Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #14

Anindya Putri?

Gedoran di pintu terdengar bahkan belum genap satu detik setelah nama Cahya muncul di layarnya. Itu bukan ketukan ragu-ragu. Itu adalah gedoran khas Rangga, tajam, otoriter, dan tidak sabaran.

Anindya masih tergeletak di lantai, napasnya tersangkut di tenggorokan. Ponsel tergenggam erat seolah itu satu-satunya pelampung di lautan. Rasa tercekik itu perlahan surut, digantikan oleh adrenalin dingin yang menusuk. Ia harus bergerak, sekarang juga. Kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik kabut tebal ingatannya baru saja mengirimkan undangan. Rangga tidak boleh merusak kesempatan ini.

Ia melesat berdiri, buru-buru menjejalkan ponsel ke saku belakang celananya. Koper yang baru setengah terisi teronggok di sudut, terabaikan. Dengan sisa-sisa tenaga, ia memasang wajah datar, mencoba mengabaikan denyut perih di lehernya.

“Anindya! Aku dengar suara jatuh. Kamu baik-baik saja?” Suara Rangga dari balik pintu terdengar lebih seperti interogasi daripada kekhawatiran. Ada nada frustrasi di sana.

“Iya, Kak Rangga. Aku cuma ... menjatuhkan buku,” jawab Anindya. Suaranya sedikit serak, tapi ia berhasil membuatnya terdengar stabil.

“Buka pintunya.” Itu perintah, bukan permintaan.

“Aku baru mau tidur. Ada apa, sih?”

Hening sejenak. Anindya bisa membayangkan kakaknya berdiri di sana, menganalisis setiap jeda dalam suaranya. Rangga adalah pria logis, terlatih untuk mencari pola, dan ketidakstabilan Anindya adalah pola yang paling ia benci.

“Tiga malam lampumu nyala terus, Anin. Kamu tahu apa kata dokter soal pola tidur, ‘kan? Berhenti gali lubang kelinci yang nggak ada isinya dan fokus pada dirimu.”

“Justru ini caraku fokus, Kak. Aku sedang mencari solusi untuk diriku sendiri,” balas Anindya. 

Kata-katanya sengaja dibuat berlapis, makna yang ia tahu tak akan pernah bisa ditembus oleh logika kakaknya. Rangga si keras kepala. 

“Terserah. Aku tidak mau berdebat. Tapi besok pagi, aku pastikan obatmu masuk. Jangan coba-coba membuangnya lagi,” ancam Rangga. 

Suara langkah kakinya yang berat perlahan menjauh, kembali ke ruang keluarga. Pertempuran di luar mereda, menyisakan Anindya dengan medan perang yang bergemuruh di dalam dirinya.

Klek. Pintu dikunci. Waktunya sempit. Cahya bilang lusa, pukul 10 pagi. Ia punya kurang dari 48 jam untuk kabur dari sangkar emas ini.

Ia menarik koper, asal melempar beberapa potong pakaian, dan yang terpenting, ia mengambil dua buku pusakanya, buku catatan tebal yang menjadi Diary Bipolar-nya dan novel fanfiction Naruto yang usang, peta hidupnya. Keduanya ia selipkan di dasar koper.

Tiba-tiba ia berhenti. Ponsel. Cahya memberinya nomor WhatsApp, tapi ia harus menelepon. Ia butuh mendengar suaranya. Memastikan bahwa ini adalah Cahya yang ia kenal, bukan hantu pembawa kutukan seperti kata keluarganya, bukan pengkhianat yang selama ini menghantui mimpi buruknya.

Jari Anindya gemetar saat menekan tombol panggil. Nada sambung itu seperti jembatan waktu, menghubungkannya kembali ke masa lalu yang ia pikir telah hangus terbakar.

Tiga dering. Lalu sebuah suara menjawab. Tenang, dalam, dan dewasa. Bukan lagi suara anak kecil yang riang dan penuh fantasi, tapi resonansinya masih sama. Masih mematikan.

Lihat selengkapnya