Bab 16
Yukk berbaikan dulu, lalu aku akan ceritakan semua tentang diriku!
Setelah merasa sangat lelah mengeluarkan air mataku, Wendy melepaskan pelukkannya dan duduk mepet disampingku. Dia merangkul bahuku agar aku bisa bersandar dibahunya. Air mataku perlahan mengering dan Wendy membantu menghapus sisa-sisa air mata yang ada dipipiku dengan sangat lembut. Dia menatapku dengan tatapan hangat nan menenangkan. Kami saling berpandangan selama beberapa saat.
“Kenapa kamu bisa ada disini?” Tanyaku pada akhirnya yang sudah tenang dan menyadari bahwa Wendy yang ada di hadapanku sekarang ini adalah nyata.
“Kakakmu tiba-tiba menelponku dengan cemas. Dia bilang kalo kamu tiba-tiba pergi dari rumah orang tuamu dan kamu tidak bisa dihubungi. Kakak dan orang tuamu jadi khawatir.” Jawabnya sambil mencium keningku. Aku pun mengangguk lalu kami diam melihat matahari yang terus berusaha menyembunyikan dirinya selama beberapa menit.
“Aku sudah dengar kejadiannya dari kakakmu. Orang tuamu sangat khawatir dan mereka langsung memberitahu kakakmu tapi karena dia lagi sibuk dan gak bisa ninggalin pekerjaannya, dia menghubungiku.” Katanya memulai pembicaraan.
“Hhmm gitu ya…” Kataku mengangguk. “Aku beneran merasa muak dan kesal banget tapi kenapa sekarang hatiku juga sakit banget rasanya? Makanya aku cuma bisa nangis.” Lanjutku dengan perasaan yang sangat sedih. Aku menunduk dan mengatup bibirku untuk menahan air mataku agar tidak membanjiri pipiku lagi.
“Ya, aku ngerti kok Ran… Kalo kamu sekarang juga merasa sedih, itu artinya kamu menyesal sama apa yang kamu katakan pada orang tuamu.”
‘Tapi…”
“Hhmm?” Katanya sambil mengangkat alisnya. Aku pun terdiam dan tidak jadi melanjutkan perkataanku. “Sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam, kamu tidak bermaksud mengatakan itu kan? Kamu hanya terlalu terbawa emosi saja, Ran. Buktinya sekarang kamu merasa sedih. Bahkan kamu menangis bukan karena merasa kesal tapi kamu menyesal.” Lanjutnya.
Aku terdiam dan menyadari bahwa aku memang merasa sangat bersalah sekarang. Aku benar-benar merasa menyesal sudah mengatakan hal itu pada mereka. Aku seharusnya melerai pertengkaran mereka dan bukannya malah memperkeruh suasana dengan mengatakan kata-kata bodoh seperti itu. Air mataku mulai mengalir lagi.
“Lohh kenapa kamu malah menangis lagi?” Tanyanya panik.
“Uwwaahhhh, soalnya … aku … beneran bodoh. Aku harusnya … gak bilang gitu ke mereka! Uwaahhh!! Aku beneran … nyesel sekarang.” Kataku dengan terbata-bata sambil terus terisak.
“Sudah. Jangan nangis dong, Ran. Itu bagus kalo kamu sekarang sudah menyadarinya tapi kamu gak perlu menangis seperti ini.” Katanya sambil memegang kedua pipiku dan aku mendongakan kepalaku. Dia menatap wajahku sudah menjadi sangat jelek dan berantakan karna air mataku yang terus-menerus keluar tanpa henti saat itu.
“Uuuuwwaahhh!!!!” Walaupun sebenarnya aku sangat ingin berhenti menangis tapi tangisanku malah tetap tidak mau berhenti. “Aku… gak bisa … berhenti!!!” Lanjutku lagi.
“Ran.” Katanya. Kulihat dengan samar-samar wajahnya yang serius sekaligus terlihat sedih juga.
“Hhmm?” Jawabku yang masih terisak.
