Hari ini aku pergi dari Raka. Ya, aku benar-benar pergi. Meninggalkannya sendirian di hotel. Aku kesal kepadanya. Malam yang aku pikir akan romantis berakhir menjengkelkan bagiku. Rasanya Raka seperti orang yang tak memahami konsep romantisme. Dua tempat romantis semalam seolah berlalu begitu saja tanpa momen yang berarti. Ia malah mengajakku menonton film kultus yang mempertontonkan adegan seksual. What the..
"Ah, Raka!" kutendang sebuah kerikil kecil sehingga membuyarkan kumpulan merpati hitam di jalanan.
Entah jam berapa Raka tidur, kami kembali ke hotel pukul tiga pagi. Tanpa percakapan berarti, aku langsung naik ke atas tempat tidur dan menarik selimutku. Membiarkan Raka duduk sendirian di dekat jendela sambil membaca jurnal favoritnya. Ketika pagi aku bangun, ia masih tertidur memunggungiku.
Aku butuh refreshing dari hari menyebalkan bersamanya. Setelah sarapan di restoran hotel, aku langsung membaur bersama Paris yang baru memulai hari. Menyiapkan kameraku untuk memfoto beberapa bangunan ikonik di kota ini –untuk ketiga kalinya.Itulah satu-satunya cara agar aku tidak setres berkepanjangan karena tingkah si tidak peka.
Kini aku berdiri di hadapan Notre Dame, tampak senggang di hari kerja. Membidik utuh bangunan berasitektur gothik ini. Tidak banyak kegiatan yang ada di pelataran, hanya ada beberapa orang yang berfoto bersama bangunan tersebut dan ada serombongan orang-orang berwajah asia yang sepertinya sedang dalam sebuah tur. Mood-ku belum membaik juga. Akupun berjalan lagi menuju Square Jean XXIII, mencari objek menarik di taman tersebut. Tapi yang ada malah aku ingat kembali kepada Raka. Tempat ini adalah salah satu setting Midnight In Paris, film itu mengingatkanku kepada Woody Allen. Pada akhirnya Woody Allen berkorelasi kepada pengagum sejatinya, Raka.
Untuk sejenak saja aku ingin berusaha melupakan Raka. Menikmati sendiri duniaku yang sempat hilang setelah aku bertemu dengannya. Aku rindu masa-masa dimana cinta tidak mengusik perasaanku seperti ini. Aku sadari, ini adalah resiko dari jatuh cinta. Marah, kesal, dan benci, tidak ada pasangan yang sedang jatuh cinta dapat menghindari perasaan-perasaan itu. Hanya ada dua akhir yang menjadi pembeda. Bertahan atau Perpisahan.
Aku pernah berada di titik kesedihan terdalam, hal itulah yang membuatku pada akhirnya menyadari. Aku telah jatuh cinta kepada Raka. Peristiwa itu terjadi setelah malam tahun baru. Ketika ia memelukku erat dan ia mengigau satu nama, Alletta.
*
Bantul-Jogjakarta
Aku menangis, aku kembali merasakan keperihan mendalam setelah meninggalnya papa bertahun-tahun lalu. Hanya untuk beberapa alasan aku menangis. Kejahatan kemanusiaan dan klien yang kubela secara pro bono. Yaitu seorang ibu yang memperjuangkan hak asuh anak, atau seorang nenek tua lemah yang bersengketa dengan perusahaan besar karena kesalah pahaman sepele. Untuk subuh ini, ketika embun belum reda di dedaunan, aku pergi meninggalkan Raka yang masih tertidur dengan sebuah surat untuknya. Aku mulai berpikir menyerah untuk lebih dalam mencintainya.
