Bab 1
Masa Lalu, Awal takdir pertemuan
Tanpa aku sadari, aku sudah sampai ditempat ini. Angin segar berhembus membawa warna senja yang menyilaukan. Kilau-kilau keemasan dari depan masih tetap saja indah saat aku melihatnya sambil duduk di kursi yang berada diatas pinggir sungai. Tempat ini paling nyaman untuk bersantai walaupun sedikit ramai hari ini. Memang sore yang hangat untuk berjalan-jalan menyusuri pinggiran sungai di temani hembusan lembut angin yang menerpa. Aku sudah jarang ke tempat ini tetapi entah karena pertemuan kembali dengan Wendy atau aku hanya tidak ingin pulang ke apartemenku dengan perasaan yang menjadi kacau. Aku duduk sambil menikmati onigiri yang aku beli di minimarket dalam perjalanan tadi. Aku masih saja sangat senang melihat matahari terbenam dari tempat ini. Walaupun begitu, setiap kali berada di sini membuatku merasa senang lalu kemudian hanya akan berakhir menjadi kesedihan yang mendalam. Disinilah awal pertemuan itu.
Saat musim panas bulan agustus 7 tahun yang lalu, aku sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari perpustakaan. Karena ini masih libur semester, kegiatanku tidak terlalu banyak. Jadi, aku hanya pergi membaca buku di perpustakaan atau pergi ke toko buku untuk membeli buku terbaru yang menarik. Aku biasa melewati jalanan pinggir sungai ini untuk sampai ke rumah walaupun harus memutar cukup jauh. Tetapi rasa lelah karena perjalanan yang lebih jauh sebanding dengan angin sejuk yang membawa kenyamanan saat duduk di sini. Saat menuju tempat biasa aku bersantai, aku melihat seseorang sudah duduk di sana.
“Sudah ada orang yang mengambil tempat ini ya.” Pikirku sambil mendekat ke tempat duduk itu.
Saat berada di samping kursi itu, aku melihat seorang cowok sedang tertunduk dan dipangkuannya ada seekor kucing kecil berwarna putih yang sedang bersantai. Kucing itu terlihat sangat lucu dan memiliki bulu yang terlihat sangat indah. Aku sangat tergoda untuk memegangnya dan mengajaknya bermain. Kucing itu menjauh dari pangkuan cowok itu dan menghampiriku saat aku mencoba memanggilnya dengan suara yang pelan.
“Hahaha lucunya. Bulunya halus banget”. Kataku sambil menggendong kucing itu.
Cowok yang duduk tertunduk itu kemudian terbangun. Karena sepertinya tadi dia tertidur. Dia menyadari kucingnya tidak ada dipangkuannya lagi dan langsung melihat kearahku yang sedang menggendongnya. Dengan tatapannya yang sangat tajam itu, dia melihatku dan aku menjadi sedikit takut. Dia terlihat seperti seumuran denganku tetapi dengan muka yang seram dan sangat serius itu. Aku menyadari bahwa dia mngkin saja salah paham karena sudah seenaknya menggendong kucingnya.
“Itu, maaf. Aku seenaknya menggendong kucingmu tanpa izin dan sudah membangunkanmu”. Kataku sambil menyerahkan kucingnya kembali.
Dia mengambil kucingnya dan menggendongnya sambil tetap duduk dengan ekspresi wajah yang masih terlihat menyeramkan. “Apa dia masih marah?”. Pikirku. Dia mengeles bulu lembut kucing itu. Tetapi saat aku perhatikan lagi bahwa dia tidak terlalu menyeramkan. Aku pikir dia memiliki sisi yang lembut saat bermain bersama kucingnya itu.
“Ya kalo gitu, sekali lagi maaf. Aku permisi dulu”. Kataku ingin segera menghindar dari orang itu karena takut dia akan merasa lebih terganggu lagi.
“Apa kamu mau bermain bersama dia?” Tanyanya.
“Boleh?” Kataku dengan antusias.
Dia bergeser ke sisi ujung tempat duduk dan mempersilahkan aku untuk duduk di bagian ujung lainnya. Dia memberikan kucingnya itu.
“Dia biasanya tidak suka didekati orang lain. Namanya Leo.” Katanya.
“Leo lucu banget, bulunya juga lembut.” Kataku sambil mengelus Leo dengan lembut.
Beberapa menit berlalu, aku sangat senang bisa bermain bersama Leo. Aku juga menyadari bahwa kesan pertamaku pada orang ini ternyata salah, dia sebenarnya tidak menyeramkan sama sekali. Memang kadang dia menunjukkan ekspresi yang menyeramkan tapi aku pikir bahwa dia bukanlah orang yang jahat. Malah aku pikir dia orang yang sangat baik dan lembut.
