Ibu marah besar. Tentu saja, apa yang kuharapkan setelah melanggar perintahnya dan pulang dalam kondisi babak belur? Akan tetapi, aku memerlukan penjelasan. Amarahnya berubah menjadi keterkejutan ketika aku menyeret Jonathan kemari. Dia bersedia membantu. Tentu saja, dialah yang sejak awal terobsesi untuk membunuhnya. Jadi, disinilah dia, bersamaku, menuntut jawaban sementara Andrian menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum canggung pada ibuku.
Beliau menjatuhkan dirinya di kursi. Seolah hantaman beban dunia saja tidak cukup untuknya. Ibu menangkupkan tangannya tangannya, menutupi wajahnya seolah seluruh dunia sudah musnah dan dia baru diberitahu tentang itu.
“Jonathan dari mana kamu tahu hal itu?” tanya Ibu. Suaranya lemah. Lebih kepada putus asa.
“Aku menyelidiki selama setahun terakhir, alih-alih mengejarnya langsung aku mencari alasan mengapa dia tidak bisa dibunuh. Semua serangan kami sia-sia, tapi Diandra bisa melukainya cukup kuat. Aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan faktanya. Ketika aku menyelidikinya aku menemukan beberapa hal,” katanya. “Lima tahun yang lalu dewan mengembangkan makhluk buatan. Perubahan yang bukan dari kekuatan supranatural untuk kepentingan perang. Sesuatu yang lebih mampu dikendalikan. Sesuatu yang tidak mencolok di mata manusia atas. Yang tak terkalahkan.”
Andrian meneguk ludahnya ngeri, dia bertemu mata denganku ketika aku meliriknya. Sementara kami menyimak, Jonathan melanjutkan.
“Penelitian itu jelas memiliki resiko kegagalan yang tinggi. Ketua tim penelitian itu mengantisipasinya dengan hanya darahnya lah yang mampu mengalahkannya. Sekaligus untuk memastika bahwa tidak ada yang akan mengkhianatinya. Sayangnya, hasilnya jauh lebih mengerikan daripada yang dia kira. Makhluk ini adalah salah satu yang gagal. Penelitian itu dilakukan secara diam-diam. Ketika makhluk itu muncul, ketua peneliti memberantas semuanya. Membuatnya begitu diagung-agungkan seolah dia adalah pahlawan dengan kekuatan luar biasa. Sekarang dia diangkat menjadi seorang ketua dewan berkat keberhasilannya.”
“Dan yang memprakasai penelitian tersebut adalah Kusuma Dwi Wijaya.” Jonathan mengakhiri ceritanya dengan menatap ibuku yang menunduk. “Suami anda. Ada yang ingin anda tambahkan, Bu Pratiwi?”
Hening. Kami semua terdiam oleh cerita Jonathan. Entah apakah itu benar atau tidak. Tidak tahu darimana dia mendapatkan informasi sedetail itu. Tetapi ibu bahkan tidak mencoba untuk menyangkalnya. Seolah-olah dia membenarkan semua yang dikatakan Jonathan.
Kusuma Dwi Wijaya.
Ketua Dewan di Indonesia, sekaligus ayah yang tak pernah kutemui sebagai seorang keluarga.
Aku bertemu dengannya beberapa kali. Dalam sebuah pertemuan sebagai seorang anggota dewan penegak. Tetapi dia bahkan tidak pernah memberiku tatapan bagaikan keluarga. Yang kuingat hanyalah pandangan tegasnya di balik kacamata. Aku tahu dia ayahku, Ibu memberitahuku. Namun, aku bahkan tidak pernah mengharap sebuah senyum ramah atau hubungan ayah dan anak yang sebenarnya kami miliki. Bahkan ketika dia masih belum diangkat menjadi ketua dewan.
Hanya saja, aku tidak menyangka bahwa lelaki itu begitu picik. Ayahku, adalah orang yang menyebabkan semua kekacauan dan dia bertindak seolah dialah yang telah menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran.
Sialan.
Aku menggigit bibir. Badanku gemetar karena marah, kekecewaan, ketidak percayaan, serta ketidak berdayaan yang mengaduk perutku. Itu sama saja dengan ayahku lah yang membunuh semua rekan-rekanku.
Keheningan itu hilang oleh suara helaan napas ibu yang begitu berat. “Kamu sudah tahu semuanya,” katanya. Dia menatapku dengan senyumnya yang menyakitkan. “Aku ... Diandra tidak terlibat apa pun dengan peristiwa itu. Dia tidak salah.”
“Aku tidak menyalahkannya,” kata Jonathan tersinggung. “Aku tidak begitu tolol untuk tidak bisa membedakan mana yang salah, dan siapa yang tidak.” Ibu memandangnya dengan ketidak percayaan. Lantas dia tersenyum, sebuah senyum yang seolah mengucapkan terima kasih. Jonathan melihatnya, namun dia hanya mengangguk lantas memandangku, “Hanya saja, Diandra mau tak mau harus terlibat. Hanya dia yang bisa menyelamatkan temannya,”
Ibu segera beralih memandangku. “Temannya?”
“Rosa,” kataku. “Dia dirubah oleh makhluk itu. Aku bermaksud untuk mengambilnya kembali.”