dibalas tawa kecil. Lalu kembali menatap Ghea sembari tersenyum."Gak mau bareng nih?" tanyanya lagi memastikan.
Ghea menjawabnya hanya dengan gelengan. Cowok itu akhirnya mengangguk dan mengulurkan tangannya."Gue Sakti. Lo?"
Sekenanya Ghea membalas jabatan tangan itu dan membalas."Gue Ghea," ujarnya dengan senyum tipis.
Cowok yang memperkenalkan diri sebagai Sakti itu melepaskan jabatan tangan mereka lalu pergi dari sana setelah melambaikan tangannya pada Ghea. Saat mobil itu menghilang, keadaan benar-benar hening. Cowok yang tak Ghea tahu namanya itu tetap diam ditempatnya sembari memainkan ponsel dan tak mempedulikan Ghea disana. Padahal Ghea cantik, iya cantik. Cowok mana yang mampu melewati pesonanya.
Akhirnya karena penasaran pada sosok cowok berjaket hitam itu, Ghea berjalan menghampiri cowok itu dan mengulurkan tangannya."Gue Ghea," ujar Ghea memperkenalkan diri tanpa diminta.
Detik pertama, tatapan cowok itu hanya terkunci pada uluran tangan itu, tak menyangka. Lalu tak lama, sebagai bentuk penghargaan ia membalas uluran tangan itu."Jefri," balasnya singkat.
Ghea berdiri canggung ditempatnya. Cowok bernama Jefri itu terlihat begitu menarik perhatiannya. Lama diliputi hening, Ghea akhirnya inisiatif membuka percakapan."Lo les disini?" tanyanya basa-basi dan pertanyaan yang terlihat memaksakan.
Jefri mengalihkan pandanganya dari ponsel ditangannya dan menggangguk."Iya," balasnya lalu memasukan benda tipis itu kedalam saku jaketnya.
Sebuah mobil berwarna putih berhenti didepan mereka. Awalnya Jefri ingin langsung masuk namun sebelum itu ia melihat Ghea, akhirnya Jefri kembali berbalik menatap Ghea."Jemputan lo masih lama?" Jefri bertanya pada sosok cewek didepannya.
Ghea kaget. Namun sedetik kemudian mengangguk dan menjawab."Gak tahu, sih."
Jefri mengangguk dan berjalan menuju mobilnya. Awalnya Ghea pikir Jefri akan pergi namun setelah mengobrol dengan supirnya--yang tak Ghea dengar apa--Jefri kembali menghampiri Ghe.
"Gue temenin sampe jemputan lo dateng," ucap Jefri membuat Ghea tercengang kaget. Kenapa harus nemenin? Kenapa gak ngajak pulang bareng? Itu kan yang biasanya dilakukan cowok-cowok lain kepadanya."Kenapa?" tanya Jefri saat melihat raut wajah Ghea.
Ghea menggeleng."Gak papa. Aneh aja, biasanya cowok lain suka nawarin pulang bareng bukan nungguin sampe gue dijemput," jawab Ghea.
Satu hal yang Jefri sadari, Ghea terlalu transparan.
Jefri tersenyum tipis dan menjawab."Gue sama lo gak sedeket itu."
Malam itu Jefri menemani Ghea sampai jemputan Ghea datang. Terhitung sampai setengah jam mereka menunggu dengan hening menjadi satu-satunya ungkapan yang harus diutarakan. Dan malam itu Ghea berpikir tentang bagaimana sikap Jefri yang terkesan tak peduli padanya, padahal akan ada banyak cowok yang mencoba mendekatinya namun selalu Ghea tolak. Bagaimana dipertemuan pertama itu, Jefri menolak memberinya tumpangan padahal biasanya akan banyak cowok yang menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.
Dan semua itu menarik perhatian Ghea.
***
"Mau kemana lo malem gini?" tanya Ruby pada Jefri yang tengah menuruni tangga.
Sudah pukul setengah delapan malam dan mereka baru selesai makan malam. Ruby, Ghea dan Nina, Ibunya, tengah duduk diruang TV sambil menonton Film bersama. Malam ini Ruby akan menginap, sesekali cewek itu memang suka menginap, kadang seminggu satu kali atau lebih.
Sambil menuruni tangga Jefri menjawab."Ketemu temen," kata Jefri. Cowok itu menghampiri ketiganya dan mengambil kentang goreng ditangan Ruby lalu memakannya membuat cewek dengan pakaian tidur itu mengumpat juga, sempat memukul pelan kepala adiknya.
