Diandra

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #1

Un: Amour pour mór

Quintin Paredes Road pukul delapan malam waktu Manila, untuk pertama kalinya aku membawa mobil sendiri melintasi jalanan ini. Sudah kesekian kali aku ke Filipina tapi baru kali ini aku mengitari jalanan sendirian meski dengan bantuan Google Maps. Aku hendak menuju kediaman Elsandro, fotografer partnerku yang beberapa kali membuatkanku pameran di Silverlens. Perkenalan kami tidak disengaja, terjadi dua tahun lalu ketika klub fotograferku sedang hunting di Way Kambas, memotret Gajah Sumatera yang eksotik. Kebetulan, ia pun tengah berkunjung ke Lampung –memang demi gajah di Way Kambas, tujuannya sederhana, hanya ingin membandingkan besar Gajah Sumatera dan Gajah Thailand. Itu yang ia katakan kepadaku saat kami berada di satu area yang sama. Ketika itu aku menghampirinya karena kusangka ia adalah turis yang tercecer sendirian dari rombongannya. Rupanya, ia adalah salah satu fotografer ternama di Filipina. Untuk itu aku kemudian meminta kartu namanya dan berhubungan baik hingga hari ini.

Akupun melintasi Jones Bridge, yang menghubungkan tempat hotelku berada, di Ermita dengan Binondo, tepat di atas Pasig River yang menjadi jalur transportasi kapal fery. Sungai ini menjadi lalu lintas industri yang mengakibatkan sungai ini tercemar parah dan tak dapat mempertahankan ekologinya. Meskipun begitu, dari atas Jones Bridge, sungai ini tampak terlihat normal seperti sungai pada umumnya. Selalu berhias lampu-lampu dari kapal fery yang melintas kala malam. Ah, sungai itu tetap tabah dan indah walau terus-terusan dilalui pembunuhnya.

Lepas dari Jones Bridge, aku menghabiskan Quintin Paredes Road untuk masuk ke Taft Avenue yang cukup senggang untuk lanjut masuk ke Padre Burgos Avenue, melintasi Museum of Fine Arts yang memanjakan sejenak mataku dan Japanese Garden yang lebih anggun kala malam hingga akhirnya aku bertemu Planetarium. Mengitari Manila saat malam jauh lebih menyenangkan ketimbang aku mengitari Jakarta atau Bandar Lampung, Manila seperti menawarkan magis yang membawaku pada dimensi waktu yang berbeda. Kota ini merawat dengan baik situs sejarahnya. Banyak bangunan tua yang masih terjaga, bersinergi dengan bangunan modern yang dibawa zaman. Tanpa bermaksud apapun, Manila adalah kota favoritku di Asia Tenggara.

Perjalananku memang cukup jauh, jarak antara hotelku dengan apartemen Elsandro memakan waktu hampir satu jam dengan kondisi traffic yang normal. Meski begitu, aku menikmati perjalanan ini. Akupun tak sabar mengetahui kejutan yang Elsandro persiapkan untukku. Beberapa bulan belakangan ini, ia tiba-tiba menjadi begitu manis. Oke, Elsandro, do you feel something?

*

Pintu lift terbuka membawa pasangan lanjut usia keluar dari lift. Dengan sedikit ragu aku tersenyum kepada mereka karena sejak lift terbuka tadi, pandangan kami langsung bertemu.

"Magandang gabi!" si Kakek menyapaku. Aku mencoba mengingat apa maksud kalimatnya. Menelusuri ingatan pada setiap chat ku dengan Elsandro. Ya, aku ingat. Ia mengucapkan selamat malam.

"Good night sir, madam,"balasku. Aku tak tahu bagaimana mengucap aksen Tagalog Filipina, daripada aku salah, lebih baik aku menggunakan bahasa Inggris. Mereka berdua hanya tersenyum, nampaknya mereka sadar aku orang asing.

