Bab 10
Akan kukatakan!
Aku perlahan-lahan membuka mataku. Aku samar-samar melihat langit plafon yang sangat asing. Dalam kesamaran itu dan tubuhku yang masih sangat lemas bahkan hanya untuk membuka mata butuh perjuangan yang sangat banyak, aku mendengar suara. Tidak terlalu jelas tapi bisa aku pahami apa yang dikatanya.
“Aku akan tetap disini sampai dia sadar.”
“Baiklah kalau begitu.”
Lalu suara langkah kaki yang menjauh dan pintu kemudian tertutup.
“Ran.” Suara itu memanggilku dengan sangat lembut.
“Tidurlah lagi, kamu masih perlu banyak istrahat. Aku akan terus menemanimu disini.”
Walaupun dia berada tepat di hadapanku yang sedang terbaring, aku tetap tidak yakin siapa itu, karena pandanganku masih terlihat kabur. Aku rasakan juga pegangan lembut tangannya yang memegang tanganku. Aku pikir kalau itu Wendy karena suaranya benar-benar membuatku tenang dan aku langsung menutup mataku lagi.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur tapi saat aku benar-benar terbangun, matahari sudah menyinari seluruh ruangan. “Dimana ini?” Saat itu aku hanya melamun melihat langit-langit plafon yang berwarna coklat hingga aku sadar saat tanganku terasa hangat, aku menoleh kearah kanan. Aku melihat Wendy yang sedang tertidur. Dia duduk dikursi disebelah kasur dan badannya merebah didekat lenganku. Apa dia semalaman berada disini? Dia tidur sambil terus memegang tanganku dengan sangat erat. Aku coba untuk melepaskannya tetapi hanya dengan gerakan sedikit saja, dia langsung sadar dan terbangun.
“Kamu sudah sadar, Ran?” Tanyanya. Dia langsung berdiri sedikit mencondongkan badannya ke depan agar aku tidak perlu bersusah payah untuk menoleh melihatnya. Aku hanya mengangguk sedikit kebingungan. Kemudian dia tersenyum dan menggunakan tangan yang satuya lagi untuk mengelus-elus kepalaku. Aku membiarkannya melakukan itu tanpa memberontak. Jangankan untuk memberontak, bahkan untuk mengedipkan mata saja aku masih merasa lemas.
“Bagaimana rasanya sekarang? Merasa lebih baik?” Aku mengangguk lagi.
“Syukurlah.” Katanya dengan suara yang benar-benar merasa lega.
“Dimana ini?” Tanyaku dengan suara yang pelan setelah berusaha sekuat tenaga untuk berbicara.
“Aku membawamu kerumah sakit. Kamu ingat kamu pingsan di loby?” Wendy kembali duduk dan masih tetap mengenggam tanganku.
Aku mengangguk. Jadi, aku benar-benar pingsan di loby. Aku pikir itu mimpi. Lalu aku melihat ke sekelilingku. Aku menjadi sangat heran. “Masa sihh ini rumah sakit? Apa dia tidak salah membawaku?” Itulah yang aku pikirkan saat melihat ruangan ini seperti sebuah kamar hotel bintang 5. Kamar ini luas, ada sofa dan meja, bahkan ada tv dengan ukurannya cukup besar. Tapi aku pikir lagi, ini memang rumah sakit karena kasur yang aku tiduri sekarang, baju pasien yang aku gunakan dan infus yang terpasang di tanganku sebelah kiri, bukti nyata bahwa aku sedang berada di ruang VIP atau bahkan VVIP bangsal rumah sakit. Saat itu juga, pintu di ketuk kemudian seorang dokter dan beberapa perawat masuk. Wendy melepaskan genggaman tangannya ketika mereka menyapa Wendy dengan sangat ramah.
“Ibu harus isirahat total sekitar 1 - 2 hari lagi agar bisa benar-benar pulih.” Kata dokter itu padaku.
Aku hanya mengangguk saat seorang perawat memeriksa infusku. Aku meminta tolong pada perawat itu untuk sedikit menegakkan kasurku agar aku bisa duduk sambil bersandar.
“Oh iya, tolong diatur pola makan dan jangan terlalu stres. Ibu sakit karena terlalu banyak pikiran ditambah dengan pola makan yang gak teratur jadinya Ibu mengalami kekurangan gizi dan demam. Dan juga darah rendah yang kambuh, Ibu jadi langsung pingsan.”
“Baik, Dok.” Kataku. Kali ini aku setuju dengan yang dikatakan Dokter.
