Diandra dan Dendam sang Serigala

ArinaAsh
Chapter #2

Bagian 1

Seseorang di seberang telepon berkata dengan suara penuh rasa bersalah bahwa dia tidak bisa pulang malam ini, dan mungkin hari-hari berikutnya. Sebenarnya, itu bukan masalah bagiku karena aku hampir menghabiskan sepanjang tahun dengan tanpa seseorang yang menemani malamku.

Berkat kesibukan Ibuku sebagai anggota dewan yang memastikan dunia atas agar tidak mengetahui apapun mengenai makhluk-makhluk supranatural, atau menghajar makhluk supranatural yang membuat ulah sampai setengah mati, dia hampir tidak pernah memiliki waktu untuk sekedar bermain denganku. Aku menahan diriku untuk tidak mendengkus saat itu juga, dan mengalihkannya dengan mengganti tumpuan kakiku.

“Aku tahu kamu sibuk, Bu.” Tanganku melambai, membalas Rini yang tersenyum melewatiku dengan tas tersampir di punggungnya. “Aku baik-baik saja. Iya, aku mengerti. Tidak, jangan khawatir.”

“Ibu akan menyelesaikan pekerjaan secepat yang kubisa dan kembali,” balasnya tetap keras kepala. Salah satu kebiasaan ibu yang ingin kuubah bagaimanapun juga. Hanya saja percuma, aku sudah menghabiskan tahun-tahunku untuk melakukannya. “Tiga hari. Sampai saat itu, berhati-hatilah, sayang.”

“Bu, aku baik-baik saja. Tenanglah disana, aku ...,” aku menelan ludahku. Hampir mengatakan sesuatu yang akan membuatnya semakin khawatir. Aku sudah terbiasa sendiri, jelas bukan pilihan kata yang tepat. Yang ada malah membuatnya semakin sedih. “ada kelas. Jangan lupa istirahat, Okay? Aku sayang padamu, Bu.”

Ibuku belum sempat membalas, karena aku telah mematikan sambungan dan menjejalkan handphone-ku ke saku. Bukan sesuatu yang normalnya dilakukan remaja, tapi aku harus melakukannya. Hah ... sejujurnya, dia tidak sekhawatir ini sebelumnya, tetapi sejak setahun yang lalu, ketika aku menjadi orang yang selamat dari pembantaian masal setahun yang lalu, Ibuku selalu berpikir bahwa aku masih memiliki trauma. Dan sebenarnya dia tidak seratus persen salah.

Aku menyandarkan kepalaku pada dinding kelas yang dingin. Hujan membuat suasana masih begitu lembab, dan aku bukannya tidak menyukainya. Sebagai penyihir air, aku memang menyukai saat-saat dimana air berjatuhan dari langit. Membasahi kulitku, menikmati bagaimana air mencoba untuk menyembuhkan pikiran maupun badanku. Sayangnya, aku tetap saja tidak suka basah.

Mataku tertutup. Membiarkan nafasku tertarik panjang, mencoba menenangkan diri. Setahun yang lalu. Malam dimana aku kehilangan seluruh kelompokku karena serangan besar-besaran makhluk buas sinting. Kami yang seharusnya memiliki enam orang anggota kehilangan empat, satu dengan kepengecutannya yang bodoh, dan satu lagi pendendam yang hilang entah kemana. Berani bertaruh, dia menghabiskan setahun terakhir dengan mengejar informasi apapun yang dia dapat dijalanan.

Kulitku meremang. Mengingat kembali bagaimana suara teman-temanku pada saat terakhir mereka yang mengerikan. Darah yang terciprat, kengerian tanpa akhir. Tawa sinting si psikopat gila yang menggunakan tangan bercakarnya untuk membuat tubuh orang lain hancur lebur. Sementara aku? Aku hanya terduduk penuh dengan air mata, kaki bagaikan agar-agar, dan kengerian tanpa akhir sementara lelaki di sebelahku telungkup sekarat.

Mataku tak bisa terlepas dari setiap gerakan makhluk itu, giginya yang runcing merobek tangan rekanku. Nafasku memburu, baik di ingatanku, dan mungkin aku yang sebenarnya.

Ketika seseorang menepuk bahuku, aku terlonjak, berbalik, dan hampir memukulnya. Membuat siapapun yang menepuknya ikut terkaget dan mengangkat tangannya dengan panik. Satu tanganku sudah terkepal di udara, dan siap dilayangkan ke wajahnya ketika dia tersenyum dengan canggung.

“Oh Astaga,” katanya. “Turunkan tanganmu! Kau membuatku takut.”

“Apa yang kau lakukan?”

Sebelah alisnya terangkat heran. “Membangunkanmu dari lamunan pagi yang mungkin bisa membuatmu kerasukan?

“Lucu.” Bola mataku berotasi. Lantas aku menemukan tas masih terpasang di punggungnya, dan rambutnya berantakan, mengikal ke balik bahunya, sama halnya dengan seragam yang keluar dari pinggang. Mataku melirik jam tangan. “Masih kesiangan?”

“Setidaknya sebelum bel,” katanya jengkel. “Ayolah, aku mau menyalin PR biologimu.”

Lihat selengkapnya