Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #17

Perjalanan Kereta

Tombol merah itu terasa dingin di ujung jari Anindya, namun memantik panas yang membakar di dadanya. Jantungnya berdetak tak karuan, seolah ingin melompat keluar dari rongga rusuk. Berbohong pada Rangga, bohong sebesar itu, dengan risiko setinggi langit, sungguh melelahkan. Setiap kata adalah senjata emosional yang dilepaskan tanpa ragu. Keheningan dari ujung sambungan Rangga yang terputus bagai jeda napas, sementara rasa sakitnya justru semakin merajam. Ia berhasil lolos. Untuk saat ini.

Saat bus itu meraung keluar dari kegelapan terowongan panjang, cahaya lampu jalanan yang sporadis bagai pukulan strobo brutal di mata Anindya. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, memejamkan mata. Rasa tercekat di lehernya, yang tadinya murni karena ketakutan akan terbongkarnya kebohongan kepada Rangga, kini berubah menjadi ketegangan otot yang persisten. Alarm internalnya, nyala api trauma yang tak pernah padam, kini berkobar lebih terang, meski ancaman eksternal sudah ia bungkam.

"Kau hebat sekali dalam akting putus asa," komentar Cahya, suaranya rendah, serak, tenggelam dalam desis ban di aspal. 

Ia tidak mengucapkan selamat, hanya menatap Anindya dengan tatapan yang tajam, seolah seorang navigator yang baru saja melewati badai kecil, memverifikasi kembali arah. Di matanya ada campuran kekaguman dan rasa sakit yang mendalam, seolah ia melihat jejak Anindya yang hilang di balik benteng kebohongan yang ia bangun.

"Sayangnya, kamu memang benar-benar putus asa," lanjut Cahya. "Dan empat hari kebebasan ini kamu beli dengan pertaruhan terbesar."

"Aku tidak mau mengambil risiko lebih jauh," bisik Anindya, tangannya menggosok-gosok lehernya yang terasa nyeri, seperti memar yang tak terlihat. "Rangga tidak akan pernah memberiku kelonggaran. Aku harus melemparnya ke skenario mistis yang dia yakini sendiri, bahwa semua ini tentang Cahya Kartika, si pemicu kutukan, dan sekarang aku mencoba membersihkan energi."

Cahya tertawa kecil, tawa yang kali ini lebih otentik, tapi getir. "Aku benci betapa efektifnya kebohongan yang dibangun di atas prasangka. Itu seperti kompromi yang licik. Kamu memberinya fantasi, sementara kita mengejar kebenaran."

Bus itu melaju tanpa henti, perlahan meninggalkan jejak peradaban modern. Jendela yang bergetar hanya memantulkan wajah buram Anindya dan Cahya, kontur gelap mereka seolah hantu yang beriringan dalam kegelapan. Pemandangan di luar hanyalah ilusi hitam yang melesat, ditelan oleh hutan sunyi dan perkebunan karet yang membentang.

Anindya menyandarkan dahi ke kaca jendela yang dingin. Pantulan itu adalah dirinya, tapi sekaligus bukan. Wanita rapuh yang dulu terperangkap tanpa suara, kini menjelma menjadi buronan yang berani menipu demi jawaban. Perubahan ini menyakitkan, tapi tak terhindarkan.

Ia menyentuh ponselnya, dingin dan mati. Lubang hitam itu kini tahu ia sedang datang. Rangga hanyalah gangguan. Musuh sebenarnya ada di balik lubang itu.

"Lima jam lagi," gumam Anindya, lebih pada dirinya sendiri. Ia berusaha mengatur napasnya yang terasa sesak. "Leherku kembali kencang, Cahya. Tapi ini aneh. Rasanya berbeda. Bukan rasa takut yang datang tiba-tiba. Ini seperti tekanan yang stabil, perlahan tapi pasti, seperti tali yang dikencangkan."

Cahya mengangguk. "Tentu saja. Di stasiun tadi, pemicunya adalah ancaman Rangga, konflik eksternal. Sekarang, kita benar-benar terisolasi, hanya kita berdua, menuju zona bahaya utama.”

"Aku tahu kau bukan pemicu kutukan," kata Anindya, kalimat itu terasa asing, tapi membebaskan. "Aku menyadarinya saat menemukan kembali fanfiction kita. Aku mencarimu bukan untuk menyalahkanmu, tapi mencari ... artefak persahabatan kita. Kamu adalah perisai mental yang kubutuhkan, bukan iblis."

