Bab 9
Perasaan yang sebenarnya
Keesokan harinya, aku berangkat ke kantor dengan sangat lemas dan tidak bertenaga. Saat siang hari di lift, aku menyandarkan tubuhku sambil meneguk kopi yang tadi aku beli. Aku melewatkan makan siangku karena tidak selera makan. Ditambah banyak kerjaan yang harus segera aku selesaikan, aku sampai tidak memikirkan apapun selain menyelesaikannya. Dan itulah satu-satunya cara agar pikiranku tidak kacau. Semalaman aku tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang sudah terjadi kemarin. Bagaimana aku harus bersikap di depan Ray sekarang? Yang lebih penting lagi, bagaimana aku menjawab kata-katanya tadi malam? Aku bahkan belum bisa membalas pesan yang dikirimkan Ray padaku subuh tadi. Kepalaku sudah mau pecah rasanya. Selama 2 hari ini, aku benar-benar kelelahan baik secara fisik maupun mental. Kantung mataku tidak bisa disembunyikan, kulitku yang memang sudah pucat, sekarang menjadi lebih pucat lagi. “Kalau begini terus tubuhku bakalan tumbang karena kelelahan dan stress. Aku harap tidak ada kejadian yang aneh lagi terjadi”. Batinku sambil terus melamun di dalam lift yang kosong. Kupikir, aku bisa saja tertidur dalam posisi berdiri jika saja lift tidak berhenti dan terbuka di lantai 3. Aku langsung berdiri dengan tegap saat beberapa orang memasuki lift. Lantai 4, lantai 5, lift berhenti di setiap lantainya hingga lift menjadi hampir penuh. Saat dilantai 6, hanya ada 3 orang termasuk aku didalam lift. Kemudian 2 orang keluar dan ada 1 orang yang masuk. Betapa malasnya aku ketika melihat orang yang masuk itu adalah Wendy. Sungguh timing yang sangat tidak pas.
“Selamat siang.” Katanya. Seperti seorang anak kecil yang senang mendapatkan hadiah, itulah ekspresi yang terlihat sangat jelas diwajahnya saat menyapaku.
“Selamat siang, Pak.” Jawabku biasa saja dan pintu lift tertutup lagi.
“Apa kamu baik-baik saja, Ran?” Tanyanya. Saat itu juga tiba-tiba lampu didalam lift mati.
Beberapa detik kemudian, lampu kembali menyala dan ternyata lift berhenti di lantai 7. Wendy segera menekan tombol darurat. Aku mendengar petugas mengatakan akan butuh waktu yang tidak sebentar untuk memperbaiki gangguan yang terjadi.
“Apa!!! Tolonglah, tidak bisakah timing yang lebih bagus berpihak padaku? Kenapa harus gini sekarang!” Aku menghela napas dengan suara yang agak keras. Aku pikir Wendy bisa mendengarnya.
“Kamu tidak apa-apa kan, Ran?”
“Iya. Saya baik-baik saja, Pak.” Dustaku. Padahal aku merasa sangat lemas dan aku pikir kalau sekarang badanku mulai mengigil.
Dia hanya terus memandangiku selama beberapa menit dalam keheningan didalam lift yang masih berhenti. Badanku sudah terasa seperti akan meleleh dan kakiku seperti tidak mampu menopang tubuhku. Karena sudah sejak tadi pagi, aku terus berjalan kedeperteman lain untuk mengurus buku Prince yang akan segera terbit. Akhirnya, aku putuskan untuk melepas sepatu heels yang lumayan tinggi yang sebenarnya tidak nyaman untuk dipakai. Kemudian disaat itu juga, Wendy menjatuhkan tubuhnya ke lantai.
“Kita duduk saja di sini.” Katanya sambil tersenyum padaku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung duduk dilantai itu dan menyandarkan badanku. Setelah badanku yang terasa mengigil, sekarang giliran kepalaku yang terasa seperti terkena hantaman beberapa kali. Padahal aku bukan anak kecil lagi tapi tetap saja kondisi fisikku tidak berubah. Masih tetap lemah bahkan hanya karena kelelahan seperti ini saja, aku bisa jatuh sakit.
“Wajahmu terlihat lebih pucat hari ini, Ran? Apa kamu sedang tidak enak badan?” Tanya Wendy yang duduk bersandar sisi samping lift.
“Tidak, Pak. Saya sehat kok.” Dustaku lagi sambil mencoba menyibukkan diri sendiri agar sebisa mungkin tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya. Lalu aku membaca email dari penulis Sakura yang mengirim rancangan naskah untuk karya terbarunya. Saat membaca ceritanya, aku kembali menjadi semangat lagi hingga melupakan rasa mengigil dan pusing yang baru beberapa menit tadi aku rasakan. Gini dehh biar lebih jelasnya, kalian pernah gak ngerasain kalau tubuh kalian lagi gak dalam kondisi fit? Tapi ada satu momen yang buat kalian bisa jadi semangat terus saking semangatnya, badan kalian bisa jadi langsung fit lagi. Nahh, itu yang aku rasain sekarang. rasa sakit itu tertibin oleh semangat.
“Ran, tentang kemarin di taman. Aku minta maaf karena sudah bersikap kasar padamu.” Katanya dengan tatapan serius melihatku. Aku menghentikan kegiatanku dan melihatnya. Dia benar-benar terlihat menyesal atas apa yang dia lakukan tadi malam. Aku memang sedikit ketakutan saat itu.
“Hhhmm iya.” Jawabku singkat dan mengalihkan pandanganku untuk melanjutkan membaca email tadi. Saat itu juga, aku sadar bahwa kami sedang berduaan didalam lift yang berhenti. Sekarang malah perasaanku yang menjadi kacau.
“Wahh ini benar-benar bagus. Sakura memang sangat berbakat. Padahal baru sebulan yang lalu menyelesaikan bukunya, sekarang dia sudah punya konsep cerita yang sebagus ini.” Aku mencoba mengalihkan perhatianku dan tetap fokus melakukan pekerjaanku.
“Cowok itu Penulis Prince kan?” Tanyanya lagi saat aku sudah selesai membaca.
“Iya, benar. Dia penulis Prince alias Ray.” Kataku.
“Apa kamu punya hubungan yang spesial dengannya, Ran? Apa kalian pacaran?”
“Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu? Aduh, aku jadi keingat lagi sama yang di bilang Ray tadi malam. Mau apapun hubunganku dengan Ray, itu gak ada urusannya sama kamu kan!”
Aku enggan menjawab pertanyaannya tetapi terlihat dengan jelas bahwa dia sangat menunggu jawabanku dan kalau aku tidak menjawab, dia akan terus menanyakannya. Otakku terpaksa harus berpikir keras. Apa aku perlu menjawab pertanyaan Wendy? Tapi untuk apa juga aku menjelaskan padanya? Membahas hal ini, aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa pada Ray? Huufftt, ini membuat otakku serasa hampir meledak! Padahal tadi aku sudah berhasil untuk tidak memikirkannya.
Dring!!! Dring!!! Dring!!!!
Handphone-ku berbunyi dan ternyata yang menelponku adalah penulis Sakura. Tanpa pikir panjang, aku langsung menjawab telponnya. Ini baru timing yang bagus, nice Sakura! Baru kali ini aku merasa sangat senang sekaligus bersyukur bisa mendapatkan sebuah telpon.
“Hallo!” Sapanya dengan suara lembut.
“Hallo Sakura!” Jawabku.
“Oh selamat siang. Maaf menelpon tiba-tiba.”
“Iya, tidak apa-apa. Kita bisa berbicara sekarang. Ada apa, Sakura?”