Itu bukan dia.
Tenangkan dirimu.
Lelaki itu, tepat seperti yang dikatakan Andrian ciri-cirinya, berdiri gagah dengan mulutnya yang terus menggeram melalui celah taringnya yang berliur menjijikkan. Tolong lap dulu liuru, sungguh. Meskipun aku berkali-kali menghadapi manusia serigala, aku hampir tidak pernah menemukan mereka yang berliur-liur menjijikkan. Dan orang ini berada dalam kategori super menjijikkan.
Dan itu, bukanlah orag yang sama dengan ornag yang membunuh seluruh temanku. Meskipun bukan berarti dia tidak bisa melakukannya juga.
Dia menggeram lebih keras, seolah kami ada hewan liar yang menggangu teritorinya, dan nampaknya memang begitu. Tanganku secara reflek mencari-cari milik Rosa. Sebuah kebiasaan yang selalu kubawa sejak masih menjadi pasukan Dewan. Para manusia serigala sering menyerang satu sama lain untuk mempertahan wilayah yang telah mereka klaim. Dan Rosa pasti mengklaim sekolah ini sebagai miliknya.
Dengar saja bagaimana dia mulai menggeram dari kerongkongannya.
“Hei, Diandra,” kata Andrian. Mataku terlalu terfokus pada setiap gerak-gerik serigala itu untuk menyempatkan diri melihatnya. “Kau punya ide?”
“Ya,” kataku. “Lari!”
Aku segera berbalik. Andrian sudah lebih dulu melompat ke pintu, sementara aku mendorong Rosa masuk. Dia hendak melawan balik ketika si lelaki meraung, lantas melompat mengejar. Gerakannya begitu cepat, kalau saja aku tidak terbiasa melakukan pertarungan di masa lalu kepalaku pasti sudah menggelinding lepas.
Sebelum dia sempat melewati pintu, aku mengumpulkan sihir di tanganku. Berbalik, lantas membuka tanganku. Sensasi seperti permen karet yang keras memenuhi telapak tanganku. Sulih untuk dikendalikan, dan seolah ingin kembali terpental seperti bola.
Air meledak dari sana. Membuat dinding untuk menutupi pintu, bersamaan dengan dia yang melompat ke pada kami. Dorongannya terlalu kuat. Dindingku menjadi terasa begitu terlalu berat untuk di tahan. Detik berikutnya, aku terdorong mundur. Terpental dan berhenti setelah menabrak pohon mangga.
Nyeri menjalari punggungku, udara seolah keluar dari paru-paruku dengan paksa. Aku terjerembab ke tanah, tanpa membiarkan rasa sakit mencengkramku terlalu lama, kepalaku terangkat. Menatap Andrian yang dengan nekat meraih tongkat kayu yang dia temukan. Memukulkannya pada si makhluk besar yang sayangnya hanya membuat tongkat itu hancur namun sama sekali tidak melukainya.
Perhatian makhluk itu teralih dariku yang terjerembab, menuju Andrian yang masih menatap kayunya yang hancur tidak percaya. Dia melepaskan sisa kayunya, mejatuhkannya ke tanah. Dia melangkah mundur perlahan. Sekalipun coba dia sembunyikan, aku bisa melihat ketakutan terpancar di matanya.
“Okay, makhluk besar, ayo kita mengobrol dengan tenang dulu.”
Ucapannya tidak di gubris. Dia melompat ke samping bersamaan dengan si makhluk besar yang mencoba menyerang dengan cakarnya. Andrian pasti sudah kehilangan kepalanya kalau dia telat barang sedetik saja. Melihat makhluk besar yang menabrak dinding seperti banteng kembali mengincarnya, Andrian menendang tanah dan mencoba berdiri.
Kematian hampir menangkapnya lagi. Beruntung sekali Rosa dengan sigap membantu. Dia melompat, ke depan Andrian. Mendorongnya dengan cakar-cakarnya. Si makhluk buas terjerembab kembali ke dinding karena serangan Rosa. Bulu-bulu memenuhi tangannya, serta pipinya, dan rambunya sedikit memanjang. Geraman dengan sangat sengit menguar dari kerongkongannya.
Meski aku melihat dari belakang kepalanya, aku bisa membayangkan taring yang memancang di mulutnya. Si Makhluk besar tidak terjerembab selamanya, dia kembali melompat. Menggeram balik dengan matanya yang memerah penuh dengan amarah.
Dengan tergesa-gesa aku menghampiri Andrian. Dia tampak baik-baik saja, namun situasi kami bukanlah berada di waktu yang baik. Rosa meraung balik, dia melompat dan meraung. Aku bahkan tidak bisa mengenalinya sebagai Rosa. Moncongnya ke depan memancang dengan taring yang tajam. Kaus hitam di tubuhnya terkoyak karena cakaran si makhluk yang menyerang baik.
Si mahluk mendorong Rosa mundur, hampir menabrak kami. Dia menggeram dengan keempat kakinya memijak lantai kelas. Aku mencoba untuk mundur. Sialan, kemampuan Rosa tidak cukup untuk melawannya.