Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #6

Jejak Digital Pertama

Bab 6 : Jejak Digital Pertama

Anindya mengetikkan nama itu di bilah pencarian, "Cahya Kartika." Jari-jemarinya gemetar. Bukan karena takut akan apa yang akan ia temukan, melainkan karena getaran aneh yang menjalar dari tekad yang baru ia rasakan. Layar laptop memantulkan cahaya dingin, menerangi wajahnya yang tegang. Ia menarik napas dalam, memejamkan mata sesaat, lalu mengembuskannya perlahan, seolah sedang bersiap menghadapi badai.

Tekan tombol enter.

Lusinan, lalu ratusan, hasil pencarian muncul. Sebagian besar adalah profil media sosial yang tidak relevan, tautan berita tentang seniman lokal, atau artikel blog acak. Anindya menyaringnya satu per satu, matanya menari di atas barisan teks dan gambar, mencari petunjuk sekecil apa pun.

Ada sebuah grup Facebook bernama "Angkatan 2017 – SMP Pelita Bangsa", dengan gambar profil logo sekolah yang sudah usang. Jantung Anindya berdebar lebih kencang. Ia mengklik tautan itu, tangannya berkeringat dingin.

Halaman grup itu terbuka, memperlihatkan kolase foto-foto masa lalu yang membanjiri dindingnya. Wajah-wajah remaja yang canggung, senyum-senyum kikuk, seragam putih-biru yang kebesaran. Setiap gambar adalah pecahan mozaik dari masa lalu yang ia coba lupakan, masa lalu yang kini memaksanya untuk melihatnya lagi. Ada Rizky yang dulu sering menjahilinya, ada Tania yang selalu mengejek pakaiannya, ada Budi yang hanya mendekat jika ia butuh uang saku. Rasa mual menjalar di perut Anindya.

Sensasi tercekik yang akrab itu mulai muncul lagi, membelit lehernya, tidak terlalu kuat, hanya berupa lilitan halus yang mengingatkan akan ancaman yang tersembunyi. Ia mengabaikannya, terus menelusuri. Ia bukan lagi gadis kecil yang pasrah. Ia adalah seorang wanita yang mencari kebenaran, bahkan jika itu menyakitkan.

"Cahya, mana kau?" bisiknya pada layar.

Ia mulai meninjau satu per satu nama anggota grup. Ada ratusan. Ia tahu ini akan memakan waktu, mungkin berhari-hari. Akan tetapi, ia tidak punya pilihan lain. Tekadnya sudah bulat. Setiap kali ia melihat sebuah nama yang dikenalnya, ada dorongan aneh, campuran antara kerinduan dan ketakutan.

Kemudian, sebuah foto menarik perhatiannya. Itu adalah foto grup. Bukan foto kelas, melainkan foto ekstrakurikuler majalah dinding sekolah, diambil di depan perpustakaan. Cahya ada di sana, di barisan depan, dengan senyum tipis yang selalu misterius, rambutnya yang panjang tergerai di bahu. Di sampingnya, Anindya melihat dirinya sendiri, jauh lebih muda, matanya berbinar penuh semangat, dan ... di belakangnya, berdiri seorang anak laki-laki dengan tatapan licik yang familiar.

Anindya mengerjapkan mata. Wajah anak laki-laki itu. Siapa dia? Ada sesuatu tentang tatapannya, cara ia sedikit menyeringai, yang membuat Anindya merasa tidak nyaman. Jeda sejenak, bintik hitam mulai menari di tepi penglihatannya, sedikit, seperti kabut tipis. Ini selalu terjadi ketika ingatan yang tidak menyenangkan mencoba merangsek masuk.

Ia menggeser kursor ke wajah Cahya, lalu ke wajahnya sendiri, berhenti sesaat di sana. Ia ingat bagaimana ia selalu merasa harus tampil sempurna, agar disukai, agar diterima. "Agar tidak diganggu," gumamnya, suaranya tercekat. Setiap kenangan kecil itu seperti tusukan jarum yang tajam, menusuk kulit tipisnya.

Melihat foto itu, ia teringat sebuah percakapan. Bukan percakapan yang jelas, lebih seperti gema, bisikan dari masa lalu yang jauh.

"Nindya, kau mau ikut kumpul majalah dinding lagi hari ini?" Suara riang Cahya.

"Tentu saja! Kita kan harus selesai dengan cerita ninja kita!" Anindya membalas, semangatnya meluap.

"Tapi ... ada yang lain di sana." Cahya sedikit mengerutkan kening, matanya menatap ke arah belakang, di mana anak laki-laki itu berdiri. Cahya selalu punya cara unik dalam melihat hal-hal.

Lihat selengkapnya