Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #1

Empat Dinding dan Bintik Hitam

Udara di kamar Anindya terasa seperti bubur kental, setiap tarikan napas adalah perjuangan, sebuah pertarungan brutal yang ia tahu akan kalah. Sensasi tercekik itu bukan ilusi, seolah tangan tak kasat mata meremas tenggorokannya, membatasi oksigen, mengunci suaranya dalam keheningan yang memekakkan. Otaknya berteriak, memaksa paru-parunya bekerja, tapi tubuhnya mengkhianati. Bola matanya melebar, memantulkan ketakutan kosong dari langit-langit kamarnya yang putih. Lalu datang bintik-bintik hitam, pertama hanya beberapa, menari-nari di tepi pandangannya seperti debu kosmik, kemudian membesar, bertambah banyak, merayap memenuhi retinanya hingga seluruh dunia yang ia kenali tenggelam dalam kegelapan pekat. Sebuah jeritan tertahan, hanya bisikan samar yang lolos dari bibirnya yang membiru.

Ia ingat gema suara dokter terakhir, mengambang di telinganya seperti remah-remah kertas yang tak berarti. "Secara fisik, Putri sehat. Tekanan darah normal, fungsi jantung baik, tidak ada penyumbatan di saluran pernapasan. Mungkin ini ... kecemasan yang parah." Kecemasan. Sebuah kata yang terasa begitu remeh untuk mendeskripsikan neraka yang ia jalani selama dua tahun belakangan. Anindya Putri, yang dulu dijuluki "otak cemerlang keluarga", "harapan masa depan", kini meringkuk di tempat tidur, sebuah spesimen penderitaan yang tak terdiagnosis. Ia bukan lagi mahasiswi berprestasi, bukan lagi anak perempuan yang mampu menyelesaikan masalah dengan logika. Ia adalah simpul kusut antara rasa sakit fisik yang nyata dan tuduhan penyakit mental yang tak mampu ia bantah.

Malam itu, setelah serangan mereda dan napasnya kembali stabil, menyisakan kerongkongan yang perih dan kepala yang berdenyut, sang ibu masuk. Udara berat di kamar seketika terisi aroma kemenyan yang tajam, menusuk hidung Anindya, bercampur dengan bau minyak esensial yang biasanya ibu gunakan untuk ritual malamnya. Wanita paruh baya itu mengenakan batik lusuh, rambutnya yang sebagian memutih diikat seadanya. Wajahnya cekung, penuh kerutan yang tak hanya berasal dari usia, melainkan juga dari beban keputusasaan yang menggunung.

"Sudah baikan, Nak?" Suara ibunya serak, lebih dari sekadar bertanya, itu adalah pernyataan pilu tentang kegagalan.

Anindya hanya mengangguk pelan, terlalu lelah untuk berbicara, terlalu malu untuk mengakui ia hampir mati lagi. Tubuhnya terasa hampa, seperti seonggok daging yang baru saja dilemparkan ke daratan setelah berbulan-bulan terapung di laut.

Sang ibu meletakkan sekeranjang kecil berisi bunga melati, kembang kantil, dan sebatang dupa di meja samping tempat tidur. Ia menyalakan dupa dengan korek api, asap tipis membumbung, membawa serta aroma spiritual yang aneh ke dalam ruangan minimalis Anindya. Lampu kamar diredupkan, hanya menyisakan cahaya remang dari lampu tidur.

"Ibu sudah bilang, ini bukan penyakit biasa, Putri," ibunya berbisik, nadanya lebih kepada diri sendiri ketimbang kepada Anindya. Matanya menerawang, seperti melihat sesuatu yang tidak terlihat. "Dokter mana pun tidak akan menemukan apa-apa. Ini kiriman."

Kata "kiriman" melayang di udara, membawa serta beban sejarah dan takhayul yang telah lama mengikat keluarga mereka. Anindya pernah menertawakan itu. Dulu. Ketika ia masih berpijak pada dunia yang logis, dunia yang bisa dijelaskan dengan sains. Sekarang, ia tak lagi punya kekuatan untuk tertawa, bahkan untuk mencibir. Hanya ada kelelahan, dan ketakutan yang dingin.

"Bu," Anindya mencoba, suaranya parau, "Aku merasa seperti ada sesuatu di dalam diriku. Seperti ... parasit yang menggerogoti. Bukan kiriman."

Sang ibu menoleh, menatap Anindya dengan tatapan yang menyiratkan campuran kasih sayang dan kekesalan. "Kamu selalu begitu, Nindya. Selalu ingin menjelaskan segala sesuatu dengan akal. Tapi tidak semua hal bisa dijelaskan oleh akal, Nak. Apalagi yang seperti begini. Ini nyata. Ibu sudah temui Mbah Darmo, dan beliau bilang, ini ada yang tidak suka denganmu. Ada yang ingin melihatmu hancur."

Perkataan itu membuat bulu kuduk Anindya meremang. Bukan karena ia percaya pada "kiriman" atau Mbah Darmo, tapi karena ia tahu ia tidak akan bisa membantah. Ia sudah mencoba segalanya. Psikiater, neurolog, ahli gizi, bahkan hipnoterapi. Tak ada yang berhasil. Setiap terapi hanya membawanya kembali ke titik awal, terperangkap dalam siklus depresi yang gelap, episode mania yang berapi-api, dan serangan fisik yang tiba-tiba melumpuhkan.

"Aku hanya ingin sembuh, Bu," Anindya memejamkan mata, air mata mengalir dari sudut matanya, terasa panas di pelipis. "Aku capek begini terus. Aku merasa jadi beban bagi Bapak, bagi Ibu, bagi Rangga."

Lihat selengkapnya