Setelah membantu membersihkan rumah, kini giliran Eca membersihkan kamarnya sendiri. Ya begitulah kebiasaannya, kamarnya selalu menjadi yang terakhir untuk dibereskan atau bahkan tak dibereskan sama sekali. Tak sengaja ia temukan sebuah foto dibawah tumpukan buku yang belum ia bereskan selama kurang lebih 1 bulan.
Eca terduduk setelah melihat foto itu. Betapa hangat kebersamaan mereka dulu, tak sesepi hari ini. Meskipun perlahan Eca mulai melupakan rasa sakit yang ia rasakan selama ini, tetapi kerinduannya tak pernah berkurang pada sahabatnya itu. Eca rasakan Isli yang sangat ceria dan selalu peduli padanya di foto itu, meskipun Isli yang sekarang sudah tak seperti itu lagi.
"Li, bukannya kamu gak akan pernah membiarkan aku berada dalam rasa sakit? Tapi kenapa sekarang justru kamu yang membuat aku terjerembab dalam rasa sakit itu? Apa benar karena Wafa? Tetapi ya aku tetap tak bisa menyalahkan siapapun termasuk Wafa, aku dan kamu. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mengikhlaskan semua yang sudah terjadi pada persahabatan kita," keluhnya dalam hati.
Air mata sudah mewakili rasa rindu nya yang tak berujung temu, apalagi bicara ia sudah tak mampu lagi menebak Isli. Isli begitu asing dan jauh, jauh sekali bagi Eca. Ia tak mampu lagi untuk memperbaiki semuanya, sudah terlambat pikirnya.
Ketika sedang mengenangkan semua yang sudah dilaluinya dan Isli, tiba - tiba pintu kamarnya diketuk. Buru - buru Eca hapus air mata nya dan bercermin memastikan matanya tak terlihat seperti sedang menangis.
"Ca, Mama mau bicara," Ucap Mama dari luar kamar, karena Eca yang belum juga membuka pintu kamarnya itu.
"Ya Ma" Ucapnya sambil membuka pintu.
Lalu Mama duduk di kasur Eca dan mengisyaratkan agar Eca duduk juga disebelahnya.
"Ca, Mama udah coba bicara sama Bapak, perihal sekolah kamu." Ucap Mama serius.
"Sekolah?" Tanya Eca.
"Iya, Bapak setuju kalo kamu mau daftar ke universitas swasta ."
"Ma, aku bisa sekolah tahun depan dan aku bisa mempersiapkannya dari sekarang, supaya aku ga ngebebanin Mama sama Bapak." Jawab Eca tergesa - gesa, karena ia tak menyangka orang tua nya memutuskan hal ini.
"Ca, gak ada istilah anak itu beban, justru anak adalah harta yang paling berharga bagi setiap orang tua. Mama tahu cita - citamu itu mulia, kita berjuang sama - sama ya. Semoga Allah kabulkan doa - doa kamu dan perjuangan kamu itu." Ucap Mama.
Eca sangat tercengang mendengar perkataan Mamanya yang begitu menyayanginya bahkan mengorbankan segalanya hanya demi dirinya. Air mata yang tadi sudah kering, kini matanya dibanjiri lagi oleh tangisan haru. Ia sudah tak bisa lagi berkata - kata, ia peluk erat Mamanya.