Bab 8
Barusan, apa yang kamu bilang???
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, kami memutuskan untuk menyudahi acara kami di restoran itu. Tia berpamitan padaku dan rekan-rekanku yang lainnya, Andin, Dani, Catrine, Putra dan Alvin juga berpamitan untuk pergi pulang. Aku melihat mereka menjauh dari depan pintu restoran. Aku melihat ke sekeliling untuk mencari keberadaan Ray. Aku juga tidak terlalu berharap bahwa dia akan benar-benar menungguku, palingan dia bakalan pergi menggoda cewek-cewek cantik yang lewat.
“Kamu belum pergi, Ran?” Tanya Wendy yang baru saja keluar setelah membayar dikasir. Yaa walaupun dibilang pesta penyambutan untuk Wendy, tapi maksud mereka adalah minta traktiran. Wendy juga terlihat tidak keberatan untuk membayar dan dia malah terlihat senang.
“Hhmm, aku baru saja berpisah dengan yang lain.” Jawabku dengan cangung.
Karena kejadian beberapa jam yang lalu, kami menjadi canggung. Hadduhh, apa yang harus aku lakukan. Jika tetap berada disini, kecanggungan ini akan terus berlanjut. Tapi kalau aku pergi, Ray mungkin saja kesini.
“Aku akan pergi sekarang, terimakasih untuk makanannya.” Kataku sambil melihatnya berdiri di sampingku.
“Aku antar kamu pulang.” Katanya saat aku mulai memalingkan wajahku dan berbalik untuk melangkahkan kaki.
“Tidak usah, aku akan pulang sendiri.” Kataku membelakanginya.
“Ini sudah malam, bukannya berbahaya jika kamu pulang sendiri.” Katanya mencoba membujukku.
“Tidak perlu khawatir, dia akan aku antarkan pulang dengan selamat.” Kata Ray. Dia datang dari arah belakang Wendy. Aku membalikkan badan dan melihatnya berjalan menuju kearahku. Saat Wendy dan Ray saling berpapasan, mereka saling melirik tajam satu sama lain seperti singa dan cheetah yang saling bermusuhan dipadang savanna.
“Ayo kita pergi, Ran.” Kata Ray sambil terus berjalan dengan kedua tangan yang dia masukkan kedalam kantong hoodie. Aku pun mengikutinya yang berada 2 langkah didepanku.
“Ran!!!!!!” Pekik Wendy dengan sangat lantang. Itu membuatku sangat kaget dan spontan membalikkan badan.
Saat aku melihatnya, dia tersenyum dengan penuh kebahagiaan. Mungkin saja, dia berpikir bahwa aku tidak akan membalikkan badan dan melihatnya. Siapa yang tidak akan membalikkan badannya jika dipanggil seperti itu, suaranya benar-benar keras. Aku benar-benar terdiam melihatnya tersenyum seperti itu. “Haahhh, senyum itu. Benar… senyuman itu yang sangat aku rindukan.” Saat itu juga aku seperti tersihir lalu ingin segera berlari dan memeluknya tetapi beberapa detik kemudian, aku menahan diri dan menggigit bibirku sambil tertunduk. Aku mulai merasakan kesedihan yang begitu menusuk dan mencabik-cabik seluruh badanku.
“Hati-hati di jalan ya, sampai jumpa besok.” Lanjutnya lagi.
Aku langsung membalikkan badan lagi dan dengan cepat melangkahkan kaki menuju ke Ray yang menungguku beberapa langkah didepanku.
“Sampai jumpa besok??? Kata-kata yang sama seperti dulu!! Ini benar-benar menyakitkan, kenapa dia harus mengatakan hal itu dengan senyuman seperti itu!!! Sungguh kejam!!” Teriakku dalam hati.
“Kamu tidak perlu khawatir tentang Ran. Dia akan selalu aman bersamaku dibandingkan denganmu.” Kata Ray dengan nada yang sangat mengejek dan menatap Wendy seperti orang rendahan.
Wendy membalasnya dengan tatapan yang sangat tajam tidak mau mengalah. Mereka benar-benar seperti musuh abadi.
Aku dan Ray perlahan ssemakin menjauh darinya. Saat di stasiun, aku dan Ray menaiki gerbong kereta yang padat oleh penumpang. Aku sedikit berdesakkan dengan penumpang lainnya dan tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa. Ray mengarahkanku menuju kesudut yang tidak terlalu sempit. Aku berpegangan pada tiang tempat duduk dan Ray yang berada di sampingku memegang pegangan yang bergantung diatas. Dia menghadap kearahku dan terus memperhatikanku yang hanya melamun sejak tadi. Pikiranku benar-benar kosong bahkan aku sampai tidak mendengar apapun di keramaian dalam gerbong itu. Aku menatap kearah luar jendela tetapi aku tidak memperhatikan pemandangan yang ada diluarnya. Aku pikir saat itu wajahku terpantul di jendela kaca dan membuat Ray memperhatikanku terus menerus. Aku tidak biasanya menunjukkan kesedihanku didepan orang lain tapi entah mengapa saat itu aku benar-benar tidak memperdulikkan apapun. Aku hanya merasa senang sekaligus sedih disaat yang bersamaan.
“Ran, Ran… Hoiii Ran!!” Panggilan Ray menyadarkaku.
Aku melihat kearahnya dengan tatapan bingung.
“Kita harus turun distasiun ini, Ran!”
Aku terkejut dan dengan cepat mengangguk. Aku dan Ray langsung berlari keluar sebelum pintu kereta mulai tertutup lagi.
“Uwwahh, tadi hampir saja. Bisa-bisa kita salah stasuin.” Kata Ray saat kami berjalan ke pintu keluar.
“Iya, kamu benar. Untung saja masih sempat turun.”
“Makanya jangan melamun dong, Ran.”
“Hehehehe.” Aku hanya menjawabnya seperti itu. Aku juga tersadar bahwa aku harus bersikap seperti biasa lagi.
Untuk sampai ke apartemenku, kami perlu berjalan kaki beberapa menit. Aku mengikuti Ray yang satu langkah berada di depanku, jika aku pikir-pikir lagi, bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul ditaman dan langsung menyambar begitu saja ketengah-tengah perdebatan antara aku dan Wendy.
“Ray, kenapa kamu tadi bisa berada di sana?” Tanyaku pada Ray yang sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku.
“Maksudmu yang di taman tadi?”