Bab 22
Awal pembicaraan
Selama makan siang, aku hanya melamun dengan pandangan kosong sambil mendengarkan orang-orang yang mulai bergosip tentang hal yang barusan terjadi di loby. Padahal belum ada 1 jam tapi semua orang sudah membicarakan mereka berdua. Wendy dan wanita cantik tadi benar-benar menjadi topik pembicaraan yang hangat. Aku dan rekan-rekanku yang melihat kejadian tadi dengan sangat dekat, menjadi pusat perhatian banyak orang. Mereka berdatangan silih berganti untuk menanyakan kronologi kejadian itu. Setelah suasana mulai sedikit tenang, aku akhirnya bisa sedikit bernafas lega. Karena kalau aku terus mendengarkan mereka menceritakan kejadian itu berulang kali, aku pikir aku akan jadi sangat emosi. Aku pun memakan bekal makan siangku dengan tidak semangat.
“Hhmm, aku pikir bekal untuk Wendy harus aku bawa pulang lagi dehh. Huuufftt!!” Batinku sambil melihat bekal itu dengan perasaan sedih.
“Kira-kira wanita tadi itu siapa ya??” Tanya Putra. “Dia benar-benar cantik seperti bidadari yang jatuh dari langit!” Lanjutnya dengan antusias.
“Ya, dia siapa ya? Dia memang sangat cantik bahkan aku juga sampai terpesona melihatnya. Hhmm.” Aku pun tertunduk sambil menagaduk-aduk bekal makan siang yang ada di depanku.
“Saat dia datang, dia bahkan langsung memeluk Pak Wendy!” Kata Tia. “Mungkin dia…” Lanjutnya. Aku pun langsung menatap kearah Tia dengan sangat tidak sabaran. Tetapi kemudian di potong oleh Catrine
“PACAR!” Seru Catrine.
“Hhmm, aku-lah pacarnya!” Aku mengangkat sebelah alisku.
“Tapi Pak Wendy kelihatan sedikit kesal saat melihat dia?!” Bantah Tia.
“Ya, itu benar juga. Wendy terlihat kaget dan lumayan kesal tadi.”
“Jadi, kalo bukan pacar terus apa dongg?” Tanyaku berpura-pura mengikuti pembicaraan mereka seperti biasa agar mereka tidak curiga padaku. Karena sejak Wendy pergi, aku hanya diam dan melamun saja.
“Hhmm…” Kata catrine sambil mengangkat bahunya.
“Kalian tadi denger gak, apa yang di katakan wanita itu pada Pak Wendy?” Tanya Putra. “Apa hanya aku yang mendengar bahwa dia mengatakan ‘pertemuan keluarga’?” Lanjutnya lagi.
“Iya, bener. Aku juga denger itu!” Kata Tia membenarkan.
Aku hanya menagangguk pada mereka.
“Aku juga dengar.” Kata Catrine. “Pertemuan keluarga ya? Apa dia anggota keluarga Reinhard juga? Sepupu mungkin?!” Lanjut Catrine.
“Ehh, itu gak mungkin!” Bantah Putra.
“Iya Trin, kayaknya gak mungkin dehhh!” Bantah Tia. “Masa sikap sepupu gitu? Dateng-dateng langsung meluk? Apa kamu kalo sama sepupumu biasa pelukan gitu?” Tanya Tia pada Catrine.
Catrine menggelengkan kepalanya.
“Hhmm, Tia benar. Itu bukan sebuah sikap yang bisa ditunjukkan pada sepupu.” Batinku menyetujui Tia.
“Kalau aku pikir sihh, mungkin saja wanita itu calon tunangan Pak Wendy!!!” Kata Putra.
Kami semua langsung melihatnya dengan tatapan kaget tetapi kami juga berpikir bahwa itu adalah kemungkinan yang sangat masuk akal.
“Aku juga pernah mendengar bahwa Pak Wendy akan bertunangan.” Kata Tia.
“Haahh TUNANGAN! Sama siapa? Wanita tadi? Lalu aku…?” Aku pun jadi tertunduk sedih lagi.
“Tapi itu hanya gosip kok! Jadi, kita gak boleh ngomong yang aneh-aneh tentang Pak Wendy. apalagi dia itu atasan kita. Benarkan, Mi?” Tanya Tia.
Aku tersentak dan langsung menegakkan kepalaku yang tertunduk. Aku mengangkat kedua alisku sambil melihat Tia.
“Ehhmm, yang di katakan Tia itu benar. Kalian jangan bergosip tentang Pak Wendy. Kita kan cuma lihat kejadiannya sebentar, jadi kita gak boleh bicara yang aneh-aneh tentang hubungan mereka!” Kataku dengan cepat merespon Tia.
“Iya dehh, Ran. Kita gak akan gosipin Pak Wendy.” Kata Putra.
Aku mengangguk dan tersenyum pada mereka. Kami pun melanjutkan makan siang kami. Akhirnya, aku pun juga tidak bisa menghabiskan bekal yang aku bawa dan kembali ke ruangan dengan perasaan yang berat. Saat duduk di mejaku, aku meletakkan bekal itu diatas meja kemudian aku menatap layar monitor dan mulai membiarkan intusiku menjadi liar.
“Tunangan!? Benarkan Wendy akan bertunangan dengan seseorang? Dan bisa saja wanita itu memang calon tunangannya! Lalu bagaimana dengan hubungan kami nanti? Apakah kami akhirnya akan berpisah!? Aku tidak menginginkan itu! Aku benar-benar tidak menginginkannya!!!”
Saat itu, aku merasa seperti air mataku akan jatuh membasahi pipiku. Namun, semua pikiranku terhenti setelah Handphone-ku bordering. Ternyata yang menelponku adalah Ray.