Bab 12
Hari Valentine yang sangat manis
Beberapa minggu sudah berlalu sejak saat itu dan sekarang sudah masuk bulan februari, lebih tepatnya sekarang tanggal 14 februari. Yap! Its valentine day. Jika berpikir bahwa kehebohan hari valentine hanya terjadi di kalangan remaja yang masih sekolah, itu salah besar. Seperti sekarang, keributan dan kehebohan itu ada di segala penjuru kantor ini. Bahkan ada beberapa tim dari departemen editor ini yang mewajibkan memberikan coklat pada sesama rekannya. Katanya sihh biar mereka yang kebanyakan para jomblo ngenes bisa merasakan kasih sayang dari orang lain, yang pastinya bukan keluarga mereka sendiri. Mereka melakukan itu demi kepentingan pekerjaan juga. Hhmm, memang bisa saja berguna untuk kepentingan pekerjaan sihh karena agar para editor yang kebanyakan juga hanya seorang kutu buku bisa memahami perasaan berdebar atau jatuh cinta, ya setidaknya bisa seneng gitu dapet coklat di hari kasih sayang lalu itu membantu mereka untuk memberikan saran pada penulis yang sedang mengalami kesulitan saat menulis kisah cinta. Itulah alasan yang mereka katakan. Tapi meskipun dibilang begitu, yang namanya hari valentine itu sama saja seperti hari biasanya. Itulah pikiranku. Jadi, aku tidak terlalu excited seperti yang lain. Yang lebih penting lagi, pikiranku saat ini masih tertuju pada gantungan kunci! Aku masih belum menemukan gantungan kunci itu. Terkadang aku mengikhlaskannya, kadang aku terus berusaha mencarinya kemudian jatuh kedalam jurang keputus-asaan karena tidak juga menemukannya. Dan selama itu juga, gosip tentangku yang beredar hangat, sekarang sudah mendingin dan jarang terdengar. Itu karena aku bersikap biasa saja pada Wendy dan dia pun juga begitu padaku. Dia yang biasanya selalu mencoba mendekatiku bahkan berani menunjukkannya terang-terangan seperti memamerkannya pada setiap orang, sekarang dia bersikap sebagai seorang yang profesional dalam perekerjaannya. Aku pikir dia sudah menyadari bahwa dia harus memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadi, seperti yang aku katakan padanya. Tapi ada yang aneh! Selama seminggu ini, dia benar-benar menghindariku. Padahal minggu sebelumnya, dia masih curi-curi kesempatan untuk mendekatiku. Dia menghindariku dengan sangat jelas dan bersikap seperti dia benar-benar tidak ingin melihatku. Bahkan saat kami berpapasan dan aku hanya ingin menyapanya-sekedar mengucapkan ‘selamat pagi’, tapi dia langsung berpura-pura melepon seseorang atau memutar balikkan badannya kemudian berjalan dengan cepat. Bahkan asisten yang selalu mengikutinya menjadi bingung dengan tingkahnya itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Orang yang selalu agresif untuk mendekatiku tapi sekarang dia malah menghindariku! Ini benar-benar aneh. Kenapa dia seperti itu? Apa ini artinya dia sudah mulai bosan? Apa dia sudah menyerah untuk mendapatkan aku?” Pikirku saat menuju ke ruangannya. Ketika berada didepan pintu, aku mulai mengerutkan dahiku sambil menunjukkan tatapan yang serius.
“Aku harus memastikan hal ini!” pikirku lagi saat mengetuk pintu ruangannya.
“Masuk.” Terdengar Wendy menjawabnya dari dalam dan aku langsung membuka pintu itu. Dia sedang sangat serius mengamati pekerjaannya yang menumpuk diatas meja.
“Selamat siang, Pak. Saya ingin menyerahkan proposal untuk proyek bulan ini, Pak.” Kataku menyapanya dengan ramah dan saat sudah berada beberapa langkah didepan mejanya aku menatapnya yang hanya terus tertunduk. Dia menyadari kehadiranku tetapi dia tidak bereaksi apapun.
“Ya”. Katanya singkat, padat dan datar sambil terus membaca dokumen yang ada didepanya.
