Diandra

Galih Aditya Mulyadi
Chapter #2

Deux: Tombée au fond de ton Coeur

Matahari belum terbenam ketika Film Season tayang. Suasana ballroom tampak tenang sepanjang film, sesekali samar terdengar beberapa bisikan dari film maker lain di dekatku. Entahlah, terdengar seperti bahasa Italia, aku tak mengerti. Mereka bisa memuji, bisa saja mencibir. Namun yang jelas, bagiku film ini merupakan kebanggaan. Raka begitu baik mengadaptasi novel karya Alia itu ke dalam naskah film dan divisualkan dengan apik oleh Setiadi. Dari berbagai festival yang diikuti film ini, Cannes Film Festival adalah obsesi terbesar dari tim film Season.

Raka terlihat tenang saat menonton film ini, sebuah ketenangan yang juga seperti mengamati. Seolah ia mengoreksi kembali detail demi detail kisah yang ia adaptasi tersebut. Mungkin Alia pun melakukan hal yang sama seperti Raka. Aku rasa mereka berdua memiliki beberapa kesamaan dalam keseriusan. Dua orang yang sangat mengutamakan perfeksionis, dua orang yang sejatinya sama-sama idealis sekaligus mampu tidak egois, dua orang yang memiliki kepercayaan kuat bahwa hasil kretifitas para pelaku kreatif di Indonesia mampu berbicara banyak di dunia internasional dan yang terakhir, mereka juga adalah dua orang yang kini menjadi penulis favoritku.

“Apa yang kamu rasakan?” bisik Raka.

“Aku bangga, Raka!” ujarku.

“Bukan itu, apa kamu berpikir sama seperti yang aku pikir? Setelah nonton dua film sebelum film kita tayang, aku ngerasa ada beberapa scene penting di film ini yang sedikit kedodoran, ritmenya nggak berjalan mulus..”

“Raka!” aku memotong ucapannya. “Kita udah sampai di sini dan kamu membicarakan ini?”

“Tapi ini penting, Di, Come on, kita di Cannes!”

“Ada yang lebih penting, you know?”

“What?”

Aku sedikit mengangkat tangan kananku, menampilkan jemariku di hadapan Raka, “Kamu lupa beli sesuatu di Paris!”

Raka tersenyum dan mengalihkan pandangannya kembali ke layar, “Kita masih punya waktu enam hari di Paris.”

Aku sandarkan kepalaku ke bahunya, “Kenapa harus Paris? Sementara kita bisa menghabiskan waktu di Cannes. Kota ini nggak kalah bagus sama Paris, kan? Paris terlalu mainstreem!”

“Tapi Paris masih meyimpan sesuatu yang menyenangkan kalau kita jalani berdua!”

“Apa? Eiffel, Louvre?”

Raka tak menjawabnya, ia hanya meraih lenganku dan menggenggamnya. Aku percaya ada yang ia persiapkan untukku dan aku pasti akan sangat menyukainya. Hmm, Raka, aku nggak pernah nyangka bisa sejatuh cinta ini sama kamu –pada akhirnya.

***

Selepas malam itu, Ninoy Aquino International Airport –Manila .

Di depan gerbang International departures, aku merasakan lirih pada pandangan Elsandro. Kuusap pelan sebelah wajahnya, mungkin perpisahan kali ini adalah perpisahan terburuk baginya. Aku serba salah, ada sesuatu yang belum bisa aku paksakan terhadapnya. Aku hanya bisa menghargai segala yang ia lakukan kepadaku selama ini. Termasuk candle light dinner semalam, dimana kata itupun terucap dari bibir tipisnya yang selalu terlihat kemerahan.

“Diandra,I love you and it's been a long time!”

Aku hanya bisa mencengkram erat gelas wine-ku sembari memandang tak menentu pada gedung-gedung lain di luar jendela apartemen Elsandro. Dugaanku menemui kebenarannya dan aku tak mampu berbuat apapun. Cintapun menunjukkan kerumitannya, ketika aku hanya bisa menerima tanpa tahu bagaimana cara memperlakukannya. Aku sadari, tidak ada persahabatan abadi antara pria dan wanita, salah satunya pasti ada yang jatuh cinta. Aku benar-benar memahami itu, tapi benar-benar tak tahu harus bagaimana. Aku tidak ingin hubunganku dan Elsandro hancur. Ia merupakan bagian terbaik di hidupku, aku benar-benar menyukainya tanpa mencintainya. Sementara itu, Elsandro mungkin merasakan sebaliknya. Rasa kami pun tak bertemu dan cinta tak akan pernah mungkin bisa dijalani sepihak.

Perlahan aku mulai menarik koperku, berjalan mundur beberapa langkah demi bisa melihat wajah sendu Elsandro. Aku tersenyum kepadanya, senyum yang berarti dua hal. Im sorry and good bye.

           "Im waiting for you, Di!seutas kalimat itu meluncur dari Elsandro.

"Aku pasti akan datang lagi. Sebagai teman terbaikmu," hanya itu yang bisa aku katakan.

Ia hanya tersenyum dan aku sempurna berjalan menuju keberangkatan. Aku benar-benar meninggalkannya, karena hingga kini aku bersama Raka, aku tak pernah lagi datang menemuinya. Manila yang kataku merupakan kota favorit seperti lesap dari bab hidupku, bersama Elsandro Varia.

*

Cannes Film Festival telah usai, meski kami berakhir hampa, tapi kebanggaan dan kepuasan masih tampak di wajah para tim yang terlibat dalam film Season. Hanya Raka saja yang awalanya sedikit kecewa, tapi ia akhirnya menerima semua itu.

Setelah menginap semalam dan membuat perayaan kecil di sebuah restoran, pagi-pagi aku dan Raka terbang kembali di Paris. Meninggalkan Alia yang merengek ingin ikut kami. Raka memintanya menyusul kami beberapa hari lagi menjelang kepulangan ke Indonesia, tapi Alia hanya cemberut dan terkesan ngambek kepada kami. Aku tak enak hati, sementara Raka hanya membecandainya. Raka tahu benar sifat remaja Alia tersebut.Semenjak project film Season berjalan, Raka seperti seorang kakak bagi Alia.

Lihat selengkapnya