Prolog
Melangkahkan kaki sambil membawa sebuah botol berisi Americano di tangan, menyusuri jalan yang biasa aku lalui untuk menuju ke kantor, tetapi hari ini terasa berbeda. Aku merasa sangat ringan dan tidak terbebani seperti hari-hari sebelumnya. Dengan perasaan seperti itu, aku tidak menyadari bahwa beberapa jam lagi akan datang bencana yang akan membuatku stres berat.
Pukul 09.00 WIB, aku sampai dikantor dan aku memencet tombol lift untuk naik keatas.
“Mimi, selamat pagi.” Kata seseorang dengan suara yang sangat kelelahan dari dalam lift yang ramai.
“Tia, selamat pagi.” Jawabku sambil memasuki lift dan berdiri di sebelah Tia. “Okay?” Lanjutku setelah melihatnya dalam keadaan lesu.
“Gimana bisa okay kalo gini.” Katanya sambil bersandar di dalam lift. “Deadline sampai sore ini tapi penulisku belum menyelesaikan naskahnya dan aku sudah dikejar-kejar departemen percetakan.” Lanjutnya seperti ingin menangis.
“Semangat, semangat!” Kataku menyemangati.
Beberapa menit di lift yang makin sempit karena banyaknya orang didalamnya. Kami sampai di lantai 8.
“Apakah kamu sudah dengar, Mi?” Tanyanya saat pintu lift terbuka dan kami berjalan keluar menuju ruang kerja.
“Hhmm dengar apaan?” Tanyaku bingung.
“Departemen kita kedatangan direktur baru hari dan yang aku dengar dari gosip-gosip yang beredar katanya dia adalah pewaris dari perusahaan kita ini.” Katanya sambil sedikit bersemangat.
“Ohh….” Kataku mendengarkan Tia berbicara sambil duduk di meja kerjaku.
Aku sempat mendengar orang-orang berbicara tentang hal ini beberapa hari yang lalu, tetapi karena aku sangat fokus dan sibuk pada sebuah projek untuk Penulis yang bernama Sakura sehingga aku tidak terlalu memperhatikan berita atau gosip-gosip terbaru yang beredar saat ini di area kantor. Bukannya aku tidak peduli bahwa kami akan kedatangan seorang direktur baru tetapi aku juga bukan orang yang suka bergosip dan memilih untuk bersikap ‘hanya sekedar tahu’ saja tanpa menduga-duga latar belakang seseorang. Aku pikir bagus jika kami mempunyai seorang direktur baru agar suasana di kantor juga bisa berubah jadi lebih baik lagi.
“Kira-kira orangnya seperti apa ya?” Katanya.
“Entahlah, daripada hanya menduga-duga dan bergosip seperti ini lebih baik kita tunggu saja kedatangan bintang kita itu. Dan juga bukankah ada yang harus kamu lakukan, Tia?” Kataku padanya berharap dia akan segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke meja kerjanya.
“Ahh, iya. Aku harus pergi ke departemen percetakan!” Serunya tersadar sambil menghindar dari meja kerjaku dan mengambil beberapa dokumen di mejanya.
“Aku pergi bertempur dulu.” Lanjutnya sambil berlari keluar ruangan menuju ke lift. Aku membalasnya dengan senyuman dan mengepalkan tanganku memberi tanda semangat padanya.
“Nah, sekarang…” Kataku sambil menghidupkan layar monitor yang ada didepanku dengan santai.
Aku mengecek email untuk memastikan bahwa penulisku, Si Prince sudah mengirim naskahnya yang dia janjikan padaku 2 hari yang lalu. Aku perhatikan layar monitorku dari posisi yang awalnya bersandar santai di kursi lalu lama-kelamaaan mukaku hanya berjarak sekitar 10 cm saja dari layar monitor dan aku tidak menemukan satu pun email darinya. “Ahh, dia menipuku lagi, pasti naskahnya belum selesai. Hahahaha.” Pikirku dengan lirih. Ini membuatku stres berat karena deadline Si Prince adalah hari ini. Aku terdiam beberapa saat menghadapi kenyataan. Kemudian aku mengambil handphone-ku dan menelpon Si Prince.
Ttuutt, ttuutt, ttuutt…
Dengan gelisah aku menunggu deringan itu, akhirnya…
“Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah….”
Aku mencoba tetap tenang dan terus menghubunginya, tetapi sudah puluhan kali aku menelponnya tetap tidak ada jawaban. Level stres dan kemarahanku sudah sangat maksimal sehingga aku memutuskan untuk berlari menuju kerumahnya.
Dalam perjalanan, aku tetap mencoba menghubunginya. Beberapa menit menaiki taksi, aku sampai disebuah apartemen tempat Si Prince tinggal. Aku menaiki lift menuju lantai 4 di kamar nomor 414 itu, aku memencet bel tetapi tidak ada jawaban. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak ada jawaban, perasaan stres dan marah kini berganti menjadi cemas. “Apa dia pingsan?” Pikirku. Dengan tergesa-gesa, aku mengambil kunci rumahnya untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, keadaan didalam rumahnya sangat sepi.
“Ray! Ray! Dimana kamu?” Kataku mencarinya, memasuki salah satu ruangan. Ruangan itu sangat berantakan dengan buku yang berserakan dimana-mana.
Aku sangat terkejut melihat Ray alias Si Prince yang tergeletak di dekat tumpukan buku yang berserakan. Aku berlari mendekati tubuhnya.
“Ray! Ray! Bangun Ray! Kamu gak apa-apa kan?” Kataku panik sambil menggoyangkan badannya.
“Ray!!!!!” Teriakku.
“Hmm, apa?” Jawabnya dengan suara pelan.
“Syukurlah, dia masih bisa bangun.” Pikirku.
Dia sering tertidur atau bisa dibilang tergeletak dilantai rumahnya seperti sekarang ini. Terkadang dia kelelahan hingga pingsan saat mengerjakan naskahnya. Dia bangun dari tempatnya berbaring sambil mengusap matanya dan terduduk di sana.