“Dia baik-baik saja.”
Suara itu terdengar samar, dan seketika itu juga aku tahu aku ada dimana. UKS. Tempat ini selalu menjadi tempat terakhirku ketika rasa panik dan kengerian menghantam perutku sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
“Dia hanya terkejut karena melihat keadaan maaf ... mayat Pak Hendi. Helena yang menemukannya masih syok sehingga pihak sekolah merujuknya ke rumah sakit, sementara Diandra ... kamu sudah sadar?”
Mataku melirik Bu Santi yang membuka tirai, di sebelahnya ada Bu Tantri guru bahasa indonesiaku sekaligus wali kelas yang mengurusiku. Aku mencoba untuk mendudukkan diri. Itu tidak terlalu sulit karena pada akhirnya kau hanya merasa syok. Trauma yang terpanggil kembali, namun Bu Santi segera membantuku duduk.
“Terimakasih, Bu.”
Bu Santi tersenyum. “Sama-sama,” katanya sebelum memalingkan wajahnya pada Bu Tantri. “Bu Tantri, saya cek sebelah dulu, ya. Diandra istirahat dulu saja, sekolah sudah dipulangkan tetapi tinggallah disini sebentar.” Lantas beliau membuka tirai sebelum menutupnya kembali, mengecek Sandra yang nampaknya sama syoknya denganku.
Sepeninggal Bu Santi, Bu Tantri mengambil tempat duduk di sebelahku. Pembawaannya yang begitu dewasa yang lembut mungkin akan menenangkan siapapun, tapi tidak cukup kuat untukku. Dia menyodorkan teh hanya padaku, membuatku mau tak mau mengambilnya, dan membiarkannya tetap berada di tenganku setelah kuteguk sekilas.
Terlalu manis.
“Diandra, bagaimana keadaanmu?”
“Baik-baik saja,” gumamku. Menunduk.
Karena terlalu sering menghadapiku, Bu Tantri hanya tersenyum. Tangannya yang hampir mengusap rambutku bahkan harus terhenti di udara. Membeku ketika aku menghindarinya. Di matanya aku bisa melihat sirat luka, sesuatu yang tidak kumengerti bagaimana bisa ada di sana.
Senyumnya tertarik setelah dia mengambil tangannya kembali.
“Aku akan menghubungi ibumu agar ia mau menjemput.”
“Tidak perlu,” jawabku terlalu dingin. Aku berdeham. “Dia tidak akan pulang tiga hari ke depan. Lagipula ini bukan apa-apa.”
“Tapi tetap lebih baik untukmu berada di sebelah seseorang,” katanya. Aku mengangguk sekilas, mengambaikan apapun ekspresi yang sedang dia tunjukkan. Membiarkan mataku terpaku pada tirai dan pembicaraan di sebelah yang tak mampu diredam olehnya. “Istirahatlah. Sekolah hanya libur sehari, tetapi penyelidikan akan terus dilakukan. Sebenarnya kami berkehendak agar diliburkan lebih lama, mengingat betapa mengerikannya peritiwa itu, tetapi ujian sudah dekat. Akan tetapi kamu boleh istirahat tiga hari ke depan.”
Aku tidak mendengar begitu mendengar penjelasan Bu Santi, tetapi aku mengangguk, “Baik.”
Kali ini kubiarkan dia mengusap pundakku sebelum beranjak. Pikiranku segera melayang pada apa yang terjadi siang tadi. Itu jelas bukan perbuatan manusia, tentu saja siapa orang gila yang bisa mencakar seseorang hingga sebegitu mengerikan? Dan hewan buas tidak menyerang siang bolong lantas menghilang.
Mengingat yang berteriak tadi bukan Pak Hendi, melainkan Helena, artinya penyerangan itu tidak terjadi saat itu juga. Werewolf yang kehilangan kendali emosinya? Tetapi siapa? Aku tidak yakin ada werewolf di sekolah ini. Vampir tidak meninggalkan bekas seperti itu. Kalau mayatnya terbakar, mungkin bisa jadi seorang penyihir. Seorang kesatria pun tidak meninggalkan luka demikian. Bukan luka tebas, yang artinya ini benar-benar hewan buas.
Makhluk buas atau manusia serigala?
Hanya itu yang ada di kepalaku sekarang. Tetapi siapa? Bagaimana?