Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #10

Sebuah Nama di Pameran Seni

Setelah Rangga pergi, meninggalkan hawa dingin dan aroma kemarahan yang pekat di udara, Anindya kembali duduk. Pergelangan tangannya masih terasa nyeri, sebuah pengingat fisik yang menusuk akan perebutan kendali yang baru saja terjadi. Kata-kata Rangga ‘beban,’ ‘menolak sembuh,’ ‘menggali kuburan sendiri’ berputar-putar di telinganya, masing-masing adalah jarum yang menusuk kepercayaan dirinya.

Namun, kali ini, rasa sakit itu tidak berhasil melumpuhkannya. Sebaliknya, hal itu berfungsi sebagai jangkar, mengikatnya pada tekad yang baru ditemukan. Jika Rangga melihatnya sebagai kegilaan, biarlah. Jika keluarga melihatnya sebagai kutukan, biarlah. Ia akan menemukan kebenaran, bahkan jika ia harus menempuh jalan yang paling gelap dan paling sepi.

Ia menatap layar laptopnya. Upaya pencarian sebelumnya mencari melalui daftar alumni sekolah dasar yang samar-samar atau melalui koneksi pertemanan Facebook yang sudah usang telah menemui jalan buntu. Pencarian itu hanya membuahkan rasa sakit emosional yang ter somatisasi, memicu serangan sesak napak dan bintik hitam tanpa memberinya petunjuk konkret.

Dia menyadari bahwa dia mencari Cahya di tempat yang salah. Dia mencari Cahya si Anak Sekolah Dasar yang Trauma, bukan Cahya si Wanita Dewasa yang Melarikan Diri. Anak yang dijuluki ‘indigo’ dan ‘aneh’ oleh lingkungannya pasti telah menciptakan jalan hidup yang berbeda, jauh dari konvensi yang diharapkan keluarga Anindya.

Anindya membuka tab baru. Jari-jarinya mengetik, kali ini bukan dengan nama spesifik teman seangkatan, melainkan dengan kategori yang lebih luas, sebuah hipotesis yang muncul dari pemahamannya akan Cahya masa lalu Cahya yang membangun dunia imajinatif untuk bertahan hidup.

Ia memasukkan kata kunci Cahya Kartika, seni, lukisan, galeri. Dia mencari jejak kreativitas, karena bagi Anindya, imajinasi liar Cahya adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan keduanya saat itu.

Hasil pencarian pertama masih buram, beberapa profil media sosial dengan nama yang sama, beberapa blog tanpa foto wajah. Anindya menghela napas, bersiap untuk kegagalan yang menyakitkan, saat tiba-tiba, sebuah tautan muncul di halaman kedua hasil pencarian Google. Tautan itu mengarah ke sebuah situs berita lokal dari sebuah kota yang cukup jauh, bertanggal tiga tahun lalu.

Judulnya berbunyi: "Pameran ‘Bayangan dan Batas’: Mengupas Kecemasan Generasi Muda melalui Seni Visual."

Jantung Anindya berdebar. Dia mengklik tautan itu. Halaman itu memuat artikel yang panjang, memuji sekelompok seniman muda yang karyanya dianggap "provokatif dan introspektif." Dia menggulir ke bawah, mencari daftar nama yang berpartisipasi. Tangannya gemetar di atas trackpad.

Dan di sana, di antara tiga nama seniman lainnya, tertera jelas, Cahya Kartika.

Anindya menahan napas. Ini bukan Cahya yang samar-samar. Ini adalah nama lengkap, terikat pada profesi nyata, terikat pada sebuah lokasi nyata Galeri Seni Purbaya di kota sebelah. Sebuah titik terang yang kecil, tetapi terasa seperti matahari yang menembus kegelapan kamarnya yang selama ini ia anggap sebagai sangkar.

Kegembiraan itu tiba-tiba dipotong oleh sensasi yang sudah akrab, tekanan di lehernya. Kali ini tidak sekuat serangan panik, melainkan lebih seperti peringatan, sebuah getaran tajam yang mengatakan, 'Kau mendekati bahaya. Mundur.' Bintik-bintik hitam muncul di tepi pandangannya, tapi Anindya mengabaikannya. 

Lihat selengkapnya