Anindya merasakan gejolak dalam perutnya, lebih karena firasat buruk daripada rasa lapar. Aroma gurih rendang yang seharusnya membangkitkan selera makan, kini justru terasa menyesakkan. Setiap makan malam di meja besar keluarga ini selalu terasa seperti arena gladiator. Rangga, kakaknya, selalu siap dengan pedang kritiknya yang tajam. Ibunya, dengan perisai keputusasaan yang dihiasi jimat-jimat kecil, akan mengayunkan tuduhan mistisnya. Dan Ayah, yang kini duduk di kursi roda di ujung meja, hanya akan menatap kosong, tubuhnya yang dulu kokoh kini luluh lantak oleh stroke, suaranya terenggut, seolah ia adalah penonton bisu dari kehancuran keluarganya sendiri.
Makan malam bukan lagi ritual kebersamaan, melainkan "sidang keluarga" yang tak terhindarkan, putusan selalu jatuh pada dirinya.
Anindya duduk di kursinya, berusaha menelan suapan nasi. Tenggorokannya terasa kaku. Keheningan yang tercipta bukan keheningan damai, melainkan jeda sebelum badai. Ia bisa merasakan tatapan Rangga yang membakar dari seberang meja. Kakaknya itu selalu menganggap semua penderitaannya sebagai kelemahan, sebuah penolakan untuk "berjuang". Anindya tahu, pembelaannya di klinik tadi pagi, tentang "pola" dan "ingatan", hanya akan dianggap sebagai dalih.
Rangga meletakkan sendoknya di atas piring dengan suara yang lebih keras dari yang seharusnya. "Anindya," panggilnya, nadanya datar tapi penuh tekanan. "Sampai kapan kau akan terus seperti ini?"
Anindya mengangkat kepalanya, mencoba terlihat tenang. “Kayak gimana, Kak?”
"Dokter sudah bilang semua organmu sehat. Kau cuma butuh kemauan. Kau cuma butuh minum obatmu dengan teratur, ikut terapi, dan berhenti berhalusinasi tentang 'pola-pola' omong kosong itu."
"Aku tidak berhalusinasi, Kak. Aku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku," Anindya membalas, suaranya sedikit meninggi. "Bukankah itu yang kalian semua inginkan? Aku ingin sembuh."
Ibu, yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk piringnya, akhirnya ikut bicara. "Sembuh itu butuh iman, Nindya. Bukan cuma mencari-cari alasan di masa lalu. Kau tahu, kan, ini semua dimulai sejak kau berteman dengan dia. Gadis aneh itu."
Jantung Anindya berdesir. Kata "dia" yang tak perlu disebut namanya itu, Cahya, selalu menjadi bayangan gelap di setiap percakapan mereka.
"Cahya tidak ada hubungannya dengan semua ini, Bu!" Anindya berseru, kepalanya terasa berdenyut. "Dia sahabatku!"
Rangga mendengus. "Sahabat? Sahabat macam apa yang membuatmu jadi seperti ini? Ingat dulu, sebelum kenal dia, kau tidak pernah punya masalah sekonyol ini. Kau anak paling cerdas di sekolah. Kau masa depan keluarga. Sekarang? Sekarang kau cuma ... beban."
Kata "beban" melesat dan menancap tepat di ulu hati Anindya. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa menipis, seperti saat ia dulu merasakan sensasi tercekik. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, kukunya menekan telapak tangannya sendiri. Rasa sakit fisik itu, walau kecil, memberinya pegangan. Itu nyata. Bukan halusinasi.
"Kakak tidak tahu apa yang kurasakan!" Anindya hampir berteriak.