Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #11

Dunia yang Tak Terucap

Anindya menatap alamat email kurator itu, sebuah jembatan yang tipis menuju Cahya Kartika. Di belakang nama kurator itu tersemat nama Galeri Seni Purbaya, sebuah tempat yang jauh, modern, dan sama sekali tidak berhubungan dengan debu dan bau apak sekolah dasar mereka yang hancur.

Dia berusaha fokus, tetapi tekanan di lehernya tidak mau hilang. Rasanya seperti ada tangan yang mencekik perlahan, bukan untuk membunuhnya, tetapi untuk memastikan bahwa dia tidak bisa mengeluarkan suara,sebuah gema fisik dari adegan yang baru saja ia ingat, bersembunyi di balik kursi, mendengar suara yang lembut, yang terlalu ia kenal.

Kini, Anindya tahu dia sedang menulis bukan hanya kepada Cahya, tetapi juga kepada seorang saksi. Seorang saksi yang mungkin tidak mengerti apa yang ia saksikan, tetapi yang berada di sana, di ambang lubang hitam ingatannya.

Dengan hati-hati, ia menyusun kalimat. Ia harus menghindari kata-kata seperti ‘kutukan,’ ‘Bipolar,’ atau ‘hantu.’ Ia harus terdengar normal, seorang teman lama yang merindukan persahabatan.

Kepada Yth. Kurator Galeri Purbaya,

Perkenalkan, saya Anindya Putri, teman lama Cahya Kartika dari masa sekolah dasar. Saya menemukan nama Cahya dalam katalog pameran Anda yang bertajuk 'Bayangan dan Batas'. Saya sangat mengagumi karya Cahya.

Anindya berhenti sejenak. Kata-kata itu terasa kosong dan formal. Dia menghapus kalimat terakhir dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih jujur, tetapi tetap terkendali.

Kami sudah terpisah sejak lama dan saya sangat berharap bisa menyambung kembali silaturahmi. Saya sedang mengalami masa sulit, dan saya percaya berbicara dengan Cahya mungkin bisa membantu saya memahami beberapa hal dari masa lalu. Jika Cahya bersedia dihubungi, saya mohon kiranya Bapak/Ibu Kurator dapat menyampaikan pesan saya ini.

Tangan Anindya gemetar saat dia menekan 'Kirim'. Ini adalah kain kafan kerentanan yang ia kirimkan ke dunia maya, bergantung pada belas kasihan orang asing.

Begitu email itu terkirim, benteng pertahanan Anindya runtuh. Sensasi tercekik itu kembali, memaksanya menenggelamkan diri di bantal. Kali ini, ia tidak melawan. Ia membiarkan ingatan itu menariknya kembali ke lorong sekolah yang sepi, ke masa lalu yang penuh dengan debu dan kengerian yang tak terucap.

Kilas Balik, Dunia yang Tak Terucap

Anindya kecil,usia sekitar sepuluh tahun, rambutnya diikat dua,berlari. Bukan lari riang gembira seperti anak-anak lain saat jam istirahat. Dia lari dengan panik, paru-parunya sakit, dan kakinya tersandung di ubin lorong sekolah yang dingin. Suara yang ia dengar di balik kursi,suara lembut dari sosok yang ia percayai,telah mencabik-cabik realitasnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan ketakutan yang tiba-tiba, dingin, dan kental itu.

Dia terus berlari sampai menabrak sesuatu yang keras dan rapuh.

"Aduh!"

Itu Cahya. Cahya Kartika. Rambutnya selalu sedikit acak-acakan, matanya besar dan selalu tampak melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Dia sedang duduk di dekat dinding belakang gudang sekolah, menggambar di atas kertas lusuh dengan pensil yang patah.

Anindya jatuh tersungkur. Dia tidak menangis. Anak-anak yang menangis akan menarik perhatian, dan perhatian adalah hal terakhir yang ia butuhkan saat itu.

Cahya menatapnya. Matanya yang gelap memindai wajah Anindya yang pucat, bibirnya yang bergetar, dan lehernya yang terasa panas.

"Kenapa kamu lari?" tanya Cahya, suaranya pelan dan tidak menghakimi. Pertanyaan yang aneh, karena Cahya tidak bertanya, "Apa yang terjadi?"

Anindya tidak bisa menjawab. Dia tidak tahu apa yang terjadi.

Cahya mengangguk, seolah jawaban itu sudah cukup. Dia kemudian menunjuk ke sudut gudang yang gelap, tempat tumpukan sapu dan kain pel basah diletakkan.

"Arwah itu sedang menatapmu," kata Cahya, dengan nada yang sama saat ia mendiskusikan PR matematika. Tidak ada rasa takut atau sensasi, hanya pengamatan fakta.

Lihat selengkapnya