Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #13

Menunggu

Anindya menatap subjek email itu, seolah kata-kata yang tercetak di layar bisa membakar matanya. Subjek, Re, Anindya Putri? Pesan dari Kurator.

Bunyi notifikasi itu telah memecah keheningan malam yang sunyi, tapi kini keheningan itu kembali, jauh lebih pekat dan berat. Seluruh keberanian yang ia kumpulkan selama berminggu-minggu, semua analisis dan kode yang ia pecahkan dari fanfiction kuno, kini terasa sia-sia di hadapan satu klik mouse yang menentukan.

Ia menarik napas panjang, menahan rasa tercekik yang mendadak kembali, seolah ada tangan yang melilit tenggorokannya. Ia menekan tombol Enter.

Email itu formal dan singkat, dikirim oleh seorang asisten kurator Galeri Purbaya bernama Renata. Tidak ada kehangatan, hanya profesionalisme yang dingin.

Yth. Ibu Anindya Putri,

Terima kasih atas email Anda. Kami telah menyampaikan pesan Anda kepada Cahya Kartika mengenai keinginan Anda untuk menjalin kembali kontak setelah sekian lama. Cahya mengakui nama Anda dan menyatakan bahwa ia terbuka untuk komunikasi. Namun, sebagai kebijakan pribadi, ia meminta agar semua kontak pribadi diatur olehnya sendiri, di waktu dan tempat yang ia tentukan.

Ia meminta kami meneruskan email ini dan menyampaikan bahwa ia akan menghubungi Anda secara pribadi dalam waktu dekat. Mohon tunggu, dan terima kasih atas minat Anda pada karya seni Cahya.

Hormat kami,

Renata - Asisten Kurator

Anindya membaca kalimat terakhir itu tiga kali, ia akan menghubungi Anda secara pribadi dalam waktu dekat.

Gelombang kelegaan membanjirinya. Dia tidak ditolak. Dia tidak salah alamat. Cahya ada, dan Cahya merespons. Dia tidak dikutuk, dia sedang dipanggil. Itu adalah kemenangan kecil, tetapi tapierasa kolosal setelah sekian lama hidup dalam isolasi dan keraguan diri.

Namun, kelegaan itu segera berganti menjadi ketegangan. Apa artinya "waktu dekat"? Besok? Minggu depan? Atau saat ia sudah kembali ke lubang hitam keputusasaannya?

Anindya menutup laptop. Akan tetapi, setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Rasa tercekik di lehernya, yang sempat mereda oleh adrenalin pencarian, kini kembali dengan irama yang menakutkan, seperti detak jam yang diatur oleh kecemasan murni.

Ia mulai berjalan mondar-mandir. Empat langkah ke jendela. Empat langkah kembali ke pintu. Setiap kali ia menyentuh kenop pintu, ia membayangkan Rangga berdiri di luar, menatapnya dengan pandangan menghakimi, atau Ibunya sedang berdoa di altar kecil di ruang tengah, meminta kutukan itu diangkat.

Aku harus pergi. Aku harus bergerak.

Tapi pergi ke mana? Keluar dari rumah berarti menghadapi dunia yang menuntutnya untuk "sembuh," yang tidak mengerti bahwa ia harus menggali luka lama untuk bisa membersihkannya. Ia terikat pada email yang akan datang, pada kontak yang akan menjadi penentu apakah ia akan menemukan kebenaran atau kembali jatuh ke dalam kekacauan.

Ia meraih ponselnya, berniat mengirim pesan kepada Dimas, hanya untuk mendapatkan validasi bahwa ia tidak gila. Tapi Dimas sudah tidur, dan Anindya tidak ingin mengganggu kedamaian adiknya. Dimas sudah memberikan restunya yang dingin, dan itu sudah cukup. Kini, ini adalah pertarungan pribadinya.

Lihat selengkapnya