DIANTARA SENJA KITA

Febrianti Dwi A
Chapter #8

Bab 7 Aku bisa mengungkapkan kebencianku

Bab 7

Aku bisa mengungkapkan kebencianku

Keesokkan harinya, aku tidak ingat kapan aku mulai ketiduran diruang kerjaku. Aku pikir aku tertidur saat matahari mulai muncul dan terbangun saat jam 8 pagi. Aku buru-buru bersiap berangkat ke kantor. Karena keberuntungan, aku bisa datang tepat waktu setelah berlarian dan berdesakan dikereta. Aku langsung sibuk mengurus beberapa dokumen untuk rapat yang akan dimulai sebentar lagi.

“Tia, ayo kita keruang rapat sekarang.” Perintahku menghampiri Tia yang masih menatap layar komputer.

“Baiklah, ayo kitaa… Wahhh Mimi!!” Katanya berteriak saat dia melihat kearahku. Aku hanya heran melihatnya yang tiba-tiba seperti itu.

“Ada apa dengan mata panda itu?” Tanyanya.

“Ohh ini, tadi malam aku tidak bisa tidur.”

“Ehh, tapi tidak biasanya kamu seperti ini. Kamu hanya akan terlihat seperti ini kalo Prince sedang berulah atau saat sudah dekat dengan waktu deadline. Prince juga sudah menyerahkan naskahnya. Tapi sekarang kenapa tiba-tiba?” Tanyanya sambil berjalan menuju ruang rapat.

“Hmm benarkah aku seperti itu? Aku bahkan tidak menyadari diriku sendiri.”

“Aku hanya sedang mengalami insomnia saja. Mungkin karena buku baru Prince ini benar-benar sangat bagus, aku harus menang saat berdebat dengan departemen marketing nanti.” Kataku menjadi bersemangat.

Saat melewati ruang direktur, kami tidak sengaja berpapasan dengan Wendy dan asistennya yang akan keluar untuk menuju ruang rapat juga.

“Selamat pagi, Pak Wendy.” Sapa Tia.

“Selamat pagi, Pak”. Sapaku juga padanya sambil menunjukkan wajah sebiasa dan seramah mungkin.

“Iya, Selamat pagi.” Sambil berjalan didepan kami diiringi dengan asistennya.

Kami mengikuti mereka dari belakang. Tia masih saja terlihat gugup saat berhadapan dengan Wendy. Hari ini, harus aku akui wajahnya lebih menakutkan dari biasanya. Entah apa yang dia pikirkan dengan menunjukkan wajah yang seperti tiu membuat karyawan lain takut padanya.

Saat sampai di ruang rapat, di sana sudah ada Ibu Siska dari departeman marketing yang selalu mengurus penjualan dari departeman kami dan Pak Hery dari departeman percetakan, dia mewakili pihak percetakan untuk mengikuti rapat kali ini. Aku sudah beberapa kali bertemu dengan Ibu Siska yang baik ini. Tapi terkadang dia juga menjadi hewan buas saat rapat seperti ini. Saat masuk ke sana, Wendy memperkenalkan diri pada mereka dan rapat di mulai.

“Makanya! Saya bilang ini semua bakalan terjual karena bukunya kali ini benar-benar bagus!” Kataku ngotot kepada Ibu Siska.

“Kalo kita lihat dari preordernya, cetak 20 ribu sudah cukup!” Bantah Ibu Siska.

“Karena preordernya saja sudah banyak seperti ini, berarti buku ini benar-benar dinantikan penggemarnya! Kalo cuma 20 ribu tidak akan cukup dan kalo gak cukup, kita harus nunggu untuk cetakan kedua, minat pembaca akan berkurang! Pokoknya cetak 30 ribu!” Kataku masih tidak mau kalah.

Suasana makin memanas, seisi ruang rapat hanya dihiasi dengan suaraku dan Ibu Siska yang sudah berlangsung cukup lama. Mereka yang ada disana tidak ada yang mampu menghentikan kami berdua. Bahkan Wendy hanya tercengang melihat kami. Aku tidak akan kalah dari Ibu Siska yang keras kepala ini. Aku sangat yakin jika buku ini akan langsung habis terjual.

“Baiklah, aku menyerah. Kita akan cetak buku ini sebanyak 30 ribu!” Katanya sambil menghela nafas panjang. Akhirnya dia menyerah juga setelah aku benar-benar meyakinkannya.

“Iya, sudah diputuskan! 30 ribu.” Kataku sambil bersalaman dengannya. “Coba saja Ibu setuju dari tadi.” Tambahku.