“Kamu memang selalu berwajah kaku kayak gini ya? Tapi sebenarnya kamu sangat baik” Kataku terucap begitu saja tanpa aku sadari.
Saat aku sadar bahwa aku sudah bersikap tidak sopan, aku melihat ke arahnya. Aku sangat terkejut melihat wajahnya yang terlihat bingung tapi juga menyeramkan.
“Wahh, maaf …. Aku bukannya mau menghinamu, ini seperti suara hati yang terucap sangat keras. Tapi aku tidak bermaksud yang lainnya kok”. Kataku menjelaskan.
“Hahahaha, tidak apa-apa kok. Aku memang sulit mengekspresikan perasaanku.” Katanya sambil sedikit terkejut dan tertawa dengan lepas. “Jadi, terkadang banyak orang yang salah paham. Padahal aku hanya ingin menyapa tapi mereka malah ketakutan”. Katanya kemudian tertunduk sedih.
“Begitu ya, maaf.” Kataku.
“Sudahlah, tidak apa-apa. Aku mengerti kalo kamu tidak bermaksud menghinaku, aku juga senang karena kamu orang pertama yang bisa ngobrol santai denganku seperti ini.” Katanya.
Kami berdua tersenyum setelah dia mengatakan hal itu. Aku pikir lagi, senyumannya saat itu benar-benar terlihat menyilaukan. Bahkan lebih silau dibandingkan silaunya matahari terbenam sore itu.
“Ternyata dia bisa tersenyum seperti itu ya!” Pikirku yang masih terbayang senyumnya barusan.
Hari sudah mulai gelap, aku berpamitan untuk pulang padanya. Sambil berlari, aku melambaikan tangan kepadanya yang melihatku menjauh darinya. Aku belum sempat menanyakan namanya, yang aku tahu hanya nama kucingnya saja. Tapi sore ini sangat menyenangkan.
Aku membuka pintu rumahku. Semua kesenangan yang baru saja terjadi langsung hilang seketika. Keributan didalam rumah terdengar begitu nyaring dan membuatku merasa sangat kacau. Setiap hari aku selalu hidup dengan memegang bom waktu yang tidak tahu kapan akan meledak, sama seperti sekarang. Bom waktu itu meledak dan membuatku hancur. Entah kapan hal ini dimulai tetapi yang jelas keributan orang tuaku ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan aku hanya bisa menahannya. Hingga aku tumbuh menjadi orang yang sangat tertutup dan bersembunyi di balik keceriaan yang tidak pernah tulus untuk diperlihatkan. Sejujurnya, aku merasa sangat muak bersikap seperti ini. Saat hal ini terjadi dan aku harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Aku ingin bisa mencurahkan semua yang aku pikirkan tetapi aku tidak mempunyai seseorang untuk bersandar dan sulit bagiku untuk mempercayai orang lain bahkan pada temanku yang sudah berteman sangat lama. Kakakku yang 4 tahun lebih tua dariku sudah pindah ke rumah yang dibelikan orang tuaku sejak dia mulai kuliah beberapa tahun yang lalu. Aku merasa sangat kesepian dan tertekan setiap keributan ini terjadi. Aku memaksakan diriku untuk selalu bersikap dewasa walaupun sebenarnya aku sendiri lebih muda setahun dari semua teman-temanku di sekolah dan aku memang sangat ingin cepat dewasa agar aku juga bisa keluar dari rumah ini. Hanya tinggal setahun lagi aku lulus dari sekolah menengah dan aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah dan tinggal sendiri jauh dari kedua orang tuaku agar aku bisa merasakan ketenangan tanpa keributan seperi ini. Bahkan jika bisa aku ibaratkan keadaan ku sekarang, aku lebih memilih sakit fisik sekarang juga daripada harus merasakan tertekan seperti ini setiap hari yang hampir membuatku gila. Di saat seperti inilah aku selalu mencari kesenangan diluar rumah, tetapi bukan dalam hal buruk. Terkadang aku pergi ke perpustakaan hanya karena di sana tidak banyak suara dan aku merasa sangat damai. Lalu lama-kelamaan, aku selalu membaca buku untuk menghilangkan stres yang aku rasakan dan itu sangat membantuku. Kemudian aku bisa melangkahkan kaki tanpa tujuan, mengambil jalan memutar dan tidak sengaja menemukan tempat yang nyaman untuk bersantai dalam waktu yang lama. Ya, tempat duduk di pinggir sungai ini sambil menikmati kehangatan matahari terbenam.
