Sejujurnya, perlu banyak sekali keberanian dan berkali mencoba untuk keluar rumah sebelum kembali, dan mencoba lagi, sebelum akhirnya aku memberanikan diri untuk memakai jaket dan mulai berjalan keluar.
Setelah menghela nafas setidaknya sepuluh kali, aku menatap ponselku yang akhir berhenti terhubung dengan ibuku. Tentu saja, dia akan panik setengah mati setelah kejadian tadi siang dan aku harus menghabiskan satu jam terakhir untuk meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Setidaknya aku sekarang, karena pikiranku masih saja kebingungan.
Siapa yang menyerang Pak Hendi, dan kejadian apa yang disembunyikan Yoga?
Orang itu bahkan tidak mengangkat teleponnya, dan ketika aku mendatangi kantor polisi semua rekannya berkata bahwa dia tidak ada di tempat. Yoga pasti bersembunyi, kebiasaannya tidak berubah bahkan setelah lima tahun kami saling mengenal.
“Okay,” gerutuku setelah untuk terakhir kalinya menelpon Yoga. “Terserah padamu, aku juga seorang dewan ....” Aku terdiam. Mengusap rambutku yang hanya sebahu, mengikal kusut. “Setidaknya dulunya.”
“Jadi,” Baru saja aku menuruni anakan tangga teras, tetapi sebuah suara membuatku melonjak. Ketika aku berbalik, memandangnya sengit, aku mendapati Ardian telah berdiri dengan jaket hitam hangat dan celana jeans, serta sepatu olah raga. “Kapan kau akan menjelaskan tentang dewan dan semua yang kau sembunyikan dariku?”
Aku mendelik tajam padanya. “Tidak ada yang kusembunyikan, tuh.” Kupikir dia akan menyerah, namun ketika dia memandangku dengan tatapan mengejek, aku tahu bahwa dia sudah setidaknya menduga banyak hal. Aku mengacak rambutku dengan frustasi. Satu masalah belum selesai, datang lagi kakak kelas menyebalkan ini. “Iya, ada. Nah, puas sekarang? Kembalilah, ini bukan urusan manusia sepertimu.”
Lelaki itu bahkan hanya mencebik tidak puas.
“Manusia.”
Mengabaikannya, aku memilih untuk berbalik. Tujuanku sekarang adalah sekolah dua blok dari rumah, dan aku tidak berniat membawa sepeda motor. Menyebalkan untuk memarkirnya sembarangan dan sekolah pasti di pasangi garis polisi. Aku bahkan menduga mungkin mereka masih berjaga di sana. Dan berkat pembunuhan itu juga, orang-orang mulai mengadakan penjagaan desa. Seolah mereka bisa menjaga diri mereka dari serigala dengan pentungan saja.
Sayangnya, meski aku sudah berjalan selama lima menit, Ardian masih mengekor di belakangku, dan hanya akan memiringkan kepalanya dengan senyum miring yang menyebalkan. Aku mendengkus, berbalik, dan menyilangkan tangan di dada.
“Okay, apa yang sebenarnya yang mau?”
“Penjelasan?” katanya yang lebih terkesan sebuah pertanyaan. Dia menunjukkan senyum yang akan membuat seseorang terpesona. Sayangnya, tidak untukku. “Dan aku tidak ingin membiarkan seorang gadis menyelidiki kasus mengerikan yang bahkan membuat dia hampir pingsan siang tadi seorang diri.”
Aku mendelik sekali lagi. Cara berbicara, dan ekspresinya selalu sukses membuatku jengkel. Pembawa juara tim voli putra tahun lalu ini bahkan menunjukkan senyum main-main yang sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan.
“Maksudmu kau penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi?”