Ingatanku masih sangat jelas menyimpan tentang lelaki ini. Bahkan pakaian yang digunakankan selalu berselera sama seperti dimasa lalu. Surainya yang terpangkas asal-asalan, agak panjang, hitam legam bagaikan langit malam. Jaket motor hitamnya membungkus tubuh yang aku yakin begitu berotot. Sama seperti di masa lalu, tatapannya tajam, namun sekarang percik dingin terpampang di sana.
Jonathan Ferdiawan.
Dia begitu tampan dan mempesona, apalagi ketika di tangannya burus panah hitam seperti arang teracung kemari. Dengan anak panah yang telah terlempar. Tepat mengenai sasarannya berupa Manusia Serigala yang saat ini menggeram penuh amarah.
Kupikir dia akan menyerang lagi, dan kurasa lelaki itu juga berpikiran sama Jonathan kembali menyiapkan anak panah merahnya. Sang Pemburu bahkan dengan siap membunuh mahluk itu. Namun semuanya berhenti ketika lolongan menggema di malam yang sepi. Si makhluk terpanggil, sementara Rosa menggeliat terganggu.
“Lolongan,” gumamku.
Si manusia serigala buas berbalik, dia berlari menyusul lolongan kawanannya setelah menggeram dengan penuh dendam kesumat. Seolah di taring-taringnya dia berkata, “Aku akan kembali dan merobek semua pipi kalian.” Aku tidak yakin apakah dia yang membunuh Pak Hendi, tapi tampaknya seseorang dari kawanannya yang melakukannya.
Sial. Seberapa banyak sebenarnya.
Anak panah Jonathan melesat, hampir mengenai si makhluk. Sementara aku tertatih ingin mengejarnya. Sial, aku harus menghentikannya sekarang atau dia akan membunuh seseorang lagi.
Sayangnya, kakiku berdenyut nyeri. Mulutku mendesis tanpa mampu kucegah, seketika kekuatan di penopangku menghilang. Bersama sihir yang berhenti menjadi adrenalinku. Rasa lemas memenuhi tubuhku sehingga aku merosot ke lantai. Nafasku masih berat, namun sekarang aku lebih merasa lega. Setidaknya teman-temanku selamat. Kami tidak mati.
“Apa yang kau lakukan disini?” Aku mendongak, menatap Jonathan yang tampak kesal dengan berdiri di depanku. “Bagaimana bisa kalian bertiga kewalahan melawan makhluk seperti itu?”
Aku menggeleng. “Kami hanya remaja normal.”
Dahi Jonathan berkerut. “Kau terobsesi menjadi remaja normal. Ya, tapi kita adalah makhluk supranatural. Kau seorang penyihir. Kalian bukan manusia. Seharusnya kalian tahu bagaimana mempertahankan diri. Bertarung. Tidak hanya lari dan bersikap bodoh bagai pengecut.”
“Maaf menginterupsi,” kata Andrian. Dia mengangkat tangannya setelah menyampirkan jaket pada Rosa untuk menutupi pakaiannya yang terkoyak. Rosa telah menghilangkan bulu, dan mengganti moncongnya dengan wajah yang manis. “Aku manusia.”
“Apa?” Sengit Jonathan. Andrian mengangkat bahunya ringan, beruntungnya Jonathan memilih untuk mengabaikannya. “Aku membutuhkanmu untuk melawan makhluk itu tetapi apa yang temukan sekarang? Luar biasa.”
“Makhluk itu?” tanyaku heran. Lantas ketika aku mengerti apa maksudnya rasa ngeri menjalari tulang punggungku. “Kau ... apa yang kau lakukan disini? Kau menghilang selama setahun terakhir.”
“Aku berburu,” sergahnya tidak sabaran. “Dia ada disini, kalau kau tidak tahu.”
Nafasku tercekat. Dia? Makhluk yang membunuh teman-temanku dan membuatku berada dalam teror setiap malam ada disini? Kenapa? Bagaimana bisa? Aku ingin tidak mempercayainya tetapi ucapan Jonathan yang tampak serius, aku tahu bahwa dia memang benar-benar di sini.
Di sana, Andrian dan Rosa saling tatap dengan bingung.
Jonathan mendengkus. “Kita akan bicara nanti. Aku perlu memburunya.”
Dia menghilangkan busurnya sebelum hendak berlari mengejar manusia serigala tadi sebelum aku menjegal tangannya.
“Kau bilang kau membutuhkan bantuanku untuk membunuhnya. Kenapa?”
Hening. Jonathan membiarkan dirinya terdiam sementara aku mulai merasa tidak nyaman dengan tatapannya yang dalam. Seolah dia tengah menelanjangiku dengan mata tajamnya yang bagaikan elang. Itu secara harfiah, dia memiliki mata elang yang mampu melihat dalam jarang sangat jauh sekalipun untuk mendukung busur yang terlahir bersama jiwanya.
“Kau adalah satu-satunya orang yang mampu melukainya.”