Entah sejak kapan Tara bagaikan candu. Sesuatu yang aku butuhkan untuk tetap menjalani hidup sebagimana mestinya. Ia seperti petunjuk bagi ku untuk bagaimana aku melangkah selanjutnya.
Sebelum ia jadi bagian penting dalam hidupku, aku tak pernah bergantung pada siapapun. Aku bisa berdiri di atas kaki ku sendiri, melangkah dengan pasti tanpa ragu tanpa ada bayang-bayang orang lain yang menghantui. Aku bahkan bahagia-bahagia saja meski hidup ku bagaikan garis lurus.
"Dian jadi ya diskusi habis ini?" Lamunan ku buyar berganti wajah perempuan manis di samping ku yang mengajukan pertanyaan yang bahkan aku tak dengar apa yang ia tanyakan. Ia tersenyum baik hati kemudian kembali mengulang pertanyaan yang sebelumnya tak kudengar.
Ia bilang hari ini kami harus ada diskusi kelompok untuk tugas kami. Aku cuma mengangguk dan bersiap untuk sore nanti. Bagi ku yang kesulitan bersosialisasi, mengikuti diskusi kelompok merupakan hal yang sulit untuk di lakukan. Rasanya kurang nyaman berkelompok bicara satu sama lain dengan tatapan mata yang isi kepalanya berbeda-beda. Aku benci di hakimi dan benci memikirkan apa yang orang lain pikirkan pada ku.
Orang-orang mulai berdatangan dan duduk melingkar sembari menunggu yang lainnya. Kelompok ini terdiri dari 10 orang, cukup banyak yang akan melihat betapa canggungnya aku. Biasanya aku satu kelompok dengan Tara dan dengan baik hati menemani proses menyebalkan yang akan berlangsung. Ah mengapa Tara selalu saja terbesit dalam setiap lapisan kehidupan ku. Terlalu bergantungkah aku padanya, sebuah tanda tanya yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya.