Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #12

Galeri Seni dan Email Harapan

Anindya terbatuk, meraih segelas air dingin di meja nakas dan menenggaknya dengan tergesa-gesa. Sensasi cekikan itu mereda menjadi nyeri tumpul yang menjalar dari pangkal leher hingga ke rahangnya. Bintik hitam di matanya,tirai abu-abu yang selalu menari saat ia tertekan,perlahan-lahan mundur, memperlihatkan kembali kamar tidurnya yang diselimuti debu dan cahaya sore yang suram.

Laptopnya terbalik, layarnya menghadap lantai. Anindya tidak peduli dengan rasa sakit di sikunya, ia hanya peduli dengan apa yang baru saja ia lihat. Itu bukan serangan panik biasa. Itu adalah gema, sebuah kaset yang diputar ulang di lehernya. Sebuah cincin perak. Bau tembakau dan detergen.

Ia membalik laptop itu kembali, matanya langsung tertuju pada satu nama di keterangan foto pameran, Bintang Prakasa.

Anindya meneliti lukisan itu sekali lagi. Lukisan surealistik yang gelap, menampilkan wajah seorang pria dengan garis rahang yang tegas. Di lehernya, bayangan yang menyerupai memar. Lukisan itu berteriak. Lukisan itu adalah pengakuan, sebuah peta visual yang sangat spesifik tentang rasa sakit yang ia coba lupakan. Tapi siapa yang melukisnya?

Ia mencoba mencari koneksi. Bintang Prakasa. Nama itu tidak membangkitkan ingatan masa lalu, tidak seperti nama Cahya atau Rangga. Ia bukan teman sekolah. Ia bukan guru. Ia bukan . siapa pun yang Anindya kenal. Kecuali, ia kenal Cahya.

Hasil pencarian membanjiri layar, artikel-artikel seni yang memuji 'kedalaman emosional' Bintang dan 'penggambaran kejujurannya akan sisi gelap manusia'. Ia menemukan kutipan dari Bintang,

"Karya saya, 'Gema Senyap', adalah eksplorasi bagaimana trauma yang tidak terucap dapat mewujudkan dirinya secara fisik. Leher dalam lukisan itu adalah simbol dari suara yang dibungkam, sebuah pengakuan yang harus disembunyikan agar pelakunya dapat tetap hidup normal."

Anindya membaca kalimat itu berulang kali. Keringat dingin membasahi punggungnya. Pelaku yang 'tetap hidup normal'.

Apakah Bintang Prakasa adalah Pelaku Pelecehan itu sendiri? Atau apakah Bintang adalah seniman yang terinspirasi oleh kisah Cahya?

Atau mungkinkah ...

Mungkinkah Cahya Kartika, si gadis 'indigo' yang melarikan diri dari label gila, telah menggunakan bahasa seni untuk menceritakan rahasia yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata?

Anindya teringat Cahya di lorong sekolah, mengubah kengerian yang tak berbentuk menjadi 'arwah anak kecil yang tersesat'. Cahya, sang benteng pertahanan, yang selalu memfilter realitas brutal menjadi dongeng yang bisa ia terima.

Jika Cahya tahu, kenapa dia tidak memberitahuku?

Rasa panik mulai menyelinap. Anindya baru saja mengirimkan email, menjangkau Cahya, memohon bantuan. Ia telah memberikan alamat emailnya, sebuah jembatan yang kini terasa seperti jebakan. Jika Bintang Prakasa terhubung dengan pelaku, dan Cahya terhubung dengan Bintang, bukankah ini berarti Anindya sedang berjalan langsung ke sarang laba-laba?

Ia meraih ponselnya, berniat membatalkan email yang baru terkirim beberapa menit lalu. Namun, tangannya berhenti di udara. Apa gunanya? Ketakutan ini, rasa sakit ini, semua telah mengikatnya pada Cahya. Bahkan jika Cahya berbahaya, ia tetap satu-satunya kunci yang tersisa.

Aku harus tahu. Aku harus melihat wajah Cahya. Aku harus mendengar penjelasannya.

Keputusasaan pasif Anindya telah lama pergi, digantikan oleh dorongan adrenalin yang sinis. Ia telah menerima diagnosis Bipolar, menerima tuduhan kutukan, dan menerima rasa sakit. Sekarang, ia tidak lagi mencari penyembuhan. Ia mencari kebenaran, seberapa pun mengerikannya itu.

Ia menutup laptop, menyandarkannya ke dinding. Sekarang, yang tersisa hanyalah menunggu balasan dari kurator. Atau dari Cahya sendiri.

Keheningan kamar terasa memekakkan. Setiap jarum jam yang berdetak di luar, setiap suara motor yang melintas, terasa seperti gonggongan anjing di kejauhan, mengawasi mangsa yang terperangkap.

Dua jam berlalu. Anindya mencoba membaca buku, tapi huruf-hurufnya menolak untuk membentuk kalimat. Ia mencoba tidur, tetapi setiap kali matanya terpejam, ia melihat kilauan cincin perak itu. Ia tidak bisa diam.

Ia bangkit dan berjalan ke dapur untuk mengambil air, bergerak seolah tubuhnya terbuat dari kaca rapuh. Di meja dapur, ia menemukan Dimas sedang makan mi instan, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius.

Dimas, adiknya. Pendiam, tapi tegas. Sosok yang selalu tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya.

"Kakak baik-baik saja?" tanya Dimas, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Lihat selengkapnya