Raka begitu memikat hingga hatiku benar-benar terikat. Berbulan-bulan perkenalan kami, ia begitu mudah kuterima menjadi seseorang yang spesial bagiku. Entah bagaimana mungkin itu bisa terjadi sehingga ia begitu cepat menjadi titik kenyamananku melebihi Elsandro. Setiap perbincangan kami lewat telepon dan bujukan terus menerus dari mama agar aku dan Raka segera menikah membuat aku merasa bahwa aku mulai menemui takdirku. Aku mengagumi pemikiran Raka, impian Raka hingga perhatian Raka yang terkesan dingin yang terasa misterius, tapi menyenangkan bagiku. Namun semua itu menyadarkanku, bahwa cinta selalu datang bersama resiko. Aku telah menerimanya. Raka menjatuhkan hatiku dengan cara yang sama ketika ia membawanya terbang.
Aku terus berjalan kaki menerabas kabut yang masih cukup tebal di pagi itu, udara dingin mulai menembus jaketku, jalanan tak terlihat sempurna dan harus membuatku benar-benar hati-hati dalam melangkah. Dengan semua kesusahan itu, mataku masih hangat kerena Raka. Semua rencana tentang liburan kami ke Banda Neira masih kupikirkan ulang dan berpotensi gagal. Aku benci diriku sendiri yang terbawa perasaan sejauh ini kepada Raka.
Suara klakson motor terdengar dari belakangku, membawa seorang bapak-bapak dari balik kabut. Ia berhenti di sampingku, aku mengenalnya, dia Mas Husen, penjaga rumah tempat Raka tinggal.
"Pagi-pagi mau kemana, Mbak?" tanya Mas Husen.
"Pulang, Mas," jawabku dengan sisa sedu sedang. Tampaknya Mas Husen sadar aku tengah menangis.
"Mbak kenapa? Mas Raka kemana?" tanyanya lagi.
Aku hanya menggeleng dan menyeka sisa air mataku, "Mas, bisa antar saya ke tempat dimana saya bisa dapat bus buat ke Bandara?"
Mas Husen tampak berpikir sejenak, mengamatiku dengan begitu seksama dan tampaknya setelah itu ia iba juga, “Monggo Mbak. Naik!"
Akupun segera naik ke motor Mas Husen dan melesat di antara kabut meninggalkan tempat dimana air mataku jatuh bersama seseorang yang menjadi penyebabnya.
Aku tidak langsung pulang ke Lampung. Lewat tengah hari aku sampai pada studio Om Roy di bilangan Jakarta Selatan, mentor yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Aku belajar memotret lewat kelasnya selama setahun penuh dan sempat menjadi asistennya untuk beberapa bulan sampai akhirnya Om Roy mengatakan kepadaku bahwa aku sudah harus memulai jalan profesionalku sendiri.
Aku menunggu di galerinya dimana di situ terpajang banyak foto-foto hasil jepretan murid-murid Om Roy, termasuk foto lumba-lumba yang melompat di Teluk Kiluan karyaku. Foto amatirku yang mendapat frame dari Om Roy. Aku bangga untuk itu sehingga kepercayaan diriku mulai perlahan meningkat. Saat ini Om Roy sedang memfoto seorang penyanyi di studio dan ia mungkin akan terkejut mendapati kedatanganku yang dadakan kali ini.
Hampir tiga puluh menit berlalu, pintu galeri pun terbuka. Menampakkan Om Roy utuh yang memandang ke arahku. Aku segera bergegas menghampirinya dan ia pun berjalan ke arahku. Kami berpelukan.
"My litle girl is back!" bisiknya.
Aku semakin erat memeluk om Roy dan menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang, "Diandra kangen!"
Om Roy perlahan melepas pelukannya, kemudian ia menggenggam wajahku, mengamatinya untuk beberapa saat, "Mata kamu lagi nggak beres, kamu kurang tidur atau habis nangis?"
Om Roy memang pengamat yang handal, ia bisa langsung menerka apa yang terjadi kepadaku. Kedua hal yang disebutkannya barusan adalah benar adanya.
"Aku mau nginep semalam di sini boleh? Besok aku mau pulang ke Lampung," ujarku.
"Setiap malam pun boleh, Di. Nginep di rumah aja, jangan di studio. Tantemu pasti senang kamu datang!" Om Roy membicarakan tante Retno, istrinya.