Bab 21
Siapa dia?
Ketika Wendy selesai cerita, jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Bunyi dentingan jam terus menghiasi sunyinya malam diantara kami berdua untuk beberapa saat. Detik demi detik berlalu, aku hanya memandangi jarumnya yang terus bergerak tanpa henti. Aku masih belum menyadari bahwa aku berada dirumahnya hingga selarut ini. Bahkan sekarang hujan pun sudah tidak lagi turun diluar sana. Sebelum jarum jam itu menyelesaikan satu putaran, Wendy menutup album itu. Dia mengenggam kedua tanganku dan ditaruhnya di atas album itu.
“Huuffhhh, akhirnya selesai juga!” Katannya.
Dari suaranya, terdengar bahwa dia merasa sangat lega seperti semua perasaan yang mengganjal di hati ikut pergi bersama dengan helaan nafasnya. Aku menyampingkan badanku yang bersandar dibahunya, menatapnya dan tersenyum padanya. Dia membelas senyumanku.
“Iya.” Jawabku. Aku pun menyandarkan lagi tubuhku dan menatap kedepan.
“Membosankan ya?” Tanyanya.
“Hhmmpp…” Kataku sambil menggelengkan kepala dengan cepat. “Gak membosankan sama sekali kok. Aku malah senang bisa mendengarkanmu. Terimakasih sudah mau memberitahuku.” Lanjutku dan kulirik dia. Kemudian aku tersenyum padanya. Disaat yang bersamaan, rasa lelah dan kantuk mulai berdatangan padaku. Wendy mendekatkan wajahnya padaku hingga pipinya dan pipiku menempel. Kemudian pipinya bergerak naik turun dan tangannya yang tadi mengenggam tanganku kini melingkar dipinggangku dengan erat. Pipinya yang terus bergerak karena rasa gemasnya padaku, hal itu membuatku merasa geli. Dia bertingkah persis seperti Leo saat ingin dimanja.
“Hahaha, geli Wen!” Kataku sambil tertawa geli dan mengangkat bahuku untuk menjauhkan wajahnya dari pipiku. Lalu dia pun berhenti melakukan itu.
“Seharusnya aku yang berterimakasih padamu, Ran. Terimakasih karena sudah mau mendengarkan aku.” Katanya dengan suara lembut dan serius.
“Hhmm iya, sama-sama.” Kataku sambil memegang lembut kepalanya yang bersandar di bahuku.
Beberapa detik, kami tetap seperti itu kemudian Wendy menjauhkan wajah dan tangannya dariku. Dia memegang album itu dan kulihat dia dengan tatapan bingung. Lalu dia bergeser sampai ketepian sofa, mengambil mug yang ada di meja kecil dan bersiap untuk berdiri.
“Aku akan taruh album dan mug ini dulu.” Katanya saat dia sudah berdiri dan melihatku.
“Iya.” Kataku.
Aku terus melihatnya berjalan menjauh. Aku perhatikan cara berjalannya yang tegap dan penuh percaya diri itu. Aku perhatikan bahunya yang lebar itu ternyata menyembunyikan luka yang cukup dalam dihatinya dan dia juga harus menahan beban berat yang dia bawa kemanapun dia pergi.
“Dia benar-benar laki-laki yang hebat!” Batinku sambil menyandarkan badanku ke sofa.
Rasa kantuk yang tadi sempat aku rasakan, sekarang terasa semakin kuat menjalar hingga ke seluruh tubuh. Kelopak mataku terasa sangat berat seperti ada beban yang sangat berat menggantung di setiap bulu mataku. Beberapa kali aku memejamkan mata selama satu sampai dua detik. Sebelum benar-benar tertidur, aku melihat Wendy yang berhenti setelah meletakan album foto itu ketempatnya semula.
“Ternyata sudah jam segini, kamu pasti capek kan, Ran? Sebentar lagi aku akan mengantarmu pulang.” Katanya.
“Hhmm…” Jawabku yang sudah dalam kondisi setengah sadar.
“Ternyata benar-benar sudah larut malam ya!? Aku harus segera pulang sekarang.” Setelah berpikir seperti itu, aku pun menyadari bahwa jam dinding yang terus aku perhatikan tadi ternyata sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tapi sekarang aku malah menutup mataku rapat-rapat. Lalu aku pun tertidur sangat pulas dengan posisi setengah berbaring dan bersandar di sofa itu.