Sedetik kemudian, Wendy mendekatkan wajahnya ke wajahku lalu bibirnya dan bibirku saling menempel. Tangisanku langsung terhenti ketika kurasakan bibirnya yang sangat lembut itu dibibirku, membuatku membuka mata lebar-lebar dan jantungku mulai berdebar sangat kencang saat kusadari apa yang sedang terjadi. Kulihat mata Wendy yang terpejam dihiasi bulu matanya yang panjang. Aku pun memejamkan mataku juga sambil memegang salah satu tanganya yang ada dipipiku. Tangannya yang kupegang itu terus menahan wajahku agar tidak menjauh. Kemudian tangannya yang lain langsung melingkar dipinggangku agar aku bisa lebih mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Dia sedikit menjilat bibirku dengan lembut dan kubuka sedikit mulutku yang membuat lidah kami saling bertemu. Aku menarik baju yang ada di dadanya. Bisa kurasakan jantungnya yang berdetak dengan sangat cepat. Selama beberapa detik, kami tetap seperti itu hingga aku larut dalam kenikmatan ciuman pertama ini. Dia mulai menjauhkan bibirnya ketika menyadari bahwa nafasku yang sudah terengah-engah karena sesak. Aku perlahan membuka mataku yang disambut dengan warna bola mata kecoklatan miliknya yang terkena cahaya matahari terbenam. Angin berhembus menerpa rambutku dengan lembut. Bisa kurasakan angin hangat yang dibawanya dan membuat kesadaranku yang tadinya berada di alam kenikmatan, kini sudah kembali lagi ke dunia ini.
“Akhirnya, kamu berhenti menangis!” Katanya sambi tersenyum hingga matanya menjadi sipit dan wajahnya terlihat sedikit memerah. Aku dengan malu-malu membalas senyumannya itu. Kemudian dia mengelap air mata yang masih tertinggal di mataku dengan jarinya. Dicuimnya keningku sekali lagi, lalu kami menikmati pemandangan indah sore itu selama beberapa saat.
“Ayo, kita pergi!” Ajaknya sambil menggenggam tanganku.
“Kemana?”
“Kemana lagi menurutmu? Kalo kamu benar-benar merasa bersalah, bukannya kamu juga harus langsung minta maaf? Ditambah, orang tuamu juga sudah sangat khawatir, Ran.”
“Hhmm tapi apa aku harus minta maaf sekarang?”
“Kamu gak mau?”
“Bukannya gak mau, tapi …”
“Aku hanya merasa sangat malu, karena mengingat betapa bodohnya perkataanku pada orang tuaku tadi.” Batinku.
“Lebih baik kamu lakuin sekarang daripada nanti dan akhirnya kamu terus merasa menyesal, Ran.”
Aku hanya terdiam dan masih ragu.
“Kamu tahu, Ran? Aku merasa iri padamu karena bisa bertengkar dengan orang tua seperti itu. Tapi tentu saja, bukan maksudku untuk mengatakan bahwa pertengkaran itu hal bagus. Hanya saja, itu menunjukkan bahwa kalian memang benar-benar sebuah keluarga. Keluarga yang masih utuh, memiliki ayah dan ibu yang ada di sisimu, walaupun bertengkar tapi pasti kalian juga punya momen bahagia bersama. Kenangan bahagia, haru, sedih dan tertawa bersama lalu terkadang bertengkar, suasana yang hidup seperti itu, belum pernah aku rasakan. Itulah yang membuatku iri.” Katanya sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
“Hhmm, iya Wen. Yang kamu katakan itu ada benarnya. Tapi kenapa kamu belum pernah merasakan hal seperti ini? Apa di keluargamu gak pernah terjadi hal seperti ini?” Tanyaku dengan polos karena aku belum pernah mendengar Wendy menceritakan tentang dirinya apalagi keluarganya.
“Kamu penasaran?” Tanyanya. Aku mengangguk dengan penuh harap agar dia bisa menceritakan tentang dirinya padaku sekarang juga.
“Kalo kamu mau mendengar semua tentangku, aku bakalan cerita, tapi nanti! Setelah kamu pulang dan meminta maaf ke orang tuamu!” Tegasnya padaku.
“Hmm iya, aku bakalan minta maaf sekarang. Aku juga gak mau merasa bersalah dan sedih terus seperti ini.” Kataku.
“Bagus, bagus!” Katanya sambil megelus kepalaku.