"Ketemu temen apaan?" ujar Ruby tak percaya."Palingan juga ketemu Gista Ma," adu Ruby pada Ibunya yang duduk disampingnya.
Kalimat yang keluar dari mulut Ruby membuat Ghea terdiam dan menatap Jefri dalam diam. Apa benar Jefri akan bertemu dengan Gista? Dugaan itu semakin jelas saja ketika Jefri memilih tak menjawab dan berpamitan untuk segera pergi.
Sebelum pergi Jefri sempat melirik Ghea yang juga tengah menatapnya. Jefri mengangkat bahunya tak peduli lalu benar-benar pergi dari sana. Entahlah, Jefri tak tahu alasan mengapa Ghea menununda kepulangannya ke Bandung. Bukan, bukan Jefri keberatan jika Ghea menginap dirumahnya tapi apa Ghea tak peduli akan sekolahnya di Bandung? Niat awalnya Ghea mengatakan akan bermalam dirumahnya selama empat hari namun kini sudah lebih dari satu minggu cewek itu belum kunjung pulang.
***
"Gista gak suka kalau ada orang yang masuk kekamarnya, Gista gak suka kalau ada orang yang pegang barangnya atau mindahin barang-barangnya. Dan kemarin Vanesa masuk kekamar Gista dan beresin kamar Gista. Gista sadar dan marah sama hal itu, dia lebih sensitif dan sekarang gue lebih jarang liat dia. Dia berangkat sekolah pagi banget dan pulang malem pas gue, Vanesa sama nyokap udah tidur. Sekarang Vanesa gak pernah ngunci pintu karena tahu Gista gak suka kalau liat dia yang buka kunci rumah, alhasil Vanesa cuma suka pastiin Gista pulang kalau udah denger ada langkah kaki sama pintu kamar yang dibuka. Nyokap juga selalu sediain makanan dimeja makan kalau-kalau Gista mau makan, gue selalu liat dari kamar gue kalau Gista pulang jalan kaki kerumah," papar Aksara yang diangguki oleh Jefri.
Keduanya kini duduk dimeja kafe dengan minuman panas yang kini perlahan mulai mendingin karena durasi yang lama untuk mengobrol. Malam ini Jefri berjanji bertemu dengan Aksara karena ada yang ingin Aksara bicarakan dengan Jefri. Jefri menerima saja ajakan itu, toh juga tak merugikan dirinya selain mungkin hubungannya dengan Gista akan semakin tak baik-baik saja.
"Kenapa Gista gak suka ada orang lain yang masuk kekamarnya?" tanya Jefri penasaran.
Aksara meminum kopinya perlahan lalu menjawab."Mungkin karena waktu dulu Vanesa selalu marah sama Gista kalau Gista masuk kekamarnya. Gue juga suka marahin Gista karena suka pegang barang-barang gue, karena dulu pernah tugas sekolah gue ketumpahan minuman dia pas dia pegang," jelasnya, tak yakin.
Terdiam cukup lama Jefri mencoba memahami apa yang Aksara sampaikan. Sampai dua kata terlintas dikepalanya."Inner child?" tebak Jefri hati-hati.
Aksara menggeleng tak mengerti."Gue kurang paham sama istilah-istilah kayak gitu," akunya jujur."Yang pasti Gista selalu punya pikiran dia bisa semuanya sendiri, itu yang selalu buat gue khawatir sama dia. Khawatir kalau sewaktu-waktu dia gagal dan ngerasa hancur."
Mendengar ucapan Aksara membuat Jefri juga khawatir. Gista terbiasa melakukan semuanya sendiri, Gista merasa bahwa dalam hidupnya ia tak membutuhkan orang lain. Tidak bergantung pada apapun, itu bagus. Tapi terlalu mandiri juga kadang mengekang diri, seperti yang dikatakan Aksara, jika sewaktu-waktu Gista gagal, Gista akan merasa hancur karena apapun emosi yang dia rasakan hanya akan sampai pada dirinya sendiri pula.
"Lo kayak gitu sama Gista aja?" tanya Jefri--lalu menggeleng saat melihat raut wajah bingung Aksara."Maksud gue, dulu pas ada masalah dirumah lo gak peduli sama dia aja?" ralatnya yang langsung dimengerti oleh Aksara.