Belakangan ini Resty dibuat heran dengan sikap teman-temannya. Sekarang mereka sulit sekali diajak keluar. Biasanya setiap pulang sekolah mereka sering makan di luar. Ini tidak, malah langsung kabur entah kemana. Hari Sabtu atau Minggu, biasanya sering main ke salah satu rumah dari mereka, sekarang semua mendadak ada urusan. Tadinya Resty menganggap teman-temannya marah karena sesuatu hal tapi ternyata tidak. Di sekolah sikap mereka biasa saja. Ngobrol, bercanda, atau sekedar menjahili orang bareng-bareng. Hanya kalau di luar sekolah saja mereka susah sekali diajak bertemu.
Biasanya kalau Resty sedang tidak pergi bareng teman-temannya, dia akan mengajak adik kembarnya, Ami dan Ima. Tapi sekarang mereka sedang dibawa Mama dan Papa ke Puncak. Jadilah Resty suntuk sendirian di rumah. Dia ambil inisiatif untuk jalan-jalan ke mall. Tidak apa-apalah sendiri juga, sekali-kali… begitu katanya dalam hati.
Di mall terdekat dari rumahnya, Resty langsung menuju ke toko buku. Sebenarnya tidak ada buku baru yang ingin dibelinya tapi niatnya hanya sekedar melihat-lihat saja. Siapa tahu ada yang bisa dibeli untuk adik-adiknya.
Resty mengambil beberapa buku pelajaran untuk adik-adiknya dan juga sebuah buku untuk dirinya sendiri. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menabraknya. Es krim yang dia bawa tertumpah di rok Resty. Noda coklat timbul di rok putihnya.
Saat Resty melihatnya dia menjadi teringat dengan adik-adiknya. Sama-sama perempuan dan sama-sama lucu, mungkin hanya selisih beberapa tahun lebih muda. Mimik takut dan menyesal timbul di wajah mungilnya. Resty jadi tidak tega melihatnya.
“Ma… maaf ya, Ka… Na-Na…na nggak sengaja…” ucapnya terbata-bata.
Resty jongkok agar setara dengan anak kecil yang bernama Nana itu. Dia simpati karena walaupun usianya masih sangat muda tapi dia sudah mengerti untuk minta maaf.
“Nggak apa-apa kok. Ehmm… tadi siapa namanya? Nana ya? Kakak bawa tissu kok, Sayang.” Resty membersihkan noda di roknya. Untung dia selalu membawa tissu kemana-mana.
“Kenapa, Na? Kok es krimnya tumpah?” suara cowok menghampiri Nana yang hanya melamun memegang stik es krimnya.
Resty kaget mendengar suara cowok itu. Suara yang sangat dikenalnya. Angga! Resty langsung mendongak. Mata mereka bertatapan. Angga pun tidak kalah kaget melihat Resty di depannya.
“Res…” ucapnya pelan.
“Angga?!” kata Resty sambil berdiri. Dia senang sekali bisa melihat Angga setelah sekian lama. Apalagi saat memakai baju bebas seperti ini, semakin mengukuhkan ketampanannya.
Setelah Resty berdiri, Angga jadi tahu kenapa es krim Nana tumpah.
“Ooh… sorry, Res, Nana udah tumpahin es krimnya ke rok loe ya?”
“Ehm… nggak apa-apa kok. Dia nggak sengaja tadi.” Resty melanjutkan membersihkan roknya yang tadi sempat terhenti. “Ini siapa, Ngga?” tanya Resty mencoba biasa.
“Ini Nana, adik gue.”
“Adik loe?!” Resty kaget karena yang dia tahu Angga itu anak tunggal. Dulu saat masih SD, Angga memang mempunyai adik tapi cowok. Itu pun sudah meninggal karena sakit.
“Teman kamu, Wa?” tanya seseorang wanita paruh baya dari belakang Angga. Senyum menyungging dari wajahnya saat melihat Resty.
“Tante,” kata Resty ramah. Walaupun sudah lama tidak bertemu, tapi sedikit-sedikit Resty masih ingat wajah itu. Dia adalah mamanya Angga.
“Eeh… iya, Bu. Ini… Resty. Ibu masih ingat nggak Resty teman Dewa waktu kita masih di Solo?”
Kening Mama Angga berkerut. Dia berusaha mengingat-ingat.
“Ooh… ya… ya. Resty anaknya Bapak Toro itu kan?” tebaknya.
“Iya, Tante,” kata Resty tersipu.
“Waah… sekarang udah gede ya. Cantik…” puji Mama Angga tulus.