“Kapan terakhir kali aku makan makanan yang bergizi ya? Belum lagi aku memang punya darah rendah.” Padahal dari dulu aku paling care sama kesehatan diri sendiri karena sudah tahu kalau punya fisik yang sangat lemah. Tapi sejak kapan aku malah tidak kepikiran itu dan malah memikirkan hal lain hingga membuatku stres lalu jatuh sakit.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Pak Wendy.” Kata Dokter itu berpamitan.
“Iya, Terimakasih, Dok. Tolong Rawat dia sampai benar-benar sehat.”
“Baiklah Pak, tidak perlu khawatir. Saya akan rutin mengunjungi Ibu Ran.”
Lalu mereka semua pergi dari ruanganku dan hanya ada aku berdua saja dengan Wendy. keheningan dan kecanggungan diantara kami berdua tidak bisa di hindari.
“Apa dia akan tetap berada di sini? Bagaimana dengan pekerjaannya di kantor? Lohh tunggu dulu! Kenapa aku malah khawatir tentang pekerjaan dia! Bagaimana pekerjaanku yang belum selesai? Bukannya hari ini aku harusnya mengawasi buku Prince yang dicetak! Aku harus segera menghubungi departemen percetakan dan...”
“Heeiii Ran, berhentilah berpikir terlalu banyak. Bukannya Dokter barusan bilang ke kamu. Jadi sekarang fokus saja untuk sembuh dan istrahat total”. Katanya membuyarkan semua pikiran dan kegelisahanku barusan. Aku menatap kearahnya seakan mengatakan ‘mana bisa aku seperti itu kalau masih banyak kerjaan dikantor!’ Saat itu aku mencoba mencari handphone dan barangku yang lainnya.
“Sebentar lagi aku akan ke kantor dan meminta asistenku untuk mengurus pekerjaanmu hari ini. Jadi kamu istirahat saja ya?”
“Hhmm.” Jawabku singkat.
Aku benar-benar merasa lega saat dia mengatakan itu dan bisa langsung menyandarkan badanku dengan santai. Tapi aku merasa tidak senang karena aku tidak ingin sendirian di sini dan sejujurnya tidak ingin Wendy meninggalkanku. Ehh, tunggu sebentar. Kenapa juga aku merasa tidak ingin ditinggalkan oleh Wendy? Ini pasti karena sakit yang aku rasakan. Maksudku, saat seseorang sakit, mereka akan merasa kesepian dan butuh ditemani. Ya, itulah yang aku rasakan. Mungkin.
“Barangmu ada di laci dan ini handphone-mu. Aku juga akan menelponmu nanti.” Katanya sambil meletakkan Handphone-ku di atas meja disamping kasurku. Aku hanya diam saja, tapi tunggu dulu, bagaimana dia tahu nomer Handphone-ku? Kalau memang dia punya nomerku, kenapa tidak dari dulu dia menghubungiku? Sekarang malah bilang begitu! Aku menjadi kesal dan marah lagi padanya. Padahal aku tahu bahwa ini hanyalah sikap egoisku yang lainnya.
“Nanti ya??? Hmm.” Gumamku sambil memalingkan badan kesamping dan membelakanginya. Aku pikir dia mendengar gumamanku itu tapi dia tidak bereaksi sama sekali. Atau lebih tepatnya tidak tahu harus bereaksi apa. Dia bersiap-siap dan mengambil tasnya.
“Ran, aku pergi dulu. Setelah selesai, aku akan kesini lagi.” Katanya berpamitan dan aku tidak merespon apapun hingga dia menutup pintu itu.
Aku mengambil Handphone-ku dan melihat banyak pangilan tidak terjawab dari Ray. Disaat itu juga, Handphoneku berdering dan membuatku kaget. Dengan cepat aku mengangkat telpon itu yang sekilas aku lihat nama ‘Ray Adelard’ yang menelpon.
“Hallo!” Kataku dengan suara pelan.
“Hallo Ran!” Katanya.
“Iya, Ray?”
“Akhirnya kamu menjawab telponku!”
“Maaf, aku gak tahu kalo kamu telpon.”
Disaat yang bersamaan, seseorang mengetuk pintu ruanganku.
“Ya, masuklah!” Kataku mengabaikan Ray yang sedang berbicara.
“Saya mengantarkan makanan.”
“Oh iya, Terimakasih, Bu.” Kataku pada perawat itu.
Lalu aku sadar bahwa aku sedang berbicara dengan Ray ditelpon.