“Kamu pikir tugasku hanya untuk menjual bukumu saja!” Katanya sedikit ngamuk dan aku hanya tersenyum manis kepadanya. “Ahh sudahlah, bagaimanapun juga kita harus menjual semuanya. Ayo kita buat rekor baru lagi.” Lanjutnya.

“Baiklah, ayo kita jual semua!!!” kataku dengan sangat bersemangat.

Rapat pun berakhir.

“Jadi, rapat kali ini sampai disini saja. Kalian bisa kembali bekerja.” Kata Wendy mengakhiri rapat pagi ini.

Saat aku merapikan dokumen di atas meja dan Tia sudah keluar ruangan duluan, kemudian hanya ada aku dan Wendy setelah dia menyuruh asistennya untuk meninggalkan ruang rapat. Waahhh, aku ingin cepat keluar juga! Tangan bergeraklah dengan cepat!

“Mirani, saya ingin membicarakan tentang penulis yang berada didepartemen kita. Bisakah kamu memberitahu padaku?” Tiba-tiba dia berkata seperti itu dan aku menghentikan tanganku yang sedang sibuk membereskan dokumen.aku melihat kearahnya yang duduk di depanku.

“Saya sudah membaca karya para penulis yang ada di departemen kita tetapi karena saya belum pernah bertemu dengan mereka, saya jadi ingin mengetahuinya.” Lanjutnya lagi.

“Iya, Pak. Saya bisa memberitahu Bapak.” Jawabku dan mulai berbicara tentang banyak hal.

Aku pun tetap berada diruang rapat bersama Wendy selama 30 menit. Aku berpikir bahwa dia bekerja disini hanya karena dia seorang yang punya koneksi, apalagi dia akan menjadi penerus perusahaan dan tidak akan memperdulikan hal-hal seperti ini tetapi ternyata dugaanku salah. Dia benar-benar serius dan bekerja keras dalam melakukan pekerjaannya. Aku juga tidak pernah menyangka bahwa dia anak dari seorang Pratama Wicaksana Reinhard, pemilik Perusahaan Media Reinhard yang terbesar seantero Indonesia. Tapi bukannya dulu Wendy hanyalah orang biasa yang tinggal sendirian disebuah apartemen, itulah yang aku ketahui. Aku benar-benar seperti orang kikuk yang pernah berpikir bahwa aku benar-benar sudah mengenalnya padahal aku tidak tahu apapun. Bodohnya aku! Bahkan berita dan gosip tentangnya sebagai seorang putra mahkota sudah tersebar hingga sudut terdalam di perusahaan. Seorang anak dari keluarga Reinhard yang diketahui hanya memiliki seorang putra tunggal dan bahwa anak itulah yang sebenarnya akan menjadi penerus perusahaan tetapi hal tragis menimpanya. Kecelakaan mobil di jalur tol menuju ke Jakarta beberapa tahun lalu merenggut nyawa si penerus perusahaan yang sebenarnya. Itulah yang selalu menjadi perbincangan yang hangat dan perdebatan diantara para karyawan. Tidak ada yang menyangka bahwa keluarga Reinhard mempunyai 2 orang putra. Lalu tiba-tiba, Wendy datang sebagai seorang Direktur yang akan menjadi seorang penerus perusahaan juga. Pertanyaan yang sering muncul adalah siapa Wendy sebenarnya? Banyak yang hanya menerka-nerka sehingga gosip banyak bermunculan.

“Kalo begitu saya permisi dulu Pak, saya mau memberikan proposal ke departemen marketing dan percetakan.” Kataku sambil berdiri dari kursi tempat aku duduk dan tangan yang mendekap dokumen, aku memalingkan badan dari hadapanya yang juga bersiap untuk pergi dari ruangan.

Saat akan meraih gagang pintu, tangannya sudah meraih gagang pintu itu secepat kilat dari arah belakangku. Aku langsung berhenti dan menarik kembali tangaku. Dia berdiri beberapa centi di belakangku yang sedang tertunduk. Aku tidak bisa bergerak sedikitpun.

“Ran, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Katanya dengan suara yang terasa sangat dekat.

Aku hanya terdiam saja dan tidak bereaksi apapun. Mungkin saja karena aku sangat terkejut dengan sikapnya yang sekarang ini atau bisa saja karena dia terlalu dekat. Perasaanku mulai bercampur aduk. Jantungku masih saja berdebar karenanya tapi juga diikuti dengan perasaan kesal.

“Kamu bilang tidak senang bertemu denganku saat diluar kan. Jadi, bisakah kamu berbicara denganku sekarang?”

Lihat selengkapnya