Kesadaranku mulai kembali ketika aku merasakan ada hembusan angin yang mengenai kepalaku. Aku mulai merasakan sebuah sentuhan di tanganku yang sedang menggengam sesuatu. Aku juga bisa merasakan sesuatu di punggungku. Aku pun mencoba menggeser badanku karena aku merasa seperti tertindih sesuatu. Perlahan aku membuka mataku dan seberkas cahaya yang silau menyapanya. Hal pertama yang aku lihat saat sudah sepenuhnya membuka mata adalah area tulang selangka yang lebar yang sedikit tertutupi oleh kerah kaos berwarna hitam. Aku membelalakan mata dan menyadari bahwa yang sedang ada di depanku ini adalah Wendy. Dia masih tertidur pulas. Wajahku tadi ternyata menempel di dadanya dan membuatku bisa merasakan hembusan nafas Wendy yang mengenai bagian atas kepalaku. Salah satu tanganku melingkari tubuh Wendy dan sedikit menarik bajunya dalam genggaman tanganku. Tangan Wendy menjadi bantal bagi kepalaku dan tangannya yang lain melingkari punggungku. Aku dan dia berada di dalam satu selimut tebal yang sama. Aku melihat ke sekelilingku, ternyata aku masih berada diruang baca itu. Kulihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi.
“Waahhh!! Bisa-bisanya aku ketiduran tadi malam!! Dan situasi sekarang ini, aku jelas-jelas sedang tidur dalam pelukkan Wendy!!! Tapi kenapa dia bisa ada di sebelahku?? Kalo dia bangun, aku harus gimana? Apa yang harus aku katakan? Haruskah aku sapa dengan wajah biasa saja? Atau aku harus bersikap salah tingkah seperti sekarang? Waahh gimana ini??” Aku terus memikirkan banyak hal sambil menyembunyikan wajahku di dekat dada Wendy.
Aku hanya diam untuk beberapa saat, tidak membuat gerakkan sedikitpun hingga aku sudah merasa tenang. Aku mencoba untuk mendongakkan wajahku untuk melihat wajah Wendy yang masih tidur. Aku menggerakkan mataku keatas perlahan. Aku melihat bagian lehernya kemudian ujung dagunya yang bersih tanpa ada janggut. Kulihat bibirnya yang berwarna pink, hidungnya yang mancung dan matanya yang masih terpejam dihiasi dengan bulu mata yang panjang. Lalu aku menyadari bahwa dia memiliki alis yang tebal, membuatku tergoda untuk memegangnya. Aku pun menggerakkan tanganku perlahan sampai ke wajahnya. Aku sentuh alisnya dengan ujung jari telunjuk selembut mungkin dari arah dalam menuju keluar. Aku pun tersenyum melihat wajahnya yang menggemaskan saat tertidur. Lalu aku menundukkan kepalaku lagi, bersembunyikan di dalam dadanya dan sedikit menahan tawaku.
“Wendy, kamu terlihat sangat menggemaskan kalo lagi tidur! Seneng dehh litanya.” Gumamku dengan suara yang kubuat sekecil mungkin.
Setelah itu, aku mencoba melepaskan diri agar aku bisa pergi dari pelukkannya untuk menuju ke dapur. Aku berniat membuatkannya sarapan pagi ini. Selagi dia masih tertidur seperti ini, aku pikir aku bisa dengan mudah melepaskan diri tetapi dugaanku salah. Saat aku sedikit mendorong badannya, dia langsung menarikku lagi dalam pelukannya dengan lebih erat dari sebelumnya.
“Ran, mau kemana?” Katanya, membuatku sedikit terkejut. Karena perkataannya itu bukan seperti orang yang sedang mengigau. Aku yakin bahwa sekarang atau bahkan sejak tadi, dia sebenarnya sudah bangun. Aku sedikit menjauhkan diriku darinya agar aku bisa mendongakkan wajahku untuk melihatnya. “Selamat pagi, Ran!” Lanjutnya saat mata kami saling bertemu.
“Kamu sudah bangun?” Tanyaku padanya. “Selamat pagi juga, Wen!” Lanjutku sambil menunggu jawaban darinya.