Pintu gerbong berdesis dan terkatup rapat, seperti rahang besi yang menelan Anindya bulat-bulat. Hiruk pikuk Stasiun Timur lenyap seketika, menyisakan dengung di telinganya dan detak jantung yang memukul-mukul rusuknya. Kereta tersentak, mulai merayap maju. Sebelum Anindya sempat menarik napas, sebuah tangan mencengkeram lengannya.
Cahya.
Ia menarik Anindya menyusuri lorong sempit, langkahnya cepat dan tanpa ragu. "Terus jalan. Jangan lihat ke belakang," desisnya, suaranya rendah dan mendesak, hampir tertelan derit roda kereta di atas rel.
"Cahya, apa ….”
"Aku melihatmu di peron, Anin. Aku lihat wajahmu setelah mengirim pesan itu," potong Cahya, matanya awas memindai setiap wajah yang mereka lewati. "Kau hampir pingsan. Jika aku menyapamu di sana, di tengah keramaian, kau akan membeku. Kita tidak punya waktu untuk itu."
Nama panggilan itu, 'Anin', terasa ganjil sekaligus akrab di lidahnya setelah dua puluh tahun. Cahya mendorongnya ke sepasang kursi kosong di dekat jendela. Mereka duduk tepat saat kereta menambah kecepatan, mengubah pemandangan kota menjadi sapuan kuas yang buram. Mereka benar-benar telah pergi.
Anindya menatap sahabat masa kecilnya. Rambut cokelat tebalnya diikat seadanya, beberapa helai jatuh membingkai wajah yang tampak lelah tapi tajam. Blus linen zaitun dan jins belel, sangat berbeda dari Cahya yang ia kenang, yang selalu penuh warna dan aksesori aneh. Tapi matanya … mata itu masih sama. Seolah mampu menembus lapisan kulit dan melihat langsung ke dalam jiwa yang gemetar.
"Bagaimana kau tahu aku akan panik?" bisik Anindya, serak. Sensasi tercekik itu mulai merayap lagi di tenggorokannya, sisa-sisa kebohongan yang baru saja ia kirimkan pada Rangga.
Cahya mencondongkan tubuhnya, tatapannya menusuk. "Aku tidak perlu jadi indigo untuk melihatnya, Sakura. Itu ada di seluruh tubuhmu. Tanganmu gemetar, napasmu tertahan. Aku tahu persis apa yang kau rasakan, karena aku pernah melihatnya dulu." Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimat itu meresap. "Kebohongan terakhirmu untuk Rangga … apa itu?"
Anindya memeluk tasnya erat-erat, satu-satunya benda nyata di dunia yang terasa berputar. "Terapi pembersihan energi. Empat hari. Di luar kota."
Sebuah senyum tipis, tanpa kehangatan, terukir di bibir Cahya. "Bagus. Kebohongan yang puitis. Empat hari. Itu cukup. Cukup untuk menemukan sumber energi busuk yang sebenarnya."
Napas Anindya akhirnya terasa sedikit lebih lega. Kereta telah meninggalkan batas kota, meluncur di antara hamparan sawah yang hijau dan sunyi. Kebebasan ini terasa liar, sekaligus sangat berbahaya.
"Aku mulai ingat sesuatu, Cahya," kata Anindya pelan, mencoba menyusun kepingan teka-teki di kepalanya. "Gejala fisikku … itu bukan kutukan. Itu semacam peta."
Kilat tertarik melintas di mata Cahya. "Teruskan."
"Bintik hitam di mataku … muncul setiap kali aku merasa dipermalukan, diawasi. Seperti saat para perundung menatapku. Penglihatanku memudar karena malu," Anindya menyentuh lehernya tanpa sadar. Kulit di sana terasa dingin. "Tapi rasa tercekik ini … ini yang paling parah. Rasanya seperti ada tangan sungguhan di sana. Aku selalu mengira ini karena perasaan tidak berharga, tapi sekarang aku tidak yakin. Tidak ada memori spesifik yang terhubung dengannya. Hanya … kosong."
"Pikiranmu berbohong untuk melindungimu, Anin. Tubuhmu tidak bisa," sahut Cahya, suaranya terdengar seperti seorang terapis yang lelah menghadapi pasien yang sama selama bertahun-tahun. "Setiap kali kau mendekati jurang ingatan itu, tubuhmu memutar ulang adegannya. Bukan ingatannya, tapi sensasi fisiknya. Itu alarm."
"Jadi, semua ini … Bipolar, serangan panik … hanya gema dari sesuatu yang bahkan tidak kuingat?"
"Hipotesisku begitu," Cahya menatap pantulan wajahnya di jendela yang gelap. "Kita berdua hidup dari gema. Bedanya, dulu aku membungkusnya dengan cerita hantu dan cakra. Kita masih anak-anak, Anin. Kita menciptakan fiksi agar kenyataan lebih mudah ditelan." Ia kembali menatap Anindya. "Fanfiction Naruto kita … itu bukan cuma cerita. Itu tempat kita menyembunyikan kekuatan kita. Aku ingat, kita paling sering menulis setelah kau mulai terlihat sangat ketakutan, tapi tidak pernah mau cerita apa yang terjadi."
Anindya merasakan perutnya melilit. Ia ingat masa-masa itu. Dunia yang tiba-tiba terasa penuh ancaman, dan Cahya datang dengan perisai ajaibnya.
"Kenapa kau jadi seniman?" Anindya mengalihkan topik, sedikit menjauh dari tepi jurang yang menyakitkan itu.
Cahya tertawa kecil, suara yang kering. "Karena aku lelah dilabeli. 'Indigo', 'Aneh', 'Anak Gila'. Seni adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa jadi sensitif tanpa harus menjelaskan apa yang kulihat pada orang lain." Ia menghela napas. "Kita tidak jauh beda. Kau lari ke lubang hitam di ingatanmu. Aku lari ke cat minyak dan kanvas."
Keintiman percakapan ini terasa begitu nyata, seolah dua puluh tahun tidak pernah ada.
"Jadi, kita mau ke mana?" tanya Anindya. "Kau bilang studimu di Kota Z."
Cahya meraih tas punggungnya, mengeluarkan sebuah peta lecek dan buku sketsa. "Aku berbohong, Anin. Aku harus memastikan tidak ada yang bisa melacak kita." Suaranya berubah serius, hampir berbisik. "Kita tidak akan ke Kota Z. Misi kita hanya bisa dimulai dari satu tempat."