Diary Bipolar

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #18

Seniman yang Lari

Lari. Hanya itu yang ada. Sebuah keharusan yang lebih cepat dari trauma atau Bipolar, mendorong Anindya melewati celah-celah sempit rumah petak. Cahya di depannya, terengah, menariknya seperti bayangan terluka. Kegelapan mencekik, bukan karena malam, tapi karena kehancuran yang baru saja mereka saksikan.

Raungan Om Danu terdengar di belakang, disusul derap langkah berat. Lalu keheningan yang lebih menakutkan, suara mesin mobil kedua Dimas yang mati mendadak.

Anindya tidak melihat ke belakang. Bintik-bintik hitam yang biasanya menari liar di matanya, pertanda disosiasi, kini lenyap. Digantikan oleh kejernihan yang dingin. Ia tahu. Memori itu telah kembali sepenuhnya. Itu bukan hantu. Itu Om Danu. Jari-jari itu, tekanan dingin di lehernya, nyata.

"Sini! Cepat!" Cahya mendesis, mencondongkan tubuh ke batang pohon. Wajahnya menunjukkan rasa sakit hebat dari hantaman Dimas. "Luka ini nyata, Anin! Semua omong kosongmu tentang kutukan, itu nyata, tapi pelakunya manusia!"

Mereka bergerak, bau karet bercampur cat mengering, membawa mereka ke pinggiran yang lebih industri. Cahya membuka gembok pada gubuk kayu besar. Begitu masuk, ia segera mengunci kembali, terengah.

Anindya ambruk ke lantai kayu, bersandar pada tumpukan kanvas. Lampu neon menyala, memaparkan puluhan karya seni, siluet wajah-wajah kabur, dikelilingi warna-warna intens. Studio seni Cahya Kartika, kini menjadi bunker mereka.

"Selamat datang di Konoha," Cahya berbisik pahit, mengisap napas menahan sakit di bahu kirinya. Ia menyodorkan botol air.

"Om Danu," Anindya tersedak, air mata membasahi pipinya. "Bukan Rangga. Bukan setan. Om Danu."

Om Danu, rekan kerja Ayah, yang santun dan ramah. Ia yang mengajarinya akord gitar.

"Kenapa dia ada di sekolah itu?" tanya Cahya, memaksakan diri berdiri, menyeka keringatnya.

"Dia yang mengurus properti yayasan sekolah kami," jawab Anindya, fakta-fakta masa lalu kini memuntahkan kebenaran yang mengerikan. "Dia selalu punya akses. Kami … kami terlalu percaya."

Rasa tercekik di leher Anindya kini bukanlah ilusi. Itu adalah gema nyata dari cengkeraman Danu, di belakang tirai panggung sekolah, saat ia berusia delapan tahun.

"Lalu Dimas," Cahya berjalan tertatih ke wastafel. "Adikmu itu? Kenapa dia menahanmu? Kenapa dia diam? Itu bukan kebetulan."

Pertanyaan itu memukul Anindya lebih keras dari pukulan apapun. Rasa mual menjalar. Bipolar-nya, yang sempat tenang, kini bergolak.

"Dia melihat," suara Anindya sangat kecil, suara seorang anak yang terperangkap dalam tubuh wanita dewasa. "Dia ada di sana, menunggu Ayah di mobil. Tapi dia bosan dan masuk. Dia melihat semuanya."

Cahya menoleh, terkejut. "Dia melihat dan dia bungkam selama ini?"

Anindya menggeleng, matanya terpejam. Ia melihat Dimas kecil yang gembil, mata penuh ketakutan, berlari kembali ke mobil.

"Bukan hanya diam," desis Anindya. Ia bangkit, gemetar. "Dia bersekutu. Malam ini dia melindungiku, bukan dari Danu, tapi dari kebenaran yang akan menghancurkan keluarga. Dia diancam, Cahya. Dan dia tahu Om Danu adalah benteng kebohongan itu. Dia memilih untuk melindungi Ayah dan Ibu dari kehancuran ini."

Kemarahan Cahya memuncak. "Dia harusnya memilih kakaknya! Omong kosong, Anin. Itu pasti ancaman yang lebih besar dari yang kita duga. Tapi kita sudah tahu. Danu tahu kita tahu. Kita harus pergi. Sekarang."

Mereka mulai bergerak. Cahya mengemasi ransel kecil, tampak cekatan, seorang buronan profesional. Anindya melihat kanvas-kanvas. "Dulu kau bilang, kau melihat arwah anak kecil menangis di sekitarku. Itu bukan arwah, kan? Itu adalah alarmku. Caraku menyingkirkan Om Danu adalah dengan menciptakan iblis palsu yang bisa kuperangi."

"Kita berdua selamat karena itu," kata Cahya, menutup ritsleting ransel. "Tapi sekarang, kita harus lari dari iblis nyata."

Tiba-tiba, Cahya membeku. Mesin diesel. Sangat pelan, mendekat. Bukan mobil yang mereka tinggalkan.

"Seseorang mengikutiku," bisik Cahya, kengerian di matanya. "Hanya Danu dan Rangga yang tahu tempat ini."

Lihat selengkapnya