Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #15

Perjanjian di Bawah Atap Kaca

Udara di ruang makan pagi itu terasa seperti kaca tipis yang siap retak. Bau kopi pahit dan asap rokok yang samar dari Rangga, ritual paginya yang kaku, terasa menyesakkan. Anindya melangkah masuk, setiap gerakannya terukur. Semalam ia tidak tidur, otaknya merancang kebohongan berlapis-lapis, sebuah benteng pertahanan untuk melancarkan pelarian.

Rangga tidak mengangkat kepala dari tabletnya, tapi Anindya tahu ia sedang diawasi. Di seberangnya, Dimas, adiknya, mengaduk sereal dalam mangkuk dengan gerakan monoton, ujung sendoknya beradu pelan dengan keramik. Suara itu, tik, tik, tik, seperti detak bom waktu.

“Laptopmu semalam berisik,” kata Rangga tanpa basa-basi. Itu bukan pertanyaan, melainkan tuduhan. “Kau minum obatmu?”

“Iya,” jawab Anindya, suaranya sengaja dibuat datar. Kebohongan pertama hari itu terasa seperti menelan kerikil. “Aku hanya … tidak bisa tidur.”

Dimas melirik sekilas dari balik poninya, tatapannya tajam dan penuh selidik, sebelum kembali menunduk. Ia selalu tahu lebih dari yang ia katakan.

Rangga akhirnya meletakkan tabletnya dengan satu gerakan tegas. Matanya, yang selalu terlihat lelah dan menghakimi, mengunci Anindya. “Jangan bohong, Anin. Aku dengar kau mengetik seperti orang gila. Kau mencari lagi hal-hal aneh di internet? Hantu? Arwah?”

Anindya menarik napas, memanggil semua sisa kekuatannya. Ini adalah panggungnya. Ia harus memainkan perannya dengan sempurna.

“Aku mencari Cahya,” katanya, menatap lurus ke mata Rangga.

Nama itu jatuh seperti batu ke dalam keheningan. Rahang Rangga mengeras. Dimas berhenti mengaduk serealnya.

“Kita sudah selesai dengan topik itu,” desis Rangga. “Gadis itu racun. Pemicu. Sejak kau kembali menghubunginya, semua gejala lamamu kambuh. Kau mau sembuh atau tidak?”

“Justru karena aku mau sembuh,” balas Anindya, nadanya diatur agar terdengar seperti sebuah pencerahan yang putus asa. “Mungkin kau benar, Rangga. Mungkin dia memang pemicu. Tapi mungkin … dia juga kunci untuk mengakhirinya.”

Dimas hampir tersedak. Rangga menatapnya seolah ia baru saja mengaku telah menjual jiwanya.

“Kunci untuk apa? Kembali ke fase manik? Berhenti mencari-cari alasan di luar dirimu sendiri, Anin. Masalahnya ada di kepalamu.”

“Dan aku akan mengeluarkannya dari kepalaku,” Anindya mencondongkan tubuhnya ke depan, kini bergetar karena emosi yang dibuat-buat. “Aku akan pergi. Lusa.”

“Pergi?” Rangga tertawa sinis, sebuah suara serak yang kering. “Pergi ke mana? Kau pikir ini liburan? Kau bahkan tidak bisa pergi ke minimarket tanpa merasa tercekik.”

“Ke Kota Z. Aku menemukan sebuah program terapi,” Anindya menjeda, lalu menjatuhkan bomnya, “alternatif.”

Ia tahu kata itu akan memicu reaksi. Bagi Rangga, ‘alternatif’ adalah sinonim dari ‘penipuan’. Akan tetapi, bagi orang lain di ruangan itu, kata itu adalah harapan.

Benar saja, Ibu muncul dari dapur, wajahnya yang selalu muram kini sedikit cerah. Ia pasti mendengar dari tadi. “Terapi alternatif? Seperti apa, Nak? Pembersihan energi?”

Anindya menoleh pada ibunya, mengabaikan Rangga yang mendengus jijik. “Iya, Bu. Semacam itu. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang kenalan. Katanya, energi negatif yang selama ini mengikutiku, yang mungkin dibawa oleh Cahya, harus diputus secara fisik di tempat yang netral.”

Ini adalah mahakaryanya. Sebuah kebohongan yang dirancang untuk dua audiens yang berbeda. Untuk ibunya, ini adalah jawaban spiritual. Untuk Rangga, ini adalah omong kosong yang bisa ia toleransi jika itu berarti ketenangan di rumah.

“Ya Tuhan, akhirnya,” bisik Ibu, matanya berkaca-kaca. “Akhirnya kau sadar, Nak. Kutukan itu harus dibuang.”

Rangga memijat pangkal hidungnya, terpojok. Ia membenci setiap kata yang keluar dari mulut Anindya, tetapi melawan Ibu saat sedang dalam mode spiritualnya sama saja dengan mencoba memadamkan api dengan bensin.

“Aku tidak percaya omong kosong ini,” geramnya. “Tapi kalau ini bisa membuatmu berhenti mengoceh soal hantu, terserah. Aku antar.”

Lihat selengkapnya