Sekolah masih saja heboh. Padahal sehari telah berlalu, kemarin sekolah diliburkan. Penyelidika masih dilakukan, dan garis polisi belum dilepas. Karena ada kaca yang hancur, dan isu yang menyebar mengenai lolongan serigala dan geraman dari kesaksian para tetangga. Beberapa siswa memilih tidak masuk, ada yang tidak diperbolehkan orang tua dan hanya memanfaatkan situasi saja. Membolos pergi entah kemana.
Rosa nampak baru datang di menit-menit terakhir bel. Kupikir dia tidak datang hari ini, sementara Andrian sudah pergi bersama Yoga untuk meminta persetujuan ke dewan. Yah semoga dia diperbolehkan sehingga aku tidak harus menerima hukuman.
Ibuku marah besar ketika tahu apa yang terjadi, aku tidak menceritakan apapun tentang Jonathan. Masih belum, tetapi aku menyinggung tentang kawanan. Ibu sepertinya tahu tentang Rosa sejak lama, dan seperti, Yoga dia mengira aku sudah tahu karena kami sangat dekat.
Dia juga memberi wejangan lebih kepada permintaan maaf kepada Andrian karena harus melibatkannya dalam bahaya. Padahal Andrian malah terlihat menikmatinya. Seolah dia menemukan sesuatu yang dia cari selama ini.
Rosa melirik pada siswa-siswa yang bergerumbul untuk membicarakan masalah jendela. Beruntung kami bertarung di belakang sekolah, tetapi dia lantas tersenyum geli. Sebelah alisku terangkat heran, tetapi dia hanya menggeleng namun masih tertawa.
Kami berjalan bersama ke kelas, “Gosipnya menyebar tak terkendali,” katanya. Meletakkan tasnya. Sebelum dia terlojak ketika Putra berbalik, menghadap padanya. “Owh man, kau mengejutkanku.”
“Kau tahu semua isunya?”
“Ya,” kataku. Mendudukkan diri. “Pembunuhan, hewan besar.”
“Aku rasa itu lebih buruk lagi,” dia melirik ke sekitaran lantas mencondongkan dirinya seolah dia takut seseorang akan mendengar ucapannya. “Kurasa hewan-hewan buas itu bertarung untuk memperebutkan sesuatu. Atau mereka bukan hewan. Sesuatu yang buas.”
“Ya, Putra,” kata Rosa tersenyum geli. “Aku ingin dengar teorimu tentang sesuatu yang buas merebutkan sesuatu.”
“Kau menyebut sesuatu dua kali,” kataku.
“Ya karena itu sangat sesuatu.”
Putra menatap tajam. Dia dengan sebal kembali berbalik ke depan ketika tahu kami hanya mempermainkannya. Dia memang selalu begitu, bukan bermaksud membulinya, tetapi dia memang selalu suka mengkaitkan sesuatu dengan konspirasi. Hasil dari dia yang sering melihat tayangan Youtube mengenai hal itu. Aku tidak pernah menganggap itu salah, tetapi dia terkadang berteori kelewat gila. Sehingga aku yang tahu mengenai dunia bawah hanya mampu tertawa geli setiap dia membuka suara mengenai sebuah kejadian. Aku bertemu pandang dengan Rosa sebelum akhirnya kami tidak bisa menahan tawa kami meledak lepas.
Sesuatu sekali.
Beruntungnya bagi kami, seminggu terakhir berjalan dengan amat damai. Yoga dan Andrian kembali tiga hari setelah mereka pergi ke Jakarta. Markas pusat untuk Dewan di Indonesia. Dia dengan cengiran kelewat lebar menunjukkan kartu yang berselimut sihir. Hanya dia dan para makhluk bawah yang bisa melihat apa kartu itu isinya. Yang lain hanya akan melihatnya sebagai tanda pengenal biasa.
Andrian bercerita bahwa sebenarnya Dewan menuntutnya untuk diubah menjadi Werewolf dan berada di bawah pengawasan Yoga. Hal itu membuat pengurusannya lebih cepat, tetapi Yoga menolaknya. Oleh karena itulah, dia harus menghabiskan waktu sedikit lebih lama daripada yang diharuskan. Pada akhirnya dia tetap mendapatkan surat izinnya. Dengan syarat dia harus menjadi informan untuk dewan yang ditugaskan disini.
“Informan itu apa?” tanya Rosa. Galang tidak ikut makan siang hari ini, karena kami ingin membicarakannya bertiga.
Andrian mengangkat bahunya.
“Seseorang yang menerima informasi, dan mencari informasi sekecil apapun mengenai penyerangan makhluk dunia bawah. Biasanya mereka yang tahu berada di pemerintahan dunia atas. Seperti kepolisian, sehingga lebih memudahkan Dewan untuk mendapat informasi. Mengingat Dewan tidak bisa menyelidiki terang-terangan. Nah, masalahnya ini sedikit sulit untukku karena aku hanya warga sipil.”
“Kau pasti cukup berharga untuk mereka,” kataku. Aku menggigit baksoku yang super pedas. Rosa dengan jahil memasukkan banyak sekali sambal di makananku. “Dewan cukup ketat untuk memberikan identitas ‘mereka yang tahu’ bila tidak menguntungkan.”
“Yah itu membuatku lebih berharga daripada sebutan lelaki yang mencoba memukul monster besar menggunakan tongkat kayu.”
Begitulah minggu ini berjalan. Hampir tidak ada informasi lanjutan. Kepolisian masih pusing untuk memecahkan kasusnya. Andrian mulai dilatih untuk bertarung yang lebih kepada mempertahankan diri. Meskipun aku tidak tahu bagaimana seorang manusia melawan seseorang dengan kekuatan magis, taring, atau cakar, dan penyembuhan luar biasa.
Kehidupanku praktis kembali menjadi remaja biasa. Bedanya adalah dua orang di sekitarku tahu mengenai identitasku dan tidak perlu menyembunyikannya terlalu keras.
Lagipula, aku hampir tidak pernah menemui Rosa sepulang sekolah karena dia sibuk membujuk Yoga untuk mengajarinya bertarung. Aku bisa membayangkan bagaimana dia mencoba untuk membuat Yoga mengajarinya bertarung dengan dalih pertahanan diri. Dan sepertinya Yoga cukup mempercayainya sehingga sekarang dia pun berada di pelatihan intensif.