Raungan iblis yang selalu bersembunyi di balik senyum paling akrab. Menimbulkan ketakutan.
Anindya menjerit. Bukan suara yang keluar dari tenggorokannya yang tercekat, melainkan jeritan yang meledak di dalam kepalanya, memecah kesunyian malam di kamarnya. Laptop terlempar dari pangkuannya, menabrak lantai dengan debuman keras yang terasa seperti tabuhan gong di telinganya. Layarnya retak, memancarkan cahaya kematian dari pantulan wajah yang baru saja ia lihat, wajah yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Bintik hitam itu kini bukan lagi sekadar bintik. Mereka adalah samudera kegelapan yang menelan penglihatannya, seolah matanya sendiri menutup akses ke dunia nyata, mencegahnya melihat kebenaran yang terlalu mengerikan untuk diterima. Ia terhuyung mundur, punggungnya menabrak dinding dingin. Napasnya terengap-engap, paru-parunya menuntut oksigen yang tak kunjung datang. Tangannya mencengkeram lehernya sendiri, mencoba melawan cekikan tak kasatmata yang terasa begitu nyata, begitu kuat, persis seperti bayangan tangan besar yang baru saja melintas dalam benaknya.
"Tidak... tidak mungkin..." bisiknya dengan serak, tenggelam di antara degup jantungnya yang memekakkan telinga. Air mata mengalir deras, bukan air mata kesedihan, melainkan teror murni, ketakutan yang merayap dari relung terdalam jiwanya. Ini bukan halusinasi bipolar. Ini bukan kutukan. Ini adalah ingatan yang terkunci, ingatan yang kini mendobrak gerbang pertahanan terkuat yang pernah ia bangun.
Pria itu. Sosok yang selalu ia percayai. Sosok yang selama ini dianggapnya sebagai figur paman, keluarga, salah satu orang terdekat yang selalu ada untuknya dan Rangga. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin senyum ramah itu, tawa hangat itu, menyembunyikan kegelapan yang begitu menjijikkan?
Otaknya memberontak, mencoba mendorong kembali ingatan itu ke jurang amnesia. Tidak, tidak mungkin. Dia adalah orang baik. Dia selalu ada untuk keluarga. Dia yang membantunya saat ia jatuh. Dia yang selalu memberikan nasihat.
"Bohong! Ini bohong!" Ia membentak pada kegelapan di dalam benaknya. "Ini hanya halusinasiku! Penyakit ini membuatku gila!"
Namun, cekikan itu semakin menguat. Bintik hitam itu semakin pekat. Tubuhnya tidak berbohong. Tubuhnya, dengan setiap nyeri dan sesaknya, adalah saksi bisu dari kengerian yang mencoba ia tolak. Ia teringat kata-kata Cahya, meski Cahya belum mengucapkannya, "Mungkin tubuhmu sedang mencoba menceritakan sesuatu yang mulutmu tidak bisa katakan." Tubuhnya berteriak, meronta, memaksa Anindya untuk mendengarkan.
Ia merosot ke lantai, lututnya lemas. Kepala Anindya menunduk, bersandar pada dinding dingin. Pikirannya melayang, kembali ke foto itu, ke wajah pria itu yang tersenyum bangga di samping Hendra. Hendra, anak laki-laki dengan tatapan licik yang dulu membuatnya merinding di kantin. Apakah mereka terkait? Apakah Hendra adalah pion? Atau hanya kebetulan?
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Anindya membenamkan wajahnya di antara lututnya, menangis histeris. Ia tidak menangisi masa lalu yang hilang, melainkan kenyataan pahit bahwa ia telah hidup dengan monster di sekelilingnya, dan ia bahkan tidak menyadarinya. Ia telah membiarkannya berkeliaran bebas di dalam ingatannya sendiri.
Suara-suara lain mulai berbisik di benaknya, sisa-sisa percakapan yang samar, potongan-potongan adegan yang tidak lagi masuk akal, kini perlahan menemukan tempatnya.
"Nindya, jangan bilang siapa-siapa, ya. Ini rahasia kita. Rahasia orang dewasa." Suara itu. Suara yang hangat, menenangkan, kini terdengar dingin dan menjijikkan.
"Kau kan anak pintar. Jangan membuat Mama dan Papa sedih, oke?"
Dan Anindya, gadis kecil yang polos dan naif, akan mengangguk, menyimpan rahasia itu di tempat terdalam hatinya, mengira ia sedang melakukan hal yang benar. Mengira ia sedang melindungi keluarganya.
"Aku begitu bodoh," gumamnya, mencengkeram rambutnya sendiri. "Bodoh sekali!"
Ia mengingat bagaimana ia selalu berusaha menjadi sempurna, tidak menjadi beban, tidak membuat masalah. Seperti "mesin ATM berjalan" yang rela mengeluarkan uang agar disukai, ia rela menelan penderitaan agar tidak menimbulkan keributan, agar tidak membuat orang dewasa yang ia cintai kecewa. Bukankah itu yang terjadi? Ia membiarkan dirinya dimanfaatkan, dicintai dengan cara yang salah, karena ia terlalu takut untuk tidak disukai.
Matanya masih berkedip, mencoba mengusir bintik-bintik hitam yang sesekali muncul. Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, tetapi ketika ia membukanya lagi, retakan di layar laptopnya yang tergeletak di lantai masih menjadi saksi bisu.
"Aku harus menceritakannya pada seseorang," pikirnya. "Aku harus."
Tangannya gemetar saat meraih ponselnya. Siapa? Siapa yang akan percaya? Rangga? Kakaknya yang pragmatis itu akan langsung menyalahkan penyakit mentalnya, menganggapnya halusinasi. Ibu? Ibunya akan langsung mengaitkannya dengan kutukan, dengan roh jahat, dan semakin jauh dari kebenaran. Ayah? Ayah sedang sakit, tidak mungkin ia membebani ayahnya dengan horor ini.
Ia melihat daftar kontaknya. Teman-teman lama? Apakah mereka akan mendengarkan? Atau justru menganggapnya gila, seperti yang lain? Ia teringat bagaimana teman-temannya di SMP dulu, meski memanfaatkannya, juga sering mengoloknya di belakang. Apakah mereka akan percaya cerita yang jauh lebih gelap ini?