Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #8

Kiriman WhatsApp

Yang dipaksakan, mengundang kengerian yang lebih dalam dari jurang mana pun yang pernah ia bayangkan. Tidak. Ini tidak mungkin. Otaknya menolak. Paru-parunya menolak. Setiap serat dalam tubuhnya memberontak terhadap gambar yang kini tertanam di benaknya, sebuah gambar yang begitu mengerikan sehingga ia ingin mencabut penglihatannya sendiri. Ayahnya? Tidak, tidak mungkin. Ayahnya yang sakit, yang terbaring lemah, yang selalu ia pandang sebagai pelindung dan panutan. Mustahil. Ingatan ini salah. Ini adalah bualan otak yang sakit, buah dari penyakit bipolar yang selama ini menggerogoti kewarasannya.

Anindya menggeram, mencengkeram kepalanya sendiri. Rasa sakit berdenyut-denyut di pelipisnya, seolah ada palu godam yang menghantam dari dalam. Ia ingin menghapus ingatan itu, mencabutnya seperti rumput liar yang tumbuh di taman. Ia ingin berteriak, mengusir bayangan itu dari benaknya, tetapi suaranya tercekat, hilang ditelan gelombang teror yang mendera.

"Bukan ... bukan dia ...," bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, mencoba memaksakan logika pada kengerian yang tak masuk akal. Ini adalah hasil dari kelelahan, stres, dan mungkin obat-obatan yang ia konsumsi. Ya, itu saja. Ia harus fokus. Ia harus mencari Cahya. Cahya adalah kunci untuk memahami "kutukan" ini, bukan untuk menambahkan lapisan horor lain yang tak termaafkan.

Pikirannya melayang, mencari jangkar. Ia harus mengalihkan fokusnya dari jurang mengerikan itu. Laptop retaknya masih menyala, memancarkan cahaya redup di kegelapan kamarnya. Ia menatap daftar kontak di grup alumni SMP itu lagi. Hendra. Pria itu ada di foto bersama Ayah. Akan tetapi, apa hubungan mereka? Dan siapa Hendra? Apakah hanya kebetulan dia ada di sana?

Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih memekakkan telinga. Nama-nama di daftar itu berbaris, deretan bayangan dari masa lalu yang ia kira sudah terkubur. Teman-teman. Orang-orang yang dulu ia kenal. Apakah salah satu dari mereka bisa memberinya petunjuk tentang Cahya? Atau, lebih penting lagi, tentang dirinya sendiri?

Tangannya bergetar saat ia menggeser layar, memindai nama-nama. Sebuah nama menarik perhatiannya, Karina. Karina, gadis yang dulu selalu tertawa renyah, yang selalu menempel padanya saat ia mentraktir, tetapi menjadi orang pertama yang akan membicarakannya di belakang. Rasa mual menjalar di perutnya. Mengapa Karina?

Tiba-tiba, sebuah dorongan aneh muncul di benaknya. Bukan dorongan kebaikan, melainkan semacam keinginan untuk mengonfrontasi, untuk mencari tahu. Mungkin Karina, dengan segala keculasannya, bisa memberikan potongan ingatan yang ia lewatkan. Atau mungkin, hanya mungkin, ia butuh validasi bahwa ia bukanlah satu-satunya yang menyimpan luka dari masa lalu itu.

Anindya mengklik nama Karina. Profilnya muncul. Senyum ceria, foto-foto liburan yang mewah. Tidak ada jejak gadis SMP yang licik dan memanfaatkan. Waktu memang mengubah segalanya, pikir Anindya pahit. Ia melihat ada opsi untuk mengirim pesan pribadi. Jari-jemarinya ragu, melayang di atas tombol. Apa yang harus ia katakan? "Hai, ingat aku? Anindya yang bipolar dan sakit-sakitan, yang dulu sering kau manfaatkan?" Tentu saja tidak.

Ia mengetik dengan hati-hati. "Hai Karina, ini Anindya. Lama tidak bertemu. Aku menemukan namamu di grup alumni dan teringat masa SMP kita." Kalimat klise, hambar, jauh dari gejolak di dalam dirinya. Ia menekan kirim sebelum ia sempat menariknya kembali.

Pesan terkirim. Detik-detik berlalu, terasa seperti jam. Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi muncul. Karina telah membaca pesannya. Hati Anindya gelisah. Lalu, Karina mengetik.

"Hai Nindya! Astaga, aku hampir tidak percaya ini kamu! Apa kabar? Lama banget ya nggak ketemu. Kamu ke mana aja?" Balasannya terdengar ramah, mungkin terlalu ramah. Nada ceria itu justru membuat Anindya curiga. Karina yang ia kenal adalah seniman drama yang ulung.

Lihat selengkapnya