Hari-hari liburan itu berlalu, aku sering menghabiskan waktu bersama cowok yang aku temui di pinggir sungai beberapa waktu yang lalu. Terkadang aku bermain bersama Leo dan pergi ke perpustakaan bersama Wendy, si cowok di pinggir sungai dan juga pemilik dari Leo. Aku tahu namanya saat dia menuliskan namanya untuk meminjam buku diperpustakaan. Wendy Reinhard, yang aku tahu hanya nama dan dia menyukai kucing. Aku tidak tahu dia sekolah dimana dan aku juga tidak tahu umurnya berapa. Aku hanya merasa senang menghabiskan waktu bersama dia dan aku merasa nyaman hingga membuatku lupa masalah yang terkadang sedang aku hadapi. Dia orang yang sangat peka dan membuatku terkejut dengan kepekaannya itu.
Suatu hari, aku berlari keluar rumah dengan perasaan yang sangat kacau. Itu adalah keadaanku yang paling buruk yang pernah aku rasakan. Aku merasa air mataku keluar dengan sendirinya. Setelah berlari, aku sampai di pinggir sungai yang saat itu sedang sepi. Aku tertunduk menyembunyikan mukaku di kedua lutut sambil terus mengeluarkan air mata di rerumputan yang tumbuh di sepanjang pinggiiran sungai ini. Setelah seperti itu beberapa waktu, aku berhenti menangis dan aku menegakkan wajahku setelah air mata berhasil aku hapus.
“Mirani! Ran! Ran!” Teriakkan yang semakin jelas mendekat. Aku menolehkan pandanganku kearah datangnya suara.
Wendy sedang berjalan agak cepat menghampiriku sambil melambaikan tangannya. Aku menyambutnya dengan senyuman dan dia membalasnya kemudian duduk tidak sejajar disampingku. Disaat yang bersamaan, aku merasa tidak menginginkan ada seseorang disini yang melihatku dalam keadaan lemah seperti ini. Jadi, aku berusaha bersikap sama seperti biasanya seperti tidak ada hal yang terjadi. Kami hanya terdiam sunyi, hanya angin sore itu yang memberikan sedikit suara.
“Sedang apa di sini?” Tanyanya pada akhirnya sambil tetap melihat kearah depan.
“Tidak ada, hanya menghabiskan waktu terakhir liburan ini.” Jawabku sambil tetap melihat kearah depan juga.
“Hhmm, begitu ya.” Katanya merespon lalu keadaan menjadi sunyi selama beberapa detik. “Ran, tidak apa-apa. Aku tidak tahu kenapa kamu seperti ini tapi semua akan baik-baik saja”. Lanjutnya sambil tersenyum padaku dan aku juga melihat kearahnya. Kami saling bertatapan kemudian tangannya yang cukup besar mengelus kepalaku dengan lembut. Untuk beberapa saat, aku merasa bahwa ada seseorang yang peduli padaku. Senyumannya yang seperti itu juga baru pertama kali aku lihat. Wajahnya yang tekena cahaya matahari begitu indah membawa kehangatan. Saat itu juga, aku bisa mendengar sebuah suara yang mengerakkan jantungku dengan cepat hingga bisa kurasakan sampai kebagian ujung jariku. Suara itu seperti tetesan air dan dentuman ombak, sangat berisik namun juga menyenangkan disaat bersamaan. Apa yang sebenarnya aku rasakan ini? Melihat senyumannya benar-benar sangat nyaman dan membuatku tenang.
“Iya.” Kataku merasa benar-benar bersyukur karena dia sudah menghiburku walaupun aku tidak mengatakkan apa-apa lalu aku tersenyum dengan haru padanya seperti berterimakasih.
“Sekilas aku melihatmu sama seperti biasanya tetapi ada yang berbeda. Bagaimana ya aku mengatakannya? Kamu terlihat berusaha untuk bersikap biasa saja dan memaksakan diri.”
Aku hanya mendengarkannya berbicara. Aku merasa seperti akan menangis. Mataku sudah berkaca-kaca dan sekuat mungkin untuk menahannya. Aku juga tidak terbiasa untuk menangis didepan orang lain atau lebih tepatnya aku hanya tidak ingin terlihat lemah dan menyedihkan.
“Aku tidak akan bertanya alasanmu dan tidak akan memaksamu untuk bercerita. Jika kamu mau, kamu bisa diam saja seperti ini. Aku akan tetap berada disini untuk menemanimu sampai kamu merasa lebih baik.” Katanya sambil memandangiku.
“Hhm”. Hanya itu yang bisa aku katakan. Aku benar-benar merasa sangat lega. Aku merasa hatiku sudah tenang dan perasaanku yang sangat kacau tadi, lama-kelamaan mulai memudar berganti menjadi kehangatan.
Sore itu aku cukup lama ngobrol dengannya lalu kami berdua berpisah.
“Sampai jumpa lagi, Ran.” Katanya sambil tersenyum.
“Sampai jumpa lagi, Wen.” Kataku membalas dengan senyuman juga.