Suara itu berbisik dari kegelapan, "Kau tidak akan pernah bisa lari dariku, Anindya. Kau tidak akan pernah bisa."
Suara itu, tanpa wajah, tanpa bentuk, tapi begitu nyata, mengalir seperti racun dingin melalui setiap saraf Anindya. Tangan yang mencekik itu memang tak terlihat, tetapi tekanan di tenggorokannya adalah realitas yang brutal. Bintik hitam menari-nari, bukan lagi penglihatan perifer, melainkan tirai yang menutup dunianya. Udara mengkhianatinya, menolak masuk ke paru-paru yang mendamba. Ia menggeliat, tubuhnya menegang di atas kasur, seolah melawan hantu yang bersemayam di antara serat-serat kasur. Otaknya menjerit, memohon untuk sadar, untuk bangun, tapi ia terperangkap di antara batas realitas dan mimpi buruk yang tak kunjung usai. Kemudian, kegelapan mengambil alih, menjanjikan pelarian sesaat yang seringkali berujung pada kelelahan yang lebih parah.
Saat ia kembali ke kamarnya, secangkir teh di tangan, ia melihat laptopnya masih terbuka. Gambar-gambar lama, profil media sosial teman-teman sekolah, dan tab pencarian yang belum tertutup, semuanya terpampang jelas. Tekad yang membara semalam, yang mendorongnya untuk menggali masa lalu, kini terasa tumpul oleh kepenatan fisik dan emosional. Namun, sesuatu dalam dirinya menolak menyerah. Rasa sakit fisik ini, bintik hitam yang mengganggu pandangannya, suara-suara tanpa bentuk yang berbisik dalam kegelapan – ia tidak akan membiarkannya menjadi penjara abadi. Ia akan menemukan jawaban, apa pun risikonya.
Anindya duduk di kursi, tangannya memegang cangkir teh yang hangat, matanya kembali tertuju pada layar laptop. Ia tahu ia harus melanjutkan. Setiap ingatan yang menyakitkan adalah bagian dari puzzle. Setiap sensasi tercekik adalah petunjuk. Setiap bintik hitam adalah jejak. Ia menggeser kursor, mencari nama lain, mencoba merangkai kembali benang-benang persahabatan yang putus dari masa lalu.
"Anindya!"
Suara Rangga, berat dan penuh ketidaksabaran, memecah keheningan rumah. Anindya tersentak, laptopnya hampir jatuh dari pangkuannya. Ia belum sempat menutup tab-tab itu. Rangga berdiri di ambang pintu kamarnya, bahunya yang lebar mengisi seluruh kusen, wajahnya mengeras. Matanya menyapu kamar, berhenti pada laptop yang terbuka lebar.
"Apa lagi yang kamu lakukan?" tanyanya, pelan tapi mengandung ancaman. Ia masuk ke dalam, langkahnya tegas. "Berapa kali harus kubilang? Jauhi itu semua! Kamu hanya menggali kuburan sendiri."
Anindya menelan ludah, tenggorokannya terasa semakin sakit. "Aku ... aku tidak menggali apa-apa, Kak. Aku hanya mencari."
"Mencari apa?" Rangga tertawa sinis. "Mencari pembenaran atas semua penyakitmu? Mencari kambing hitam, Anin? Begitu?"
Kata-kata Rangga menghantamnya, menusuk tepat di ulu hati. Ia tahu Rangga lelah. Ia tahu seluruh keluarga lelah. Akan tetapi, Rangga tak pernah berusaha memahami.
"Bukan kambing hitam," bantah Anindya, sedikit bergetar. "Aku hanya mencoba mengerti apa yang terjadi padaku. Dokter tidak punya jawaban. Ibu dengan dukunnya juga tidak."