DIANTARA SENJA KITA

Febrianti Dwi A
Chapter #19

Bab 18 Cerita tentang Wendy bagian pertama

Bab 18

Cerita tentang Wendy bagian pertama

Sejak kecil, aku hanya tinggal berdua dengan Ibuku disebuah rumah sederhana di dekat kota. Aku mendengar darinya bahwa nama Wendy Reinhard adalah pemberian dari ayahku yang berasal dari keluarga Reinhard tapi aku tidak pernah sekalipun bertemu atau melihat wajahnya. Keluarga Reinhard sudah terkenal sejak dulu, tapi waktu itu aku masih belum mengerti dan belum memahami bagaimana sebenarnya keluarga itu. Ketika aku berada di kelas 6 SD, aku tidak sengaja bertemu kakak laki-lakiku disebuah taman. Kami memiliki Ibu yang berbeda dan Ibu dari kakakku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Saat itu, aku belum mengetahui bahwa dia adalah kakak tiriku. Dia berusia 6 tahun lebih tua dariku.

Pertemuan pertama kami terjadi disebuah taman. Bagiku pertemuan itu adalah sebuah ketidaksengajaan tapi tidak bagi kakakku itu. Dia memang sengaja pergi ke daerah tempat tinggalku dan dia berharap bisa menemuiku. Saat itu, aku kebetulan jatuh tersungkur di depannya yang sedang duduk di sebuah ayunan. Dia langsung menolongku yang sedang menangis karena kakiku yang berdarah. Dari kecil, wajah menyeramkan yang diturunkan oleh Ayahku memang sudah menjadi masalah. Aku sering disalah pahami oleh anak-anak lain yang seusia denganku sehingga aku tidak memiliki teman dan merasa kesepian. Aku sering bermain sendirian di taman sama seperti hari itu. Saat aku mulai berlari untuk masuk kedalam taman, aku malah tersandung kakiku sendiri dan jatuh tersungkur kedepan. Rasa perih bisa aku rasakan di lutut kananku yang mulai mengeluarkan darah. Aku pun mulai menangis.

“Heeii, kamu kenapa?” Tanya kakakku saat dia menghampiriku.

“Uuwaaahhhh!!!” Aku malah semakin menangis lebih kencang. Kemudian dia melihat kakiku yang berdarah. Dia berjongkok sambil mengeluarkan sapu tangan miliknya. Di lapnya tanah dan pasir yang ada di pirngiran luka itu sambil meniupnya pelan lalu dibalutnya lukaku dengan sapu tangannya.

“Nahh sekarang sudah gak berdarah lagi.” Katanya sambil tersenyum padaku dan mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku mengangguk melihatnya dan kini tangisanku sudah berhenti.

“Terimakasih kakak!” Kataku padanya.

“Iya, sama-sama.” Katanya sambil berdiri dan tersenyum ramah. “Ayo berdiri. Bajumu bakalan kotor kalo terus-terusan duduk disana.” Lanjutnya sambil mengulurkan tangannya.

Aku memegang tangannya itu kemudian berdiri. Saat itu, pergelangan kakiku terasa sakit juga dan aku hampir terjatuh lagi. Kalau saja saat itu kakakku tidak langsung memegangku dengan erat, aku pasti sudah terduduk lagi.

“Apa ada yang terasa sakit lagi?” Tanyanya.

“Disini rasanya sakit.” Kataku sambil menunjukkan ke pergelangan kakiku yang mulai bengkak karena keseleo.

“Ayo kita duduk dulu.” Ajaknya sambil membantuku berjalan menuju sebuah tempat duduk.

“Apa kamu tinggal didaerah sini?” Tanyanya saat aku sudah duduk disebuah bangku yang berada dibawah pohon. Dan kakakku yang sedang berjongkok didepanku untuk memeriksa kakiku yang keseleo.

“Iya, kak. Rumahku kearah sana.” Jawabku sambil menunjuk kearah jalanan yang biasa aku lewati untuk pulang kerumah.

“Sepertinya kamu harus segera pulang! Apa kamu bisa berjalan?” Tanyanya.

“Aduuhhh!!!” Teriakku. Saat itu, aku mencoba untuk berdiri tetapi aku malah oleng lagi dan hampir terjatuh. Kakiku tidak mampu menopang badanku. Apabila aku paksakan, hanya akan terasa sakit yang luar biasa di pergelangan kakiku ini.

“Kakak akan mengantarmu pulang!” Katanya.

“Tapi…” Kataku yang ragu karena dia orang yang sangat asing bagiku saat itu, aku pun menjadi sedikit waspada padanya.

“Oh iya, nama kakak, Farel. Kakak bukan orang jahat kok. Dan apa kakak boleh tahu namamu?” Kata kakakku yang mencoba untuk menyakinkanku.

“Namaku Wendy Reinhard kak, kakak bisa panggil aku Wendy.” Kataku. Aku melihatnya yang membelalakan mata karena terkejut. Sedetik kemudian dia tersenyum hingga menyipitkan matanya.

“Jadi, kamu Wendy ya? Kalau begitu apa boleh kakak membantumu untuk pulang ke rumah? Kakak beneran bukan orang jahat kok, lagian kakak cuma anak SMA biasa.” Pintanya dengan sangat ramah.

Aku pun berpikir sejenak. “Kakak ini sepertinya memang bukan orang jahat, bahkan dia membantuku. Aku rasa tidak apa-apa menerima tawarannya ini.”

“Iya, kak.” Kataku sambil mengangguk menerima tawarannya itu.

“Ayo naik kepunggung kakak. Kamu pasti kesulitan berjalan, jadi kakak akan menggendongmu.” Katanya sambil berjongkok didepanku memperlihatkan punggungnya yang sudah siap untuk aku naiki.

“Ehh, tidak usah kak.”

“Kalo kamu berjalan, nanti kakimu bisa tambah parah. Sudah cepatlah!” Katanya sambil menarik lenganku dan aku pun terjatuh dipunggungnya. Dia menaruh kakiku dilengannya, dia berdiri dan kami perlahan mulai berjalan. Aku menunjukkan jalan padanya.

“Apa kamu tadi mau main sama temen-temenmu ditaman?” Tanya kakakku saat kami berbelok untuk masuk ke sebuah perumahan tempatku tinggal.

“Bukan kok kak, aku biasanya main sendirian disana.”

“Lohh, kenapa sendirian?”

Lihat selengkapnya