“Hah?! Serius loe pergi sama Bintang kemarin?” tanya Sarah, salah satu sobat Resty keesokan harinya saat istirahat di kantin.
“He-eh.” Resti hanya mengangguk penuh semangat karena mulutnya penuh dengan bakso dkk. Hari itu kelima sahabat Resty berkumpul dalam satu meja seperti kebiasaan mereka setiap hari.
“Oya?! Wow! Pantesan kemaren kamu nggak pulang bareng sama kita,” si mungil Mary berkomentar. “Trus… trus gimana, Res?”
“Teruuus... ya… jalan lurus. Ntar ada belokan, belok kanan deh. Ntar juga ketemu,” jawab Resty santai.
“Yee… orang aku nanya serius juga. Sebel deh! Resty selalu begitu sama aku…” Mary memanyunkan bibirnya yang memang ciri khasnya saat sedang diejek teman-temannya. Yang lain hanya tertawa melihatnya.
“Aduuh… cup, cup, Sayaang… Jangan nangis dong! Kakak sekarang lagi nggak bawa balon nih…” kata Resty yang memang paling hobi menjahili Mary.
“Ya nih iya, gue ceritain. Nggak usah cemberut lagi dong. Kemarin… ya gitu, kita berdua ke rumah sakit jenguk… ehm… anak itu namanya Vio. Orang tuanya juga ada disitu, trus Vio boleh pulang karena lukanya nggak begitu parah. Akhirnya… kita berdua diajak makan siang deh di rumahnya Vio. Trus… ya udah, gue diantar pulang sama Bintang.”
“Cie… kemajuan nih, Res,” ucap Mila yang duduk di sebelah Resty sambil menyenggolnya.
“Iya donks! Restiii… Nggak percuma kan pedekate setahun. Hehe…”
“Selamat ya, Res!” kata Karin si pintar itu.
“Heee… jangan selamat dulu dong! Gue kan belum jadian. Ntar nggak jadi jadian lagi gara-gara udah dikasih selamat duluan.”
“Yee… nggak ngaruh kali, Buu!” kata Oga menimpali. “Tapi kayaknya emang positif sih, Res,” tambahnya.
“Nyam… hm... positif apanya?” tanya Resty.
“Yaa… positif Bintang juga suka sama loe. Soalnya dari kemarin-kemarin tuh dia sel-...”
“HOEK!! UHUK... UHUK!!!”
Belum saja Oga meneruskan penjelasannya, Mila tiba-tiba tersedak dengan makanannya sendiri. Buru-buru dengan isyarat dia meminta Karin mengambilkan minumannya.
“Loe kenapa, Mil? Makanya makannya pelan-pelan dong!” kata Karin sambil menepuk-nepuk pundak Mila.
“Huk... huk... hm…!” Mila menunjuk lagi dengan isyarat ke arah sumber yang menyebabkan dia tersedak. Spontan ke-6 cewek itu menoleh ke arah yang sama bersamaan.
“Wow... ups!” kata Sarah spontan sambil membalikkan kepalanya lagi.
“WHAHA… HAAHA…!!!!” yang lain malah tertawa terbahak-bahak.
“Hei... apaan sih? Yang man- eh!” si centil Mary melongo sebentar. “Oh, tidak!” katanya sambil menutup mata.
Rupanya…
“Woooi, Jonniii! Resleting loe kebuka tuh! HAHA…. HAHA…!” teriak Oga lantang diikuti tawa kerasnya.
Bisa dibayangkan karena teriakan Oga, seisi kantin langsung menoleh ke arah si Mr. Pede itu dan tertawa terbahak-bahak. Joni sendiri setelah melihat bagian bawahnya, langsung lari terbirit-birit. Untung saja tidak ada yang marah karena kejadian itu. Walaupun ada juga beberapa anak kelas XII yang melirik ke meja Oga dkk dengan sinis karena mereka merasa Oga tidak sopan berteriak di kantin di saat orang-orang sedang makan. Ditambah tidak penting pula teriakannya. Tapi bukan Oga namanya kalau takut mengambil resiko.
“Eh, Ga, parah banget loe! Amel cs pada ngelihatin kita tadi,” kata Resty setengah berbisik.
“Bodo amat!” balas Oga santai masih sambil tertawa. Dia malah ber-high-five dengan Sarah. Memang kedua cewek itu yang paling tidak takut dengan senior. Karena itu tidak heran sering menjadi sasaran labrak dari kakak kelas yang usil. Beda dengan Resty yang agak-agak jaim berhubung gebetannya kelas XII. Mau tak mau dia merasa harus menjaga hubungan baik. Yaaa… hitung-hitung mempermudah jalan.
“Gila kan gue lagi asyik-asyik makan, eh malah nggak sengaja ngelihat yang kaya begituan. Udah jalannya sok kaya tentara lagi. Gimana nggak keselek coba?!”
“HAHAA… itu sih kamunya aja yang ngebayangin yang bukan-bukan, Mil,” timpal Mary.