Mendung pekat menyelimuti kota kelahiranku saat aku baru saja turun dari PO Bus Harapan Baru. Jika bukan karena sopirku yang ceroboh itu melakukan kesalahan, pasti aku tidak akan terlunta-lunta dengan naik Bus. Seharusnya aku naik pesawat dua hari lalu, malah ada kejadian tiket tertukar. Dan dia sedang asyik berlibur bersama istri juga anaknya. Hadeh, benar-benar semprul! Tapi tidak apa wes, aku sudah sangat senang karena menantikan saat ini. Aku hanya ingin menemui kekasihku dan akan segera melamarnya. Aku tersenyum saat melihatnya sedang berakting di dalam film. Dia sangat cantik dan imut. Sama seperti saat aku melihatnya waktu itu.
Usiaku masih 11 tahun dan aku tidak begitu banyak memiliki teman. Mereka mengucilkanku karena aku anak orang paling kaya di desa, sehingga mereka mikir yang nggak-nggak. Apalagi Bundaku yang sering sakit-sakitan, jarang bisa bermain denganku. Aku satu-satunya anak di dalam keluargaku. Katanya aku sempat memiliki kakak, tetapi sudah meninggal saat baru dilahirkan. Yang senang bermain denganku hanyalah anak perempuan saja. Jika ada anak laki-laki yang mau bermain denganku, aku harus memberinya sesuatu dulu. Aku sungguh pangeran yang malang.
Aku sering bersepeda sendiri menyusuri jalan desa yang jarang kendaraan lewat. Di sepanjang mata memandang, hamparan kebun teh akan mudah ditemui saat bertandang ke desaku. Karena aku tidak memiliki teman, aku lebih suka pergi ke rumah Pak Lek sama Bu Lek di kaki bukit. Entah kenapa aku jadi lebih senang menghabiskan waktuku bersama mereka. Apalagi mereka yang tak memiliki anak, membuatku lebih disayanginya. Namun, satu hal yang membuatku betah di sini adalah, karena ada anak perempuan yang membuatku penasaran. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti cinta, tapi memang anak itu sangat menarik hatiku. Setiap hari sepulang sekolah, aku selalu menyempatkan diriku untuk melihatnya di balik pagar dan pohon-pohon di sekitar rumahnya. Dia selalu bermain dan berbicara sendiri, seperti tidak memiliki teman. Sama sepertiku. Pelan-pelan, kugerakkan kakiku untuk mengendap-endap dan mengamatinya.
“Bocahe ruh aku neng kene. Tapi kok diem?” pikirku yang masih memperhatikannya. Bibirku mengembang. Aku mengelus dadaku yang berdebar-debar entah karena apa.
Seorang laki-laki tua tiba-tiba datang menegurku. Dia bertanya padaku mengapa memperhatikan cucunya. Entah mengapa bibirku langsung mengatakan kalau aku suka dan ingin berteman dengannya. Laki-laki tua itu memintaku masuk, lalu kami duduk di teras. Anak perempuan yang belum kuketahui namanya itu melihatku sekilas, meneruskan permainannya.
“Jadi namamu Rivaldo Ade. O, alah, putrane Pak Ade toh. Ya, ya. Ngerti.”
“Iya, Pak.”
“Panggil aku Kakek ae toh,” pintanya. Aku tersenyum dan memanggilnya Kakek. Dia baik sekali ternyata. Aku tidak pernah memiliki kakek. Yang ada nenek, itupun jauh sekali di Kalimantan.
“Yawis, Mas Aldo. Apa Sampean seneng tenanan sama cucu Kakek? Kuwi, Tiara. Hmmm?”
Aku hanya diam bingung dengan maksud seneng atau suka tidak tahu. Namanya juga anak kecil, yang ditahu hanya bermain dan jalan-jalan. Aku masih ingat waktu itu, aku masih menggigit kuku jari tanganku. Hehehe.
“Lek Sampean seneng tenanan, Sampean boleh dolanan sama Tiara. Tapi harus janji, nggak oleh buat Tiara nangis, di jaga sampe kapanpun. Ngerti?”
Aku mengangguk perlahan. Kakek juga memintaku menjadi kakak yang baik untuknya. Kakek memanggil Tiara kecil. Dia datang dengan membawa sepasang boneka pengantin. Dia juga mengatakan mau bermain denganku jika aku mau jadi ayah untuk boneka laki-laki miliknya.
“Yawes,” kataku. Tiara tersenyum senang seraya menggandeng tanganku untuk bermain ayah ibu di bawah pohon. Karena aku lebih senang dengan panggilan bunda, aku meminta boneka Tiara agar menjadi bunda. Diapun setuju.
Semenjak saat itu, aku dan Tiara berteman baik. Aku juga selalu pulang bersamanya saat sekolah, terus langsung menemaninya bermain. Bahkan aku mengajak Tiara naik sepedaku untuk bermain di kebun teh. Sikap Tiara yang cuek dan manja tetap membuatku menyukainya.
Siang itu, aku bermain lempar tangkap bola dengannya. Tak kusangka, Tiara adalah anak yang kuat. Bahkan lemparannya melibihiku yang terpaut 2 tahun darinya. Hingga bola yang dilemparnya melambung terlalu tinggi dan tidak sengaja menghantam kaca jendela rumah seseorang. Tiara menangis waktu itu, namun aku berusaha melindunginya. Meski aku harus mendapat ceramah dari Pak Lek dan Bu Lekku. Terserah, aku tidak peduli. Aku ingin Tiara baik-baik saja.
“Ayah, ayo jalan-jalan?!” pintanya menunjuk ke sepedaku.
“Moh. Sampean mengko nakal maneh.”
“Engko tak tumbasne es krim?” bujuknya.
Hadeh. Apa dia selalu menggodaku seperti ini? Ah. aku tetap keukeh tidak mau menurutinya. Namun pada akhirnya aku tidak bisa menahannya. Kuturuti dirinya untuk pergi ke lereng sungai, sedikit jauh dari desa. Dengan hati-hati, kukayuh sepedaku agar Tiara tidak sampai jatuh. Wajahnya begitu bahagia, membuatku senang melihatnya.
“Apa Sampean seneng?”
“Ayah seneng aku ya seneng.”
Lhah, bukannya kebalik ya?