Udara pagi yang dingin dan sepi, aroma desinfektan yang menusuk hidung, serta suara langkah kaki perawat yang terburu-buru, menyambut Anindya di koridor klinik. Sebuah harapan tipis, rapuh, tetapi begitu gigih, kini menuntunnya kembali ke tempat ini. Setelah pencerahan yang menyakitkan di balik lembaran fanfiction lamanya, setelah merasakan korelasi yang tak terbantahkan antara ingatan dan rasa sakit, Anindya merasa ia tidak lagi sekadar pasien yang menderita tanpa tahu penyebabnya. Ia memiliki teori, sebingkai peta luka yang samar, dan ia berharap para profesional medis dapat membantunya mengurai benang kusut itu.
Anindya bangkit dengan langkah gontai, mengikuti perawat yang ramah tapi tampak lelah itu ke ruang periksa. Di sana, Dokter Rina, seorang wanita paruh baya dengan kacamata berbingkai tipis dan ekspresi yang selalu tenang, menyambutnya.
"Seperti biasa, Dokter. Tapi ... kali ini ada yang berbeda. Saya rasa saya mulai menemukan pola," ia memulai, suaranya sedikit bergetar karena campuran harapan dan ketakutan.
Dokter Rina mengangguk, matanya masih terpaku pada layar tablet.
"Sensasi tercekik itu, dan bintik hitam di mata saya," Anindya menjelaskan, sedikit lebih bersemangat. "Saya rasa itu bukan hanya serangan panik atau gejala Bipolar. Saya rasa ... itu semua terkait dengan ingatan saya."
Dokter Rina mengangkat pandangannya, menatap Anindya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ingatan?"
"Ya. Akhir-akhir ini, setelah saya menemukan beberapa barang lama, beberapa kenangan masa kecil muncul. Dan setiap kali kenangan itu sangat jelas, atau berhubungan dengan sesuatu yang membuat saya merasa tidak nyaman saat itu, gejala fisik saya kambuh. Rasa tercekik ini, terutama, seolah ... seolah ada tangan yang mencekik saya lagi," Anindya berusaha keras menjelaskan, berharap dokter ini akhirnya akan mendengarkan.
Dokter Rina mencatat sesuatu di tabletnya. "Mhm. Saya mengerti. Ini fenomena yang tidak asing dalam psikosomatik, Anindya. Pikiran dan tubuh memang saling terkait erat.”
“Saya rasa ada sesuatu yang lebih spesifik. Sesuatu yang tersembunyi," Anindya bersikeras, frustrasi mulai merayapi nadanya. Ia merasa seolah bicaranya melayang tanpa didengar.
“EKG, pemeriksaan tiroid, CT-scan kepala ... semua hasilnya normal. Bahkan dokter spesialis THT dan mata juga tidak menemukan kelainan fisik yang signifikan. Apa yang Anda rasakan adalah nyata bagi Anda, saya tidak meragukannya.”
"Bukan begitu maksud saya," Dokter Rina memperbaiki. "Tubuh Anda sangat sensitif terhadap stres psikologis."