Udara pagi di kamar Anindya masih terasa pengap, meskipun semalam jendela sempat ia buka paksa. Sisa aroma kemenyan dan minyak esensial ibunya masih menempel, bercampur dengan kelembapan lembab yang seolah-olah menggerogoti setiap permukaan. Kepalanya berdenyut-denyut, warisan dari pertengkaran ibunya dan Rangga, juga dari serangan tak kasat mata yang hampir merenggutnya semalam. Sebuah kantung mata hitam terlihat jelas di bawah matanya yang cekung, cerminan dari malam tanpa tidur. Ia mencoba bangkit, setiap gerakan terasa berat, seperti menarik jangkar dari dasar laut.
Ibu Anindya tidak lagi membahas "kiriman" atau "Mbah Darmo", seolah ingin menciptakan ruang aman yang rapuh. "Ibu buatkan teh hangat. Biar tenggorokanmu sedikit nyaman."
Anindya hanya mengangguk, menerima gelas teh itu. Kehangatan cangkir terasa menenangkan di tangannya yang dingin.
Buku-buku kuliah yang terbengkalai berserakan di lantai, tumpukan pakaian yang belum dilipat menumpuk di kursi, dan beberapa kotak kertas tak beraturan menumpuk di sudut. Kamar ini, yang dulunya adalah tempat rapi dan teratur Anindya, kini mencerminkan kekacauan batinnya.
Ibunya menghela napas, bukan dengan nada marah, melainkan penuh kepiluan. "Sudah lama Ibu tidak melihatmu merapikan kamar. Dulu, kamu selalu rajin sekali."
Anindya menyesap tehnya. "Aku ... tidak punya tenaga, Bu. Untuk bangun saja sudah sulit." Ia ingin menjelaskan lebih banyak, tentang bagaimana setiap tugas kecil terasa seperti mendaki gunung Everest, bagaimana setiap upaya menghasilkan kelelahan yang lebih parah. Akan tetapi, ia tahu ibunya tidak akan sepenuhnya mengerti.
"Mungkin kalau kamu merapikan kamar, suasana hatimu bisa sedikit membaik? Jangan terus-menerus terbaring. Lihat, debunya sudah tebal sekali di mana-mana.”
"Aku akan coba."
Senyum tipis, samar, tapi tulus, tersungging di bibir ibunya. "Nah, begitu dong, Nak. Jangan terus-menerus pasrah. Kamu harus kuat. Kamu adalah putri Ibu." Sang ibu mengusap puncak kepala Anindya, lalu perlahan keluar dari kamar, meninggalkan Anindya sendirian dengan gelas tehnya dan tumpukan debu yang menunggu.
Anindya menatap gelas teh di tangannya. 'Harus kuat'. Kata-kata itu terdengar hampa. Ia sudah mencoba sekuat tenaga, dan hasilnya selalu sama, terjatuh lagi, lebih dalam dari sebelumnya. Akan tetapi, kali ini, mungkin, hanya mungkin, sedikit gerakan bisa mengubah sesuatu. Minimal, mengalihkan perhatiannya dari bisikan-bisikan yang menghantuinya dan bintik-bintik hitam yang sesekali menari di tepi pandangannya.
Dengan enggan, Anindya meletakkan gelas teh kosongnya di meja. Ia mulai dengan tumpukan buku di dekat tempat tidur. Satu per satu, ia mengangkatnya, mengelap debu di bawahnya, dan menumpuknya dengan rapi di rak. Gerakan-gerakan itu terasa canggung dan asing bagi tubuhnya yang telah lama malas bergerak. Paru-parunya terasa sedikit sesak karena debu yang beterbangan, tapi ia memaksakan diri. Otaknya bekerja dengan lambat, mencoba mengklasifikasikan buku-buku itu, merasakan beratnya kertas di tangannya.