Setiap tahun, OSIS selalu mengadakan acara untuk memperingati HUT sekolah. Begitu pun tahun ini, sekolah mengadakan pensi intern yang acaranya berupa pergelaran musik, fashion show, dan bazaar. Sekolah lain ada pula yang turut diundang untuk memeriahkan acara.
Acara diadakan di lapangan utama. Seluruh siswa dan juga para guru sibuk berkeliling sana sini. Ada yang menonton band indie yang sedang naik daun dari SMA Merdeka yaitu Majesty manggung atau sibuk memilih-milih aksesoris di arena bazaar.
Sementara yang lain sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, Resty dan Mila lebih memilih makan es krim di lantai dua sambil memperhatikan orang-orang di bawah yang sibuk mondar-mandir. Mereka berdua merasa enjoy bisa melihat orang yang sibuk joget, tertawa haha-hihi, tanpa mereka sadari kalau ada yang memperhatikan.
“Yeee… teater tampil tuh, Res!” kata Mila girang. Dia memang pengurus teater maka tak heran kalau dia menunggu penampilan ekskulnya dari tadi.
Resty ikut menikmati pertunjukan teater dengan judul “Udara-Air” itu. Sambil menikmati es krimnya dia tertawa terbahak melihat aksi anak-anak teater. Dia membayangkan kalau dirinya sendiri yang sedang pentas di atas panggung sana sungguh tidak mungkin. Dari atas sampai bawah full make up dan aksesoris belum lagi totalitas dalam beraktingnya. Resty jadi malu sendiri membayangkannya.
“Eh, yang pakai baju pilot itu siapa, Mil? Anak baru ya kok baru liat?”
Mila mengamati sebentar ke panggung. “Oooh… itu Nayo. Nggak, bukan anak baru kok, dia anak kelas I. Masa loe nggak tahu sih dia ngetop juga di sekolah ini?”
“Oh ya? Loe kan tau Mil, gue nggak pernah merhatiin anak kelas sepuluh. Lucu juga kayaknya.” Resty tersenyum nakal. “Udah punya pacar belum?”
“Huuu … dasar! Paling nggak bisa lihat barang bagus loe!” kata Mila sambil menjitak kepala Resty. “Katanya sih baru putus…”
“Waah… pas banget dong sama gue. Emang kalau jodoh nggak bakalan kemana,” kata Resty genit sambil tertawa. Mila hanya tersenyum melihat kelakuan sobatnya itu. “Tapi Mil, loe kok nggak ikut main?”
“Kan dibagi-bagi. Gue kan dapat peran di festival bulan depan, jadi nggak ikut sekarang. Lagian ini kan emang jatahnya anak kelas sepuluh,” jawab Mila, “…jadi ceritanya loe suka daun muda nih sekarang? Mau gue kenalin?”
“Aaah… nggak perlu,” kata Resty santai. “Turun yuk, gue mau beli es krim lagi nih!”
Memang tidak sulit bagi Resty untuk berkenalan dengan targetnya. Posisinya di Mading sebagai bagian dari seksi jurnalistik, membuatnya mudah untuk mencari info. Tinggal bilang pada redaksi kalau dia ingin membuat artikel tentang sesuatu, dia sudah bisa interview dengan orang yang dimaksud. Itu juga yang dia lakukan untuk mendekati Nayo. Dengan alasan ingin mengulas pensi kemarin, Resty langsung interview para pengisi acara, termasuk Nayo. Gampang kan? Kalau hanya sekedar nomor handphone pasti mudah didapatkan. Ditambah dengan teman-temannya yang mempunyai ekskul berbeda. Mary di Vocal Group, Mila di Teater, Oga di Basket, Sarah di Dance, dan Karin di Paskibra. Karena itulah koneksinya pun mudah kesana kemari.
Pembawaan Resty yang easy going membuatnya cepat akrab dengan orang lain. Apalagi Nayo pun berperangai ramah dengan orang lain. Ya sudah… klop deh!
Ξ
Resty dan Bintang menepati komitmennya untuk tidak saling sombong satu sama lain setelah putus. Masih sering chat, telpon-telponan, dan bertemu secara langsung. Hanya bedanya tidak semesra dulu. Perasaan mereka sudah bener-bener clear. Tapi rasa peduli diantara mereka masih begitu besar. Hari ini saja mereka makan siang di kafetaria sekolah sambil mengobrol-ngobrol setelah agak lama tidak bertemu.
“Emangnya tahun kemarin berapa orang yang nggak lulus?” tanya Resty sambil menyantap nasi goring pedasnya.
“Ehmm… kata Bu Reka sih… 5 orang. 4 orangnya dari IPA,” jawab Bintang.
“Tuh kan! IPA selalu mendominasi yang nggak lulus deh! Aku jadi takut deh, Bin. Kayaknya nyesel juga udah masuk IPA. Horor banget!”
“Eits! Jangan gitu dong! Nggak se-killer itu kok. Yang penting kamu itu belajar!” jawab Bintang sambil mencubit hidung Resty.
“Ohya, Res, aku mau nanya soal gosip yang aku dengar. Emang benar kamu lagi deket sama Nayo, anak kelas X?” Bintang mengganti topik pembicaraan.
Resty sejenak kaget.
“Nayo? Emangnya kamu percaya?” Resty tertawa geli.
“Aku nanyanya beneran nih! Kamu serius ngedeketin dia?”
“Yaaa… gimana ya?” Resty belagak berpikir. “Dibilang serius sih nggak. Dibilang nggak juga ya serius. Yaa… gitu deh gimana orang aja nafsirinnya. Nayo tuh orangnya asyik, Bin, bisa diajak bercanda. Tapi kita cuma telpon-telponan aja, nggak lebih. Ketemuan juga paling di sekolahan doang,” jelas Resty.
“Aaaah… aku tahu itu cuma kamuflase aja buat nutupin perasaan kamu ke Angga kan?” tebak Bintang.
Resty menghentikan gerakan makannya.
“Aku memang nggak bisa bohong sama kamu ya, Bin. Hmm abis mesti gimana lagi dong? Sejak berantem waktu itu, aku nggak pernah ngelihat dia lagi. Udah lama banget kan?” kata Resty bingung. “Dia masih sering latihan?”
“Masih. Absennya bagus kok. Kamu mau aku ngomong sama dia?”
“Jangan!” Resty refleks memberi tanda melarang. “Nggak usah, Bin. Biarin aja urusan ini beres sendiri. Kayak yang pernah aku bilang…”
“Itu juga alasan kamu nggak cerita ke teman-teman kamu soal Angga?”