Kotak tua yang baru saja ia tarik dari bawah ranjang kini tergeletak di sampingnya, terbuka lebar, seperti sebuah luka lama yang menganga. Di dasarnya, buku tulis usang itu masih menampilkan judul yang ditulis dengan tulisan tangannya sendiri, "Petualangan Naruto & Sakura: Misi Desa Konoha". Namun, bukan lagi kehangatan nostalgia yang mendominasi. Kertas lusuh yang terselip, gambar pensil yang kasar tentang sosok laki-laki bayangan yang mencengkeram leher seorang gadis kecil, telah mengubah segalanya. Bisikan samar yang merambat dari kedalaman ingatannya, "Jangan beritahu siapa-siapa ...," terngiang lagi, membekukan darahnya.
Anindya menatap buku tulis itu, lalu gambar di sampingnya, pikirannya berpacu dalam lingkaran ketakutan. Siapa? Siapa sosok bayangan itu? Mengapa ingatan tentangnya terasa begitu berat dan menekan, seolah sehelai kain basah mencekik lehernya sendiri? Ia mencoba membuang pikiran itu, menepis bayangan gelap yang mulai merayap dari sudut-sudut kamarnya. Mungkin ia hanya salah tafsir. Mungkin itu hanya coretan acak anak kecil, imajinasi liar yang tidak berarti apa-apa. Dengan gemetar, ia meraih buku tulis tersebut, mencoba mencari penghiburan dalam halaman-halamannya yang familiar, memaksakan diri untuk membaca, untuk kembali ke dunia yang terasa aman.
Ia membuka lagi halaman-halaman yang dipenuhi tulisan tangan anak-anaknya. Setiap kata, setiap kalimat, adalah gema dari tawa dan impian yang telah lama terkubur. Ia melihat tulisan tangannya yang bulat dan kaku, bercampur dengan coretan Cahya yang lebih bebas dan imajinatif di pinggir halaman.
Bab 2: Misi ke Desa yang Tersembunyi
Naruto menggaruk kepalanya. "Desa Konoha yang tersembunyi? Apa maksudmu, Sakura-chan? Apa ada hantu di sana?"
Sakura memutar matanya. "Bukan hantu, bodoh! Kata Hokage, itu desa para ninja yang sangat kuat. Tapi desa itu hanya bisa ditemukan oleh orang-orang yang punya 'mata ketiga'!"
Naruto memekik. "Mata ketiga? Seperti yang Cahya selalu bilang dia punya itu? Wah, kalau begitu kita harus ajak Cahya! Dia pasti tahu jalannya!"
Anindya membaca kalimat itu, dan tiba-tiba, dunia di sekelilingnya memudar. Kamarnya yang pengap menghilang, digantikan oleh aroma tanah basah dan daun kering yang terbakar matahari. Suara deru kipas angin berubah menjadi bisikan angin yang melintasi pepohonan. Ia tidak lagi di ranjangnya, melainkan terlempar mundur, jauh ke masa lalu.
Ia sedang duduk di bawah sebuah pohon mangga tua di belakang gedung sekolah dasar mereka. Batang pohon yang kokoh dan keriput menjadi sandarannya, dedaunan lebat di atas kepalanya menyaring cahaya matahari menjadi bintik-bintik emas yang menari di tanah. Di sampingnya, Cahya Kartika kecil, dengan rambut kepang dua yang selalu agak berantakan dan mata hitam pekat yang memancarkan kecerdasan aneh, sedang menggambar sesuatu di pasir dengan ranting kayu.
"Kamu seriusan punya mata ketiga, Cahya?" Anindya kecil, dengan seragam SD yang sedikit kebesaran, bertanya, matanya menatap Cahya penuh kekaguman. Dia masih sangat polos, memercayai semua hal yang diceritakan Cahya, sahabatnya yang selalu dipanggil "anak aneh" oleh teman-teman lain.
Cahya tersenyum, senyum yang selalu membuat pipinya merona. "Tentu saja! Papa bilang, itu mata batin. Nenek bilang, itu mata yang bisa melihat chakra. Lihat! Ungu yang cantik, seperti bunga lavender yang mekar!"