"Kamu mencari Cahya yang diciptakan untuk membuat trauma itu bisa dihadapi," sambung Cahya, matanya menembus kegelapan di dalam bus. "Dunia Naruto kita, dunia chakra dan ninja, itu adalah fiksi kolektif yang kita buat agar tidak perlu berhadapan dengan kebenaran yang kejam. Aku bilang ada 'arwah' anak kecil menangis di kelas? Itu hanya interpretasi anak delapan tahun terhadap disosiasi yang kamu alami. Kita hanya anak-anak, Anin. Kita tidak punya bahasa klinis. Kita hanya punya hantu."

Cahya menggenggam buku sketsa kecilnya. "Itu berarti kamu telah melepaskan stigma keluarga. Itu langkah terberat. Mencari aku adalah mencari izin untuk percaya pada dirimu sendiri, pada peta luka di lehermu."

Anindya terdiam, membiarkan makna kata-kata itu meresap. Bertahun-tahun ia habiskan untuk mencari pembenaran klinis, menyalahkan diri sendiri, atau bahkan menyalahkan Cahya, seperti yang diinginkan keluarganya. Padahal, jawabannya selalu ada dalam narasi sederhana yang mereka ciptakan saat kecil.

"Kalau begitu," Anindya menarik napas dalam, detak jantungnya yang kini mulai tak menentu ia coba kendalikan. "Mari kita kembali ke Desa Konoha yang sebenarnya. Aku ingin tahu apa yang membuat ninja terbaik Konoha (merujuk pada diriku di fanfiction) lari dan menyembunyikan memori itu hingga sakit di usia dua puluh tiga tahun."

Cahya tersenyum samar. "Kau yakin akan menghadapi trauma yang memakan lebih dari separuh hidupmu ini sendirian? Sekolah itu seperti sarang lebah. Ingatan akan muncul di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat."

"Kita tidak punya waktu untuk mencari," potong Anindya, nadanya mendesak. "Rangga akan bergerak cepat. Begitu dia curiga, dia akan melacak posisiku dan menarikku kembali ke 'terapi' yang sesungguhnya. Aku hanya punya malam besok, Cahya.”

*

Mereka sudah jauh dari jangkauan kota besar. Kepalanya berdenyut. Bintik-bintik hitam di penglihatannya kini muncul lebih sering, seperti gerombolan serangga yang menari di depan retina. Ini adalah respons somatik yang ia kenali, tanda bahwa alam bawah sadarnya bersiap untuk terekspos, seolah jutaan pasang mata mengawasinya.

"Hampir sampai," kata Cahya, melipat peta jalan kota yang lusuh. "Terminal kita sebentar lagi. Kita harus bersiap jalan kaki. Jalur bus ke arah sana jarang beroperasi malam hari."

Perasaan ini mirip gejala maniknya, bergejolak, tetapi terfokus, didorong oleh energi yang menghancurkan diri sendiri.

"Ceritakan lagi tentang hari itu, Cahya," pinta Anindya. "Hari kita dihukum karena menendang pintu toilet keramat itu. Mungkin aku bisa menangkap gema, detail tersembunyi dalam ingatanmu."

Cahya menoleh, ekspresinya hati-hati. "Aku sudah bilang, itu kabur bagiku. Aku ingat amarahmu. Amarah yang begitu besar sampai kamu menangis sambil tertawa. Kita menendang pintu kayu tua itu berulang kali sampai gurunya datang."

"Tapi aku tidak ingat mengapa," sela Anindya, frustrasi. "Sesaat sebelum itu, aku ingat aku bersembunyi. Di mana? Aku hanya ingat gelap, di balik sesuatu yang berat. Lalu, sebuah lompatan. Tiba-tiba aku ada di depan toilet bersamamu, Cahya. Aku penuh amarah. Seolah aku baru saja berlari sangat jauh, atau baru saja dibebaskan."

Cahya menarik napas. "Lompatan itu. Disosiasi. Bagian dirimu yang melarikan diri saat peristiwa itu terjadi. Mungkin saat itu, aku melihatmu dalam kondisi seperti arwah, Anin. Tubuhmu ada di sana, tapi pikiranmu telah melayang keluar. Aku melihat 'chakra', Anin. Tapi itu bukan energi. Itu mungkin hanya wujud kebingunganku akan realitas di wajahmu."

Bus berhenti mendadak di terminal kecil. Hanya ada dua lapak warung remang-remang yang sudah tutup dan bangku semen yang dingin. Tidak ada siapa pun selain mereka dan beberapa sopir truk yang merokok di kejauhan.

"Terminal terakhir," kata Cahya. "Saatnya jalan kaki."

