“Aduuh… benar, Pak. Saya nggak bohong. Tadi memang benar saya nolongin anak kecil yang ketabrak.”
“Alaaah… kamu ini kalau buat alasan nggak usah mengada-ada. Mana buktinya kalau kamu habis nolongin orang ketabrak?”
“Nanti deh, Pak, pulang sekolah saya bawa Bapak ke rumah sakit kalau Bapak nggak percaya. Tapi sekarang saya harus masuk kelas. Saya ada ulangan, Pak. Pleeease….”
“Nggak! Itu resiko kamu, ya! Pokoknya kamu harus terus berdiri disitu sampai jam kedua selesai. Titik! Biar kapok. Udah kelas sebelas juga masih aja terlambat… Huh!”
Perdebatan alot antara guru piket dengan seorang murid mewarnai pagi yang cerah di awal bulan Mei itu. Sang guru tidak percaya dengan alasan terlambat yang dikemukakan. Sementara Resty, murid itu, sudah lelah berdebat dengan guru piket di depannya. Pikirannya mulai gelisah melihat jarum jam yang tidak mungkin bisa berhenti. Semakin lama dia berdiri di situ semakin gawat keadaannya saat dia masuk kelas nanti. Dia terus saja menggerutu kesal di hatinya sambil memikirkan cara apalagi yang harus dilakukannya agar bisa masuk kelas.
“Benar kok, Pak, kalau dia nolongin anak yang ketabrak. Saya kebetulan lewat dan ngelihat waktu dia nolongin anak tadi.”
“Hm?”
Sebuah suara mengaburkan suasana yang mulai memanas itu. Guru piket yang bernama Pak Anto dan Resty sama-sama menoleh ke arah sumber suara.
“Bintang?” cewek yang ada di sampingnya menoleh seakan tidak percaya dengan siapa yang dilihatnya.
Bintang menjawab dengan sebuah senyuman manis.
“Benar, Pak. Resty nggak bohong. Saya saksinya kok.”
Untuk sejenak Pak Anto terlihat menimbang-nimbang. Tanpa bersuara dia menuju meja piket dan menulis di sebuah kertas.
“Ya sudah, Resty, kamu ternyata nggak mengada-ada. Kamu boleh masuk kelas. Tapi ingat lain kali saya akan hukum kamu kalau kamu terlambat lagi. Ya?! Ini surat izinnya.” Pak Anto menyerahkan selembar kertas berisi surat izin masuk kelas pada Resty yang masih terlihat bingung.
“Bin, makasih ya udah nolongin gue. Untung deh, soalnya gue ada ulangan sekarang,” kata Resty setelah beberapa langkah menjauh dari meja piket.
“Iya. Nggak masalah kok, Res,” jawab cowok di sampingnya sambil membetulkan letak kacamatanya. Entah kenapa dia merasa agak grogi berjalan dengan cewek di sampingnya itu.
“Eh, tunggu deh!” Resty tiba-tiba maju menghalangi langkah Bintang. “Emangnya loe lewat Kebon Jeruk? Rumah loe kan…”
Setelah dipikir-pikir, Resty baru menyadari pembelaan Bintang di depan Pak Anto tadi, karena dia tahu hampir semua hal tentang cowok pujaannya itu, termasuk tempat tinggalnya.
Bintang hanya tertawa kecil. “Hm… sebenarnya gue emang nggak lihat loe tadi pagi. Tapi gue yakin itu benar. Gue tahu loe bukan tipe cewek yang suka bohong. Iya kan?”
Perkataan Bintang tak urung membuat Resty tersanjung. Refleks dia tersenyum lebar.