Bab 13
Pengakuan
Sudah 3 hari berlalu dan Wendy akan kembali ke kantor hari ini. Selama 2 hari sebelumnya, aku sangat merindukannya. Tapi sekarang aku malah jadi sangat gugup sekaligus sangat menantikannya. Aku bangun pagi dengan wajah ceria dan sangat bersemangat. Aku sampai di kantor sekitar jam setengah 9 pagi. Aku meletakkan botol berisi Americano di atas meja. Memandangi bunga mawar pemberiannya di dalam vas yang sudah mulai layu sambil duduk dan menyalakan komputerku. Walaupun pekerjaanku sangat banyak hari ini, tapi aku tidak merasa stres sama sekali. Aku malah bersemangat ingin cepat menyelesaikannya dan menyerahkan laporan pada Wendy agar aku punya kesempatan untuk berbicara dengannya.
“Morning, Mi!” Sapa Tia yang baru saja datang.
“Pagi, Mirani!” Sapa Putra juga yang datang bersama dengan Tia.
“Ohh, iya. Pagi semua! Semangat kerja hari ini ya!!!” kataku dengan tingkat keceriaan yang maksimal.
Mereka berdua sampai bingung melihat tingkahku. Mungkin mereka berpikir bahwa 2 hari sebelumnya, aku sangat murung tapi sekarang aku sangat berlebihan-senyum berlebihan, semangat berlebihan dan ceria berlebihan. Padahal semua itu terjadi karena aku merasa sangat gugup. Dalam otakku juga terus berpikir, bagaimana aku menyapa Wendy? Bagaimana aku harus bersikap? Bagaimana aku harus memulai? Aku pikir aku tidak bisa mengatakan apa-apa saat berada dihadapannya nanti.
Tapi ternyata, aku lebih sibuk daripada yang aku pikirkan. Aku bahkan tidak bisa melangkahkan kakiku dari mejaku yang sudah menumpuk beberapa dokumen. Sampai jam makan siang dimulai, aku masih terus mengetik beberapa laporan yang belum selesai. Ruanganku sudah sangat sepi dan aku sudah beberapa kali menolak ajakan dari rekan-rekanku untuk pergi makan siang bersama.
“Tanggung kalo pergi sekarang, laporannya sebentar lagi selesai. Selesaiin yang satu ini dulu, terus baru pergi ke kantin. Aku pikir masih sempat untuk makan siang disana.” Pikirku dan kulirik jam tangan yang aku gunakan. Disaat yang bersamaan, telpon yang dimejaku berbunyi. Aku langsung mengangkatnya.
“Ya, Mirani dari Departemen Editor disini. Ada yang bisa dibantu?”
“Ran?”
“Iya?” Aku melirik ke monitor kecil di telpon itu, tertulis ‘Direktur Departemen Editor’. Aku sontak membelalakkan mata dan jantungku mulai berdetak dengan cepat.
“Aku pikir kamu tidak ada diruangan.” Kata Wendy.
“Saya ada diruangan, Pak. Apa ada yang bisa dibantu?” Tanyaku dengan berusaha sekuat tenaga untuk berbicara dengan santai.
“Iya, bisa kamu keruangan saya sekarang?” Tanyanya.
“Baik, Pak. Saya kesana sekarang.” Aku menutup telpon itu, merapikan pakaian yang aku gunakan, sedikit merapikan rambutku yang tergerai, aku sempatkan juga untuk mengambil kaca di dalam tasku untuk bercermin dan memastikan bahwa riasan diwajahku masih terlihat bagus. Kemudian dengan perasaan yang gugup luar biasa, aku menuju ke ruangan Wendy.
Saat berdiri di depan pintu, aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menenangkan diriku yang terlalu gugup. Lalu aku mengetuk pintu dan membukanya. Wendy menyambutku dengan senyumannya yang sangat hangat. Aku berjalan mendekatinya dan dia berdiri keluar dari mejanya. Kami berhenti beberapa meter antara satu sama lain. Aku hanya sedikit tertunduk dan tidak tahu harus mengatakann apa untuk memulai pembicaraan.
“Selamat siang, Pak. Ada apa Bapak memanggil saya?” Tanyaku pada akhirnya.
“Selamat siang, Ran”. Jawabnya sambil tersenyum. “Aku dengar dihari aku pergi keluar kota, kamu mencariku?” Tanyanya.
Aku mengangguk.
“Kenapa Ran mencariku?”
“Itu karena terimakasih untuk hadiahnya.” Kataku sambil tertunduk menyembunyikan wajahku yang tersipu malu. Dia perlahan terus mendekat hingga hanya selangkah didepanku. Aku melirik kearah dagunya dan perlahan mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Aku melihat wajahnya yang serius kemudian dia tersenyum padaku.
“Cuma itu saja?” Tanyanya lagi.
“Untuk gantungan itu juga terimakasih. Kali ini aku akan menjaganya lagi.” Kataku sambil tersenyum padanya.
Dia menarik tanganku dengan cepat. Didetik berikutnya, aku sudah berada didalam pelukkannya. Aku rasakan pelukkan itu. Bahunya yang luas menutupi wajahku. Badannya yang menjadi lebih tinggi dan usapan lembut tangannya di kepalaku. Pelukkannya yang erat tapi terasa sangat lembut dan hangat, membuatku merasa sangat nyaman.
“Ran, apakah kamu masih marah padaku?” Bisiknya di telingaku.
“Tidak terlalu.” Jawabku sambil membalas pelukkannya dan sedikit berjinjit agar kepalaku yang bersembunyi di bahunya bisa berada di samping kepalanya.
“Kalau begitu, apakah kamu masih membenciku?”
“Entahlah.” Jawabku menggodanya.
“Apa kamu mau mendengar penjelasanku sekarang?” Tanyanya dengan nada yang sedih.
“Entahlah.”
Dia langsung memegang bahuku dan mendorongku agar dia bisa melihat wajahku. Aku menatap wajahnya yang terlihat begitu sedih dan berharap. Aku tertawa kecil melihatnya. Aku pikir wajahnya sangat menggemaskan.
“Iya, aku mau mendengarkanmu kok.” Kataku dengan tersenyum padanya.
“Terimakasih, Ran.” Katanya tersenyum dengan sangat senang dan kembali menarikku kedalam pelukkannya.
“Iya. Tapi bukan sekarang … kita masih dikantor dan aku masih punya banyak kerjaan yang belum selesai.”
“Apa kita bolos saja sekarang?”
Aku mendorongnya dan menatap wajahnya dengan mengerutkan dahiku.
“Aku gak mau kerjaanku lebih menumpuk lagi. Kamu juga pasti sangat sibuk kan?”
Dia hanya tertunduk lesu dan memegangi kedua tanganku. Kemudian dia menghela nafas dan menatapku.
“Kalau begitu, aku bisa mengajakmu bertemu diluar?”