Mereka melangkah turun. Dinginnya udara malam langsung menggigit kulit, membuat Anindya bergidik. Bau tanah basah dan karet alam menusuk hidungnya. Jauh di kejauhan, hutan karet yang membentang luas tampak seperti jurang tak berdasar. Di sanalah letak sekolah dasar lama mereka, tersembunyi, terisolasi. Sebuah situs trauma yang telah ditelantarkan.

Cahya mengeluarkan dua jaket tebal dan menyerahkannya pada Anindya. "Ini sekitar dua jam berjalan di jalan setapak. Sekolah itu di belakang area permukiman pekerja yang sudah sangat tua. Kita tidak akan bertemu siapa-siapa di jalan. Hanya kegelapan dan keheningan."

Mereka mulai berjalan, meninggalkan gemerlap terakhir lampu terminal. Setiap langkah Anindya di jalan setapak yang kasar terasa semakin berat. Kebebasan dari Rangga dan keluarganya tak lagi manis, kini digantikan oleh rasa tercekik fisik yang mengancam.

Mereka berjalan dalam keheningan yang lama, hanya diinterupsi gemerisik daun kering dan bunyi jangkrik. Setelah hampir satu jam, jalan setapak berubah menjadi jalur semen retak. Udara terasa berbeda, bau kayu lapuk, debu tua, dan kotoran. Permukiman pekerja yang dimaksud Cahya tampak seperti bangunan peninggalan masa lalu, deretan rumah petak dengan jendela gelap yang tertutup rapat.

"Ini di belakang sana," bisik Cahya, menunjuk celah sempit di antara dua rumah menjulang, terlihat seperti terowongan kecil menuju kegelapan. "Kita sudah sampai di area Konoha. Sekolah kita di belakang deretan bangunan ini."

Anindya menggigit bibirnya, hampir melukai diri sendiri. Sensasi di lehernya kini sangat nyata. Rasanya seperti simpul tebal, sulit ditelan. Bintik hitam di matanya begitu padat, ia harus berkedip keras untuk melihat jalan.

"Aku merasa seolah aku baru saja berlari, Cahya," kata Anindya, napasnya memburu. "Persis seperti memori yang hilang itu. Jantungku berdebar kencang, aku tidak bisa tenang. Ini seperti alarm yang paling parah."

Cahya menghentikan langkahnya, menunggu. Mereka berada tepat di mulut terowongan gelap itu. Bau sekolah yang mereka kenal, bau ubin basah dan jamur, mulai merayap perlahan.

"Anin, kamu tidak perlu melakukan ini malam ini. Kita bisa tidur sebentar di gubuk tua di belakang permukiman dan menyerbu sekolah saat matahari terbit. Aku ingin kamu segar saat mengingatnya," ujar Cahya, menunjukkan rasa khawatir.

"Tidak," Anindya menggelengkan kepala tegas. "Alarm ini sudah terlalu kuat. Dia sudah tahu aku datang. Aku tidak akan memberinya waktu. Dia telah mencekikku bertahun-tahun dalam bentuk penyakit. Aku harus memotong tali ini sekarang."

Anindya menunjuk ke depan, ke terowongan sempit itu, ke tempat Cahya melihat ‘arwah anak kecil’ dahulu. Ia melihatnya sekarang, bukan sebagai hantu, tetapi pintu masuk ke jurang traumanya.

"Jika rasa tercekik ini adalah reaksi fisik terhadap tangan yang benar-benar memegang leherku, Cahya … berarti dia mengejarku. Dan aku lari. Aku bersembunyi di suatu tempat, dan kamu datang tepat setelah itu terjadi."

Mereka melangkah perlahan, melewati terowongan yang terasa sempit dan pengap, hingga akhirnya sampai di lapangan tanah kosong. Di sanalah ia berdiri. Siluet sekolah dasar mereka, bangunan rendah dengan jendela-jendela tinggi yang tampak buta di bawah cahaya bulan sabit yang tipis.

Tiba-tiba, Cahya menarik lengan Anindya. Bukan tarikan waspada, melainkan tarikan protektif. Ia menyuruh Anindya merunduk di balik pohon beringin tua yang akarnya menyembul ke permukaan tanah.

"Ada yang tidak beres, Anin," bisik Cahya, suaranya tegang dan tidak bersemangat seperti biasanya. "Lihat."

Anindya mengikuti arah pandang Cahya. Di kejauhan, di lorong panjang tempat kelas mereka dulu berada, sebuah cahaya samar menyala. Bukan lampu jalan, melainkan cahaya lampu ruangan, kuning, suram, seolah seseorang menyalakan penerangan di kantor guru atau salah satu kelas.

Lihat selengkapnya