Mereka berdua pun berlalu dengan langkah pelannya, si nenek mulai menggandeng lengan si kakek. Mereka berjalan pelan meninggalkanku yang kini ganti berada di dalam lift. Terus kupandangi punggung mereka yang perlahan semakin menjauh, hingga pintu lift tertutup dan menyadarkanku satu hal; Aku lupa kapan terakhir kali menggandeng lengan seorang pria dengan hangat.

Ponselku berdering sehingga membuatku harus merogoh tas jinjingku. Kudapati mama di layar handphone. Segera kuangkat telepon itu, jika tidak, mama akan terus meneleponku seperti orang yang menteror.

"Ya, Mam?"

"Kamu nggak bales WhatsApp mama tadi siang!" mama langsung menyecar.

"Tadi aku penutupan pameran, Ma!"

"Gimana pameranmu?"

"Syukurlah. Ada dua wartawan dari Inggris dan Australia yang tadi wawancara aku."

"Oh, great!" mama hanya menimpal datar. Kabar seperti itu rasanya sudah membosankan baginya.

“Jadi ada apa, Ma?" aku yakin mama pasti membawa kabar lain. Ia tidak pernah menelepon jika bukan hal penting.

"Hmm," di ujung telepon mama tampak berpikir. Ia seperti mencari kalimat terbaik yang akan ia gunakan untuk memintaku melakukan sesuatu untuknya. Sama seperti sebelum-sebelumnya.

"Besok kamu flight jam berapa?" pertanyaan pembuka dari Mama.

"Jam delapan pagi."

"Langsung ke Lampung, kan? Nggak berlama-lama di Jakarta dulu?"

Dahiku mengkerut mendengarnya. Ada sesuatu yang sedang berusaha mama sampaikan kepadaku. "Mungkin. Lusa aku ada meeting sama klien di Tanjung Karang."

"Bisa meetingmu diganti hari lain?" Ternyata benar, mama memiliki rencana untukku.

"Nggak bisa gitu, dong, Ma! Aku udah janji!" aku protes.

"Atau tunda. Mama mau ngenalin kamu sama Tante Ema."

"Tante, who?"

"Tante Ema! Dia teman mama."

"Kan, teman mama. Bukan temanku?" aku masih protes. Pintu lift terbuka dan aku perlahan melangkah keluar menelusuri lorong menuju apartemen Elsandro.

"Di, mama mulai khawatir sama kamu!"

Aku menghentikan langkahku. Ini harus diselesaikan, topik ini tak jauh-jauh dari perjodohan. Mama masih saja kolot, ia tak nyaman melihatku yang mendekati usia kepala tiga, tapi masih betah melajang. Come, on, Mam! Aku perempuan modern. Aku bisa indipenden dan tidak tergantung kepada siapapun! Bagiku cinta menempati urutan ke sekian puluh dari wish list yang sedang berusaha aku wujudkan. Lagi pula, aku tidak mudah jatuh cinta. Semenjak aku mengenal dan mengetahui sepak terjang Munir, hanya ia cinta yang mengisi hidupku. Cinta yang berawal dari sebuah kekaguman hebat.

"Ma, aku tahu kemana arah pembicaraan mama! Udah berkali-kali aku bilang, kan, aku bisa.."

"Bisa apa, Di? Mama hanya mau yang terbaik buat kamu!" mama memotong ucapanku.

"Ma.." aku merengek.

"Tante Ema itu baik. Anak sulungnya penulis buku. Kamu sama dia pasti cocok. Seniman!"

Aku menghela napas kesal, "Sama siapa? Tante Ema?"

"Anaknya. Raka!"

"Oke, Mam. Nanti kita bicarakan lagi, aku lagi mau ketemu orang!" aku langsung memutus sambungan telepon dan langsung memasukkan pengaturan ke mode flight. Masalahku selesai untuk sementara.

Lihat selengkapnya