“Ini proposal proyek untuk penulis Sakura, Pak…”
“Baiklah, letakkan saja di sana. Nanti akan saya periksa.” Potongnya bersamaan saat aku sedang menarik nafas ingin mulai menjelaskan proposal itu. Lalu aku mengatupkan bibirku dalam keheranan, aku langsung meletakkan proposal itu di sudut mejanya bersamaan dengan beberapa dokumen lain yang memenuhi mejanya.
“Kamu bisa pergi sekarang.” Lanjutnya lagi sambil tetap terus tertunduk melihat lembaran kertas yang ada didepannnya itu.
“Baiklah, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.” kataku sambil membalikkan badan, berjalan menuju pintu, membuka pintu itu dan aku mencoba melirik kearahnya sebelum keluar tapi hingga aku menutup pintu itu, dia masih tetap saja fokus pada kerjaannya tanpa sekalipun melihat kearahku.
“What? Apa-apaan ini? Dia jelas-jelas menghindariku! Padahal biasanya saat aku ke ruangannya, dia akan terus berusaha bertanya banyak hal agar aku bisa berlama-lama berada di hadapannya! Jika dia sibuk seperti itu, dia akan langsung mengabaikan pekerjaannya dan melihatku sambil senyum-senyum kegirangan.” Batinku sambil berjalan menuju keruanganku dengan menujukkan kerutan didahiku. Hingga aku duduk di mejaku lagi, aku masih terus memikirkan banyak hal.
“Jadi, dia benar-benar bosan padaku dan sekarang dia mengabaikanku.”
“Mirani? Mirani? Hello Mirani!!!?” Kata seseorang dari samping dan membuatku tersentak.
“Ohh ya?” Kataku spontan sambil melihat kearah suara itu.
“Mikirin apa, sihh? Siang-siang malah melamun gini, Mi!” Kata Putra yang ternyata sudah beberapa kali memanggilku.
“Gak ada. Memangnya ada apa, Put?” Tanyaku yang saat itu juga tersadar melihat dia membawa sebuah buket bunga berukuran besar.
“Ini untukmu.” Katanya sambil memberikan bunga itu.
Aku menerima bunga itu dengan bingung. Sedetik kemudian, aku menunjukkan wajah kaget dan menutup bibirku dengan jari sambil menatap kearah putra seolah berkata ‘kamu memberikannya untukku?’ dengan tersenyum malu-malu untuk menggodanya.
“Ehhh!!! Jangan mikir yang aneh dehh, ini bukan aku yang memberikannya untukmu. Tadi ada kurir yang mengantar kesini.” Katanya cepat-cepat menjelaskan.
“Ohh jadi begitu.” Kataku dan sambil fokus melihat bunga itu. “Makasih ya.” Lanjutku lagi.
“Mirani sudah punya pacar ya? Kok kita gak ada yang dikasih tahu?” Tanya Putra.
“Ehh, aku gak punya pacar kok.” Sanggahku. Tapi dia menunjukkn wajah tidak percaya sambil pergi berlalu meninggalkan mejaku dengan tatapan seperti seorang detektif yang mengamati dengan sangat teliti.
Aku kebingungan melihat buket bunga itu. Aku memutar-mutar buket bunga mawar merah yang berukuran sekitar 40cm itu untuk menemukan nama pengirimnya. Lalu aku lihat secarik kertas diselipkan di dekat pita yang mengikatnya. Aku membuka secarik kerta situ.
To: Mirani Aprillia
The red rose is love.
Hanya itu yang tertulis disana. Aku membolak balik kertas itu untuk menemukan nama pengirim tapi tidak juga aku temukan. Lalu aku dekatkan hidungku ke kelopak bunganya yang halus. Wangi lembut mawar itu membuat kerutan yang tadi ada di dahiku, kini berubah menjadi senyuman. Walaupun aku tidak tahu siapa pengirimnya tapi berkat itu, aku sudah menjadi semangat lagi. Aku letakkan buket mawar itu di samping layar komputerku. Dan aku melanjutkan pekerjaanku. Sejam kemudian, seorang kurir datang lagi ke ruanganku.
“Apa Ibu Mirani Aprillia ada?” Tanya kurir itu di depan pintu. Aku mendengar kurir itu dan menghentikan kegiatanku